Hari-hari pun terus berlalu. Musim berganti. Tapi bayangan Ethan tak pernah benar-benar hilang dari hidupku. Yang berubah hanya caraku menyikapinya. Dulu aku menunggu dalam diam—kini aku mulai bicara, meski kadang hanya dengan angin. Dan dari sanalah semuanya mulai berubah.
Rasanya seperti pagi yang dulu biasa saja, kini mendadak menjadi arena bisik-bisik yang tak pernah benar-benar berhenti. Langkah kakiku di lorong sekolah terdengar lebih berat, seolah setiap mata memaku punggungku dengan pertanyaan dan sindiran yang tak pernah diucapkan langsung. Tapi aku tahu. Mereka membicarakan aku.
“Anak angin,” begitu mereka memanggilku sekarang. Atau “penunggu kebun teh.” Bahkan ada yang bilang aku pengikut hantu. Lucu ya—seolah aku bagian dari cerita seram yang mereka tertawakan sambil makan bekal di kantin, seperti adegan dari film horor lokal yang murah meriah tapi ramai ditonton karena rasa penasaran. Mereka tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa aku hanyalah seseorang yang sedang mencoba bertahan. Mencoba tetap hidup, meski setengah dari hatiku hilang sejak Ethan lenyap.
Tapi aku tidak peduli. Sungguh. Mereka boleh memelintir kenyataan, menggantinya dengan lelucon yang murahan. Aku hanya ingin satu hal: Ethan.
Lalu mimpi itu datang lagi. Sejak ulang tahunku yang kesepuluh, mimpi-mimpi itu tidak pernah benar-benar berhenti.
Bukan mimpi biasa. Di sana, Ethan tak lagi terbaring seperti biasanya, seperti dalam mimpi-mimpiku yang dulu, saat ia duduk diam di pinggir ranjang atau berjalan menjauh tanpa menoleh. Tidak. Kali ini, ia berdiri—di antara pepohonan yang bergoyang ditiup angin hutan. Hutan yang samar tapi terasa akrab, seperti bayangan masa kecil yang pernah ada.
Ia menatapku. Senyumannya… samar. Tapi aku mengenal ekspresi itu. Itu senyum yang sama saat kami menamai bunga rumput dengan nama-nama aneh yang hanya dimengerti oleh kami berdua. Tapi ada yang ganjil. Di belakangnya, bayangan gelap bergerak. Bukan seperti orang—lebih seperti... sesuatu yang mengikuti. Atau mengintai. Gelap itu seperti hidup. Bernapas. Dan terasa dingin bahkan dalam mimpi.
Aku terbangun. Nafasku tercekat. Keringat dingin membasahi punggungku. Tapi hal paling aneh bukan mimpi itu—melainkan secarik kertas kecil di meja belajarku, yang seolah muncul dari udara:
"Jangan berhenti percaya."
Tulisannya seperti diketik dengan mesin ketik tua. Ada bekas tinta yang menipis, seolah berasal dari masa lain. Aku menatapnya lama. Dunia terasa semakin miring, tapi aku tetap berdiri. Aku harus bertahan.
Aku tahu itu bukan sekadar bunga tidur. Mimpi-mimpi tentang Ethan selalu punya rasa yang berbeda—seolah waktu memutar ulang sesuatu yang belum selesai. Seolah ia masih mencari jalan kembali padaku.
“Rembulan, kamu baik-baik saja?” tanya wali kelasku suatu pagi. Aku hanya mengangguk, tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa aku sedang berbicara dengan Ethan.
Kurasa kebaikan dan kekhawatiran Ibu Tati hanya sebatas formalitas saja, entah rasa kasihan seperti apa yang dimiliki guru agama tersebut padaku. Aku tak menyalahkan beliau. Tak semua orang dibekali pemahaman untuk melihat kesedihan yang tidak tampak.
Hubunganku dengan warga desa juga tidak selalu hangat. Beberapa orang dewasa memandangku dengan rasa khawatir yang tak tersembunyi. “Anak itu suka ngelamun,” kata seorang ibu warung. “Kayak lihat sesuatu yang nggak kita lihat.”
Namun ada juga yang bersimpati. Pak Dirman, penjaga sekolah yang sudah tua, sering memberiku permen dan berkata, “Orang seperti kamu itu punya mata batin. Nggak semua orang bisa. Tapi hati-hati ya, Nak, kadang apa yang kamu lihat nggak semuanya baik.”
Aku hanya tersenyum kecil mendengar itu. Kata-katanya menguatkanku, tapi juga menambah beban.
Hari-hari berjalan cepat. Aku berumur lima belas sekarang. Tapi rasanya seperti terjebak antara dua dunia—yang satu dipenuhi tugas sekolah, bimbingan belajar, kursus bahasa Inggris. Yang satu lagi… dipenuhi kabut, kenangan, dan Ethan.
