Sejak kecil, aku tahu aku tidak melihat dunia seperti orang lain. Saat anak-anak lain takut pada gelap karena cerita hantu di televisi, aku takut karena gelap membuat bayangan-bayangan itu menjadi lebih jelas. Mereka datang dalam diam, dalam cahaya samar senja, atau di pantulan air yang tidak tenang. Tapi yang terasa membingungkan adalah mereka tidak selalu menyeramkan. Beberapa bahkan hanya berdiri, memandangku, seolah lega karena ada yang bisa melihat mereka.
Orang-orang dewasa menyebutnya khayalan. Nenek menyebutnya “angin lewat.” Ayah tak pernah bicara soal itu. Dan ibu hanya bilang, “Jangan ditatap terlalu lama, Bulan. Dunia mereka bukan tempat bermain.”
Aku mencoba menurut, sungguh. Tapi bagaimana bisa aku menghindari sesuatu yang muncul di mana-mana? Di balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup. Di jendela kelas ketika hujan turun deras. Di pantulan sendok saat makan siang. Mereka muncul dan hilang seperti napas yang tertahan. Seolah mereka adalah bagian dari diriku yang tersembunyi.
Aku tak pernah bercerita ke siapa pun, tentu saja. Sekali waktu aku mencoba menyebutkan tentang anak kecil yang duduk di bawah pohon mangga setiap pagi, tapi Ibuku hanya mengusap rambutku dan mengganti topik.
Pernah sekali aku bercerita tentang kakak perempuan bergaun indah yang menatap dari balik pohon rambutan saat kami sedang sarapan, seolah berharap untuk bisa mendekat, dan bagaimana aku merasa kasihan kepadanya. Ibuku hanya meletakkan sendok, kemudian berjalan menutup jendela sambil mengatakan "Jangan lihat ke jendela. Fokus saja ke makananmu." Sejak itu, aku belajar diam.
Hari-hariku jadi sepi. Di sekolah, aku tidak punya teman, tidak ada yang mengajakku bicara. Anak-anak menganggapku aneh. Aku tidak tahu bagaimana caranya tertawa saat orang lain tertawa. Aku tak pandai bermain, apalagi berdebat. Bahkan guruku sering lupa memanggil namaku saat absen, atau saat pembagian kelompok. Dan di rumah, Ayah lebih suka aku membantu di dapur daripada berbicara tentang mimpi-mimpi anehku. Dunia ini tidak pernah terasa cocok, rasanya terlalu sempit untuk semua yang kurasakan.
Sampai aku bertemu Ethan.
Hari itu langit seperti merunduk. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Aku pulang sekolah tidak langsung ke rumah. Kakiku membawaku ke tempat yang entah bagaimana selalu membuatku tenang—pohon flamboyan di tepi hutan. Tempat itu muncul dalam mimpiku berkali-kali, meski aku tak pernah tahu kenapa.
Kabut menggulung di antara batang pohon. Udara basah dan sunyi seperti menahan napas. Aku duduk di akar pohon dan entah kenapa, aku menangis. Bukan menangis keras. Tapi semacam melepaskan beban yang selama ini menempel di dadaku, membuatku sesak tanpa tahu sebabnya.
Dan saat aku menunduk, merasakan butiran air mata menetes ke tanah, aku merasa ada yang memperhatikanku.
Pelan, aku mendongak.
Di sela kabut, seorang anak laki-laki berdiri. Rambutnya sedikit ikal, jatuh berantakan ke dahi. Bajunya lusuh, tapi bersih. Dan matanya... cokelat kehijauan, seperti daun tua yang menyimpan rahasia musim hujan. Tatapannya tidak menghakimi. Hanya... tenang. Senyumnya kecil, tidak memaksa.
"Jangan menangis," katanya. Suaranya seperti bisikan dedaunan.
Aku kaget. Hampir saja aku berdiri dan lari. Tapi ia tidak mendekat. Ia hanya berdiri di sana, di antara akar dan kabut.
"Siapa kamu?" tanyaku. Suaraku pelan, seperti suara orang yang takut membangunkan sesuatu.
Anak itu tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan. "Aku Ethan. Kalau kamu mau, aku bisa jadi temanmu."
Tangannya diam di sana, menggantung di udara. Aku tidak langsung menyambutnya. Tapi aku juga tidak menolak. Ada sesuatu dalam dirinya yang... aneh tapi familier. Seperti suara musik dari kamar sebelah—kau tak tahu lagu apa itu, tapi nadanya terasa dekat. Saat tanganku bergerak menyambut uluran kecilnya... Hangat.
Hari-hari setelah itu berubah.
Kami mulai bertemu di bawah pohon flamboyan, setiap sore. Kadang hanya duduk diam. Kadang bercerita. Tapi tidak pernah ada paksaan. Ia tidak menertawakanku atau berlari ketakutan ketika aku bilang aku pernah melihat perempuan tanpa wajah berdiri di dekat kandang ayam. Atau tentang anak kecil yang selalu mengikutiku hingga ke halaman belakang dan melambaikan tangan. Ia malah bilang, "Mungkin dia hanya ingin kau tahu dia ada."
Sederhana. Tapi rasanya... lega.
Ethan tinggal di rumah besar di atas bukit. Rumah tua, sudah kosong lama, yang katanya angker, bekas nyonya Belanda mengasingkan anak-anak pesakitan atau yang tidak diakui keberadaannya. Rumah yang selalu gagal ditinggali siapa pun lebih dari setahun. Begitu ceritanya, tapi aku tidak pernah percaya. Buktinya Ethan tinggal di sana bersama keluarganya, meski aku tak pernah melihat mereka.
“Kenapa kamu tinggal di rumah itu?” tanyaku setelah banyak mendengar cerita tentang rumah angker yang dia tinggali dari teman-teman disekolah.
Ethan mengangkat bahu, “Ayah suka tempat tinggi. Katanya di kota terlalu banyak suara.”
“Apa kamu suka tinggal di sini?”
Ethan berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Di sini lebih tenang dan... ada kamu.”
Berkat kata-kata itu, aku merasakan ketenangan aneh, seolah dunia yang mulanya asing jadi bisa diterima.
“Kenapa kamu nggak sekolah?” tanyaku suatu sore setelah menyadari tidak ada Ethan di sekolah.
“Ayahku bilang, pelajaran bisa datang dari mana saja,” jawabnya.
Dan itu cukup bagiku.
Setelah itu aku mulai membuka diri. Kami bertukar cerita pendek dan aneh, tentang suara dari sumur tua, tentang kupu-kupu hitam yang selalu datang sebelum hujan, atau tentang mimpi buruk yang rasanya nyata. Lalu saat aku memperlihatkan gambar-gambar yang kubuat, ia melihatnya dengan begitu serius.
Hari berikutnya ia membawakan buku-buku tua dari perpustakaan rumahnya. Buku berbahasa asing, penuh gambar aneh. Kami duduk bersama, membolak-balik halaman yang penuh simbol, mencoba menebak artinya. Ia tak pernah tertawa saat melihat gambarku—makhluk-makhluk dari mimpi, dari gelap, dari sisi lain dunia.
“Seperti aku?” tanyaku saat dia bilang opanya suka hal-hal yang tak terlihat.
Ethan tersenyum. “Seperti kita.”
Aku mulai percaya bahwa aku tidak sendirian. Aku mulai menantikan kabut, berharap hujan, karena biasanya ia datang saat udara basah. Kadang aku membawa roti kering dan daun pisang agar kami bisa duduk lebih lama.
Meski begitu, ada hal-hal yang tetap jadi rahasia. Ethan tidak pernah bercerita soal keluarganya. Ia tidak pernah mengajakku ke rumahnya, meski sering berkata, "Suatu hari nanti kamu harus lihat perpustakaan di rumahku."
”Kalau begitu, kamu saja yang main ke rumahku.” kataku. Tapi Ethan menolak itu juga.
"Kenapa kamu nggak mau ke rumahku?" tanyaku sekali.
"Aku suka bertemu di sini saja," jawabnya. "Tempat ini... lebih aman."
"Aman dari apa?"
"Dari hal-hal yang orang lain tak percaya."
Aku tidak mendesak. Kami sama-sama menyimpan dunia dalam diam.
Di sekolah, aku tetap sendiri. Tapi kini, kesendirianku tidak terasa kosong. Aku mulai menulis surat-surat kecil untuk Ethan. Surat yang tidak pernah kukirim, hanya kubakar diam-diam di malam hari. Kadang hanya satu kalimat. Kadang hanya nama.
Ibuku mulai curiga. Ia memperhatikan aku lebih sering termenung, lebih banyak tersenyum sendiri. Ia bertanya, "Siapa Ethan?"
"Temanku," jawabku.
"Ibu nggak pernah dengar ada anak bernama Ethan di sekolahmu."
"Dia nggak sekolah di sana. Dia tinggal di rumah besar di atas bukit."
Ibuku diam lama. Tatapannya menembusku.
"Kalau kamu bisa melihat sesuatu, pastikan itu tidak menyakitimu."
Aku mengangguk, tapi tak sepenuhnya mengerti. Ethan tidak pernah menyakitiku. Justru sejak aku mengenalnya, dunia yang dulu menakutkan jadi lebih diam. Sosok di dapur berhenti muncul. Bayangan anak kecil di kebun tak lagi melambai. Seolah semuanya... damai.
Tapi malam-malam tertentu, saat kabut datang terlalu cepat dan udara terasa terlalu dingin, aku merasa Ethan sedang menjauh. Bukan pergi. Tapi seperti sesuatu sedang menariknya pelan-pelan. Dan aku tak bisa menghentikannya.
Mungkin karena itu aku mulai sering menatap jendela, menunggu. Mungkin karena itu aku mulai mencatat jam-jam ketika kabut muncul. Aku bahkan mulai menyimpan roti kering di tas setiap hari, siapa tahu Ethan datang lebih awal.
Tapi yang paling menakutkan bukan saat Ethan tidak datang.
Yang paling menakutkan adalah... saat aku mulai merasa bahwa aku yang mulai menghilang.
Aku melihat diriku di cermin, dan mata yang menatap balik terasa bukan milikku. Tanganku dingin. Suaraku pelan. Langkahku ringan. Seolah aku mulai menjadi seperti makhluk-makhluk itu—yang hanya ingin dilihat, didengar, diakui keberadaannya.
Dan hanya Ethan yang bisa melihatku seperti itu.
Hanya Ethan yang tahu siapa aku sebenarnya.
Atau... siapa aku akan jadi.
Dan ketika seseorang sudah merasa seperti itu, ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang bisa melihatnya benar-benar ada.
Meski ia tahu, cepat atau lambat, kabut selalu mengambil sesuatu kembali.