Desa kami nyaris tak ada di peta modern.
Letaknya di kaki Pegunungan Halimun-Salak, tersembunyi di balik kabut, seperti dilindungi oleh sesuatu yang lebih tua dari waktu. Orang kota menyebutnya Cisarua Lama, tapi bagiku, tempat ini bukan cuma sekumpulan rumah kayu di pinggir hutan. Ia adalah dunia kecil yang diam-diam bernafas, mengamati, dan kadang berbisik.
Setiap pagi, saat membuka jendela, aku bisa mencium bau tanah basah dan kayu yang lapuk. Sungai Cikaniki selalu bersuara, seolah mengingatkan bahwa kami tak sendiri di sini. Suara itu mengalun seperti lagu, lembut tapi terus-menerus, hampir tak pernah benar-benar hening. Bahkan keheningan pun terasa... penuh.
Rumah-rumah di sini berdiri seadanya, berderet rapi tapi kusam, berdinding papan tua dengan atap seng yang berkarat. Dikelilingi pekebunan teh dan hutan tropis lebat yang berdiri angkuh seakan menjaga rahasia yang tak boleh diucapkan. Saat hujan turun, suara tetesannya jadi musik latar hidup kami. Kadang pilu, kadang menenangkan, tergantung dari mana kau mendengarnya.
Orang luar sering bilang tempat kami menyeramkan. Terlalu sepi, katanya. Terlalu tua, terlalu sunyi. Tapi buatku, anak perempuan berusia delapan tahun yang jarang bicara, ini rumah. Meski tak semua yang tinggal di sini terlihat dengan mata biasa. Bagiku, desa ini seumpama labirin kenangan, penuh lorong-lorong diam yang tak bisa dimengerti orang lain.
Suatu malam saat hendak menidurkanku, ibuku berbisik, “Kalau kau bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa, jangan kau anggap itu kelebihan," suaranya pelan namun berat. "Bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu." lanjutnya.
Aku hanya mengangguk, setengah mengantuk. Tak tahu harus berbicara apa, nasihat itu menyusup seperti kabut desa yang turun setiap hari—hening dan dalam.
Aku tinggal di rumah paling ujung desa. Halamannya luas, ada pohon rambutan yang daunnya selalu berguguran, dan sebuah tugu batu berlumut yang tak pernah dijelaskan asal-usulnya. Ayah membersihkannya setiap Jumat pagi, tanpa suara, tanpa alasan. Aku tak pernah menyentuhnya. Tak ada yang berani, bahkan aku.
Ayahku tak banyak bicara. Tangannya keras karena membuat batu bata setiap hari. Ia mengaduk tanah, mencetaknya satu per satu, menjemurnya di halaman belakang, lalu duduk di kursi kayu menatap langit— menerawang ke arah pegunungan. Wajahnya jarang tersenyum, tapi aku tahu ia menyimpan sesuatu di balik diamnya. Sesuatu yang tak bisa ia bagi, bahkan pada kami.
Ibuku, Niken, berasal dari Temanggung. Ia membawa warisan yang tak terlihat, lebih tua dari bahasa dan lebih pekat dari malam. Sebuah tradisi yang dikenal dengan seni kuda lumping dan barongan yang diwariskan turun-temurun. Tradisi itu bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari ritual leluhur—pementasan yang menyatukan tubuh dan roh.
Sejak kecil ia sudah akrab dengan tubuh-tubuh yang kerasukan, suara gamelan dari mimpi, dan asap kemenyan yang naik pelan ke langit. Ia mengajarkanku banyak hal, bukan lewat ceramah, tapi lewat isyarat, lewat doa-doa, dan larangan-larangan yang harus ditaati meski tanpa penjelasan.
“Jangan tatap balik kalau makhluk itu menatapmu,” katanya suatu malam, sambil menyisir rambutku perlahan. “Kalau kau jawab, pintunya terbuka.”
Aku hanya mengangguk. Aku sering begitu. Tidak karena tak mengerti, tapi karena terlalu banyak yang ingin kutanya, dan tak tahu harus mulai dari mana.
Namaku Rembulan, kakek buyut yang memberi nama, dengan harapan agar aku bisa bersinar meski sendirian di kegelapan malam. Aku lahir di tengah hujan yang turun tiga hari tiga malam. Kata warga desa, itu pertanda keberuntungan. Tapi ibuku tahu sejak awal, aku berbeda. Aku bayi yang tak menangis keras, hanya menatap langit-langit bambu dengan mata lebar yang tidak berkedip. Sejak kecil, aku sering tertawa sendiri, atau bicara dengan udara. Kadang aku menunjuk sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain, lalu diam. Ibu tidak pernah panik. Ia hanya memperbanyak doa, dan memperbanyak larangan.
Aku belajar mengenali mereka sejak umur dua tahun. Sosok tinggi dan hitam yang berdiri di dapur. Perempuan tua yang melayang pelan di atas ayunan. Anak kecil yang duduk di bawah pohon rambutan, tersenyum lembut tanpa suara. Tidak semua menakutkan. Sebagian hanya terasa... kesepian.
Aku menyimpan semuanya sendiri. Tidak semua hal harus dibagikan. Bahkan ketika aku mulai menggambar mereka diam-diam, dengan arang atau sisa batu bata. Wajah-wajah yang pernah kulihat. Mata kosong. Kepala miring. Rambut kusut menutupi wajah. Gambar itu kuselipkan di bawah tikar atau di balik pagar.
Suatu hari, aku menggambar perempuan tua di ayunan. Ibuku melihatnya. Ia hanya menatap lama, lalu berkata pelan, “Kalau bertemu yang seperti itu, jangan ajak bicara. Tutup matamu. Berjalan terus.”
Aku menurut. Aku selalu menurut.
Ayah tak pernah bertanya tentang hal-hal itu. Tapi aku tahu ia percaya. Pernah suatu malam, aku bilang ada anak kecil yang berdiri di jendela dapur, memanggil-manggil. Ayah hanya membuka pintu, menaburkan garam ke tanah, lalu duduk kembali tanpa berkata sepatah pun.
Aku tak bermain seperti anak-anak lain. Tidak ikut lomba makan kerupuk. Tidak mengejar layangan. Aku lebih senang diam di sudut, menggambar, atau duduk di dekat pohon dan memperhatikan dunia yang tak bisa dilihat orang lain.
Di sekolah, aku seperti bayangan. Duduk di pojok, menulis rapi, lalu mengumpulkan tugas tepat waktu. Nilai-nilaiku baik, tapi aku lebih sering menatap jendela daripada papan tulis. Guru-guru suka caraku menulis, tapi resah melihat caraku menatap kosong. Anak-anak lain mulai menjauhiku setelah melihatku bicara sendiri. Mereka memanggilku “bulan seram.”
Aku tidak marah. Aku juga tidak sedih. Dunia luar terasa terlalu ramai, terlalu bising. Dunia di dalam kepalaku justru lebih tenang, lebih jujur.
Tapi meski aku terbiasa sendiri, aku tetap merindukan sesuatu. Kadang aku ingin memeluk ibu dari belakang saat ia memasak. Ingin membawakan segelas air untuk ayah saat ia batuk di belakang rumah. Tapi tubuhku sering membatu. Lidahku kelu. Rasanya seperti semua rasa tertahan di tenggorokan, tak bisa keluar.
Setiap pagi, aku membantu ibu menyusun kayu bakar dan menjemur cetakan bata. Tangan kecilku terbiasa dengan panas. Aku jarang mengeluh. Seperti kata ibu, “Kerja membuatmu lupa hal-hal yang tidak perlu.” Yang dimaksud tentu saja, mereka yang berdiri di sela bayangan.
Hari-hari berlalu seperti itu. Radio tua masih memutar lagu keroncong setiap malam. Anak-anak masih menimba air dari sumur, berlari dengan gembira tanpa alas kaki di lapangan becek. Ibu-ibu menumbuk bumbu dengan cobek batu, sementara kakek-nenek duduk di bangku-bangku panjang. Waktu seolah tak bergerak di desa ini. Tapi dunia dalam kepalaku terus berjalan. Kadang melambat, kadang berlari, tapi tak pernah benar-benar berhenti.
Hingga suatu sore, kabut turun lebih awal dari biasanya.
Udara lebih dingin. Langit lebih kelabu. Aku berjalan sendirian ke tepi hutan, ke tempat yang selalu muncul dalam mimpiku. Sebuah pohon flamboyan besar berdiri sendiri, dikelilingi rumput liar dan udara yang tak bersuara. Aku duduk di bawahnya. Dadaku sesak. Aku tidak tahu kenapa. Tapi mataku basah.
Aku menangis, tanpa suara.
Lalu dari balik kabut, muncul seorang anak laki-laki. Bajunya lusuh, wajahnya pucat tapi bersih. Ia tidak terlihat seperti mereka yang biasa kulihat. Tapi juga tidak sepenuhnya seperti anak desa biasa. Ia hanya berdiri, lalu duduk perlahan di sampingku.
Tangannya terulur.
“Jangan menangis,” katanya pelan. “Aku bisa jadi temanmu.”
Dan sejak hari itu, hidupku berubah.