Ia masih datang dalam mimpiku. Kadang samar, kadang jelas sekali sampai aku terbangun dan mencarinya di bawah tempat tidur. Seolah ia benar-benar di sana.
Di sekolah, aku jadi semacam bintang. Tapi bukan karena nilai atau bakat. Aku jadi bintang gosip. Di kantin, aku duduk sendiri. Mereka tertawa di dekat dispenser kopi. Aku tahu mereka membicarakan aku. Aku bisa merasakan tatapan yang menusuk seperti sinar laser.
“Lihat, dia ngomong sendiri lagi,” bisik seseorang.
“Ngajak ngobrol angin?” kata yang lain. Mereka tertawa.
Aku menggigit roti lapis tuna. Rasanya seperti pasir di mulutku. Hambar. Pahit. Aku sudah lupa rasanya makan dengan tenang.
Lalu satu dari mereka, siswa kelas sebelah, berjongkok di sampingku dan berbisik, “Mau pamer pacar hantu, ya?”
Tertawa. Lagi. Seolah aku ini tontonan. Boneka rusak yang bisa mereka mainkan.
Aku berdiri. Botol air minumku jatuh, suaranya keras memantul di lantai kantin. Semua menoleh. Aku lari. Menabrak meja. Melewati lorong. Napasku berat. Seolah aku sedang berenang dalam lautan kenangan yang tak pernah mau kering.
Langit di luar masih sore. Tapi rasanya seperti tengah malam.
Pulang sekolah, hujan turun. Aku menunggu angkot sambil memegang payung rusak dan tas berat berisi buku. Payungku sobek. Setengah rambutku basah. Saat mobil datang, aku tergesa masuk—dan terpeleset.
Buku-bukuku jatuh ke aspal.
Sakit. Tapi lebih sakit lagi saat melihat makalahku basah kuyup, huruf-hurufnya luntur seperti ingatanku yang mulai terhapus. Aku memungutnya satu per satu, berharap bisa menyelamatkan apa yang tersisa.
Seorang ibu penumpang yang duduk dekat pintu turun membantu. Tangannya hangat. “Tidak apa-apa, Nak. Santai saja,” katanya. Ia memberi jarik tipis untuk menutupi tubuhku. Aku hampir menangis di situ. Tapi aku tahan. Aku harus tahan.
Di rumah, ibu sudah menunggu di luar pintu, tangan memegang payung ekstra. Ketika aku turun, ibu mengerjap, segera berlari memayungiku lalu memelukku kencang.
"Kamu kenapa, Bulan?"
"Kamu pulang basah kuyup... ibu khawatir."
Ibuku menyeka rambut basah di wajahku, turut menghapus linangan air mata yang tumpah tanpa kusadari. Matanya merah. "Kenapa tadi di sekolah..."
"Aku hanya..." Aku menelan ludah, membalikkan pertanyaan itu: "Kenapa mereka begitu tega?"
Ibuku terdiam, mencoba menenangkanku dengan pelukan. Ia tidak berani menjawab. Mungkin karena ia tahu, dunia bisa kejam bagi mereka yang berbeda.
Aku tahu ibu ingin mengerti, tapi aku juga tahu ia takut. Takut bahwa putrinya mulai menghilang bersama seseorang yang bahkan tak bisa disentuh lagi.
Malam itu, Ethan datang lagi.
Bukan dalam mimpi.
Tapi dalam bayangan yang terpantul di kaca lemari. Ia berdiri. Bajunya putih. Kusut. Wajahnya… pucat dengan mata kehijauan yang masih hangat.
“Kenapa kau pergi, Eth?” bisikku.
Ia tak menjawab dengan suara. Hanya satu kata yang muncul di udara, pelan dan patah-patah:
“Ma-af.”
Tanganku dingin. Tapi aku ingin menyentuhnya. Aku ingin percaya ini nyata. Aku butuh percaya ini nyata.
Lalu… ia menghilang. Seperti kabut pagi yang lenyap di tiupan angin.
Aku menyalakan senter. Ruangan kosong.
Besoknya aku menulis di buku harianku. Kutaruh di loker, di antara majalah remaja yang tak pernah kubaca.
"Aku masih melihatmu, Eth. Aku masih mendengar suaramu. Mereka boleh bilang aku gila. Tapi aku tahu kau ada."
Saat aku menutup buku itu, bel masuk berbunyi. Seorang siswa menendang lokerku sambil tertawa. “Buku curhat soal hantu, ya? Kok pakai bahasa manusia,” katanya.
Aku menatap loker itu lama. Dinginnya menembus telapak tanganku. Tapi aku tidak menangis. Karena aku masih percaya.
Dan untuk Ethan… aku akan terus percaya.
"Apa artinya waras jika semua orang hanya percaya pada yang bisa mereka lihat? Aku melihat Ethan. Aku merasa dia masih di sini. Dan bagiku, itu cukup."