Aku tidak menangis, bahkan jika ingin.
Gedoran pintu terasa sangat menganggu. Berulang kali, tanpa henti. Sesosok gadis yang terbaring di kasur berbalutkan selimut tebal tidak mengacuhkan. Ia malah mempererat selimutnya dan menutup kedua telinga.
"Makan! Gak usah manja harus disuruh dulu!" teriak seseorang dari luar diiringi suara tangisan bayi yang sangat berisik.
"Kikan!!!" seru orang di luar kamar sekali lagi. Namun, sosok yang disebutkan namanya itu masih bergeming. Hingga lambat laun, suara tangisan bayi tadi mulai menjauh barulah Kikan keluar dari persembunyiannya.
Ia menurunkan kedua kakinya di lantai, duduk dengan tatapan kosong yang mengarah pada cermin di hadapannya. Beberapa detik kemudian, satu tangannya terangkat, menyentuh pipi kanan yang agak merah dan sedikit lebam. Ringisan terdengar dan ia tidak berani menggunakan tangannya yang mungil untuk menyentuh lagi.
Menghela napas, Kikan menyayangkan dirinya sendiri. Di cermin, tak hanya bekas tamparan yang terlihat, tetapi rambut berantakannya—terpotong tidak rata, mata sayu, serta bibir pucat menandakan bahwa kondisinya sangat parah. Diliriknya pula tangan kiri yang terdapat bercak-bercak putih yang sebelumnya diakibatkan oleh tangan yang diseduh dengan air panas beberapa waktu yang lalu. Perayaan ulang tahun bak kematian.
Teman-teman sekelasnya yang 'terlalu baik' mengadakan perayaan ulang tahunnya sehingga membuat ia tidak ke sekolah selama seminggu. Beralasan 'sakit' yang sebenarnya menjadi rencana awal untuk berhenti sekolah. Sehari sebelumnya, ia dipaksa agar segera kembali ke sekolah. Akan tetapi, Kikan menolak dan mengajukan permohonan pada kedua orang tuanya untuk berhenti sekolah. Respon mereka? Lebam yang tercetak di pipinya.
"Mau jadi apa kamu? Berandalan? Saya sudah keluarkan banyak uang dan kamu malah berhenti. Gak guna jadi anak!"
"Kamu bisanya nyusahin orang tua mulu!"
Percayalah, kalimat-kalimat itu masih terbayang di kepalanya. Mengenyahkannya tidak mudah, selalu saja akan menambah kesakitan di hatinya. Seorang Kikan dilahirkan ke dunia hanya untuk menyusahkan orang tuanya dan tidak berguna sama sekali. Apa artinya hidup?
Rasa sesak itu makin menjadi. Kikan ingin menangis, tetapi tidak bisa. Seberapa keras pun ia berusaha. Ada yang bilang bahwa menangis adalah cara yang baik untuk melepaskan semua kesedihan. Namun, bagaimana jika ia bahkan tidak bisa memenangkan dirinya sendiri?
Meremas ujung rok, Kikan hanya bisa menggigit bibir bawahnya hingga terluka. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya. Ketika seseorang tidak diinginkan oleh siapa pun di dunia ini, kepada siapa ia kembali jika bukan pada Tuhan? pikirnya.
Kikan berdiri, berjalan tertatih di keremangan kamarnya mendekati cermin. Lampu kamarnya juga tidak berniat dihidupkan, seolah kegelapan adalah temannya. Tepat di depan cermin, ia menatap dirinya sendiri. Satu tangannya mengambil sejumput rambut yang lebih panjang dari sisi kanan. Sementara tangannya yang lain menggapai gunting di atas meja. Lalu dipotongnya rambut yang panjang tersebut agar menyamai bagian rambut yang pendek. Tetap saja, terlihat berantakan.
Dengan gunting yang masih di tangan, Kikan keluar dari kamar menuju balkon. Seharian ia mengurung diri, tidak sadar bahwa hari mulai menjelang malam. Gurat merah di langit perlahan memudar. Lamat didengarnya suara azan berkumandang. Dan, ia hanya terpaku.
Tiba-tiba air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia akhirnya bisa menangis dan menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan segalanya. Namun, ia masih tidak puas, hingga tubuhnya merosot dengan menyandar pada pagar balkon.
Tidak tahu pikiran dari mana, ia mengarahkan sisi gunting yang tajam ke pergelangan tangannya. Namun, keraguan menelusup. Selalu seperti ini, di setiap ia ingin mengakhiri kehidupannya. Seolah ada bagian dari dirinya yang lain yang mencoba mencegah.
"Aku ingin mati ... aku ingin mati ...."
Kali ini ia memaksa dirinya lagi, berharap bisa mati kali ini. Walaupun rasa pusing menyerang, Kikan berusaha untuk menyayat tangannya. Namun, pada akhirnya kegelapan memutuskan niatnya. Seperti biasa.
***
Kikan terbangun tepat pukul 12 malam. Ia tidak tahu siapa yang membawanya ke kasur dengan baju yang sudah diganti. Seingatnya, ia berencana bunuh diri lagi, tetapi kemudian ia pingsan. Pasti sang mama yang mengganti bajunya, walau sedikit ragu.
Apakah Mama peduli?
