Matahari malu-malu mengintip dari ufuk timur. Dia belum sempurna naik ke atas langit. Namun, sinar paginya yang hangat sanggup memberi semangat bagi orang-orang yang hendak memulai hari.
Seperti Hadi yang pagi itu sengaja pergi untuk lari pagi di sekitar pantai. Dia seorang diri berlarian dari rumah tanpa mengajak Sita, sebab gadis itu masih terlelap dan Hadi tidak tega untuk membangunkannya.
Dia berhenti di depan pantai yang dulunya adalah tempat penyimpanan perahu kecil, tempat bermain ia dengan Jelita. Semenjak kepergian Jelita, perahu itu dipindahkan entah ke mana oleh Pak Cawi.
Ngomong-ngomong soal Pak Cawi dan Bu Maryati, kedua orangtua Jelita, mereka melanjutkan hidup seperti biasa lagi. Kelihatannya begitu di mata orang-orang, tetapi kenyataannya setiap malam mereka suka diam-diam menangisi Jelita. Bohong kalau mereka bilang tidak menyesal. Penyesalan itu hadir dan memeluk mereka dengan erat. Mungkin sampai ajal menjemput mereka baru bisa benar-benar melepas kepergian Jelita
Hadi membuka tutup botol minum yang dibawanya. Ia meneguk isinya yang tinggal setengah itu hingga tandas. Kemudian Hadi mendaratkan pantatnya di atas pasir, kakinya ia luruskan agar tidak kaku. Dia merogoh saku hoodie dan membuka selembar surat yang ia temukan di dalam buku catatan milik Jelita.
Halo, Hadi.
Mungkin kalau kamu baca buku ini aku sudah pergi jauh. Maaf ya, Di, aku memilih untuk kabur saja. Aku tidak bilang ke kamu karena takut kamu bakalan memilih untuk menyerah juga.
Hadi, terima kasih selama ini sudah jadi sahabat yang baik banget ke aku. Aku sangat-sangat bersyukur mendapatkan keluarga tanpa hubungan darah, sahabat terbaik sealam semesta, Hadi Ardian.
Nanti, semangat selalu kuliahnya ya, Di. Kamu mah jenius pasti bisa langsung skripsi, kan? Hehe
Jangan