Hal-hal seperti ini menjadi kontradiksi. Terkadang ia merasa orang tuanya menyayanginya, tetapi terkadang ia merasa diabaikan. Terlebih di keluarga mereka ada anggota baru yang lebih diperhatikan. Sebagai anak tertua, ia hanya bisa pasrah saat dipaksa menjadi acuan bagi adik-adiknya. Menjadi ikon yang patut dicontoh, tetapi tidak bebas. Ia hanya dituntut sempurna, hanya untuk menjadi kebanggaan. Ketika memilki satu kesalahan kecil, maka akan menjadi momok yang paling menakutkan.
Bagaimana pun, Mama adalah seorang ibu yang pasti peduli pada anaknya.
Pikiran positif itu, seolah bukan darinya. Perlahan, ia turun dari kasur lalu berjalan keluar dari kamar. Tujuannya adalah dapur, tetapi alih-alih lapar, ia merasa perutnya penuh. Padahal seingatnya, ia belum makan sejak siang hingga tidak heran sang ibu mengomel untuknya.
Akhirnya, Kikan hanya meneguk segelas air putih. Matanya menangkap di sekitar rumah yang sepi lalu menghela napas lagi.
Besok adalah hari yang mengerikan. Mau tidak mau, ia harus sekolah karena paksaan. Hatinya tidak nyaman dan berharap malam ini waktu akan berjalan lambat. Ia tidak mau bertemu para iblis, ia takut.
Dikepalnya jari tangan lalu matanya menangkap pisau dapur. Lagi-lagi pikiran buruk merasuki otaknya. Diambilnya pisau tersebut lalu dibawa ke kamar. Jika gunting tidak bisa, maka pisau mungkin lebih mudah, pikirnya.
Ia berpikir jika selayam ini metodenya terlalu lembut. Alih-alih mengakhiri, ia hanya menyiksa dirinya sendiri. Sementara ia ingin terbebas dari rasa sakit.
Saat diarahkan sisi tajam pisau ke leher, tangannya gemetar. Dipejamnya mata dengan erat. Ia akan mengakhiri semuanya malam ini.
Tik tak! Tik tak! Tik tak!
"Argh!"
Kikan mengerang pelan saat lehernya sedikit tersayat pisau sebelum akhirnya benda tajam itu terlempar ke lantai. Rasanya sangat sakit, padahal baru sedikit. Dialihkannya pandangan pada sumber suara yang terdengar seperti tiruan bunyi jam berdentang. Ternyata berasal dari smartphone yang ada di atas meja.
Sembari menutup luka di leher, Kikan menggapai smartphone dan melihat layarnya yang menampilkan sebuah bentuk bulatan jam dengan jarum pendek di angka 12, sementara jarum panjang masih berjalan.
Tak!
Jarum panjang berhasil tepat di jam 12 dan tidak berjalan lagi. Lalu tiba-tiba layarnya memunculkan warna hitam. Kikan hampir melupakan tentang lukanya di leher, ia merasa sedikit aneh dengan smartphone-nya. Apa itu mati?
Tiba-tiba muncul huruf huruf-huruf berwarna putih yang merangkai sebuah kalimat satu per satu.
Mati ....
Kenapa kamu harus mati?
Apa karena kamu merasa hidupmu tidak berguna?
Apa karena kamu merasa lelah?
Apa karena kamu merasa dunia begitu kejam?
Atau ... apa itu karena 'mereka'?
Kenapa harus kamu yang mati?
Kenapa harus kamu yang tersiksa?
Kenapa harus kamu yang merasakan kekejaman?
Mereka yang salah ....
Mereka yang pengacau ....
Mereka yang iblis ....
Mereka yang tidak pantas hidup di muka bumi ....
Mereka yang harus kamu basmi ....
Lalu muncul sebuah ikon panah berwarna merah. Mengikuti naluri, Kikan menekannya.
Bukan kamu yang harus mati, tetapi mereka. Benar?
Ya | Tidak
Ada dua pilihan. Dan, lagi karena naluri, Kikan menekan ikon 'Ya'. Dia mulai terpengaruh dengan kalimat-kalimat tersebut, membuka pikiran baru yang lebih menarik.
Ingin bermain game?
Ya | Tidak
Ya.
Tic Tac Toe adalah permainan yang dikhususkan untuk kamu. Berikut peraturan mainnya:
1. Masukkan nama 'mereka'.
2. Mainkan game.
3. Hanya ada satu kesempatan.
4. Jika kamu menang, 'mereka' akan musnah, tetapi jika kamu kalah, maka akan menerima konsekuensinya.
Setuju?
Ya | Tidak
....
Kikan mengernyit. Ia tidak tahu menahu tentang ini. Apakah ini sebuah aplikasi? Sejak kapan ia mengunduhnya? Merasa sedikit aneh, Kikan keluar dari aplikasi. Benar saja, sebuah aplikasi asing sudah terpasang di smartphone-nya. Mungkinkan ketika ada iklan yang muncul sebagai notifikasi membuatnya tanpa sadar menekannya lalu mengunduhnya? Tak heran, kejadian 'salah pencet' sering terjadi.
Ikon aplikasi ini terlihat cukup menarik. Hitam dah merah. Paduan warna yang begitu menegangkan. Permainan ini seperti permainannya dulu sewaktu SD. Dulu disebut sebagai permainan SOS atau XOX. Sekarang permainannya tersedia di smartphone—benda yang sulit dipisahkan oleh khalayak ramai.
Penasaran, Kikan menekan kembali ikon aplikasi tersebut.
Welcome to Tic Tac Toe
Are you ready?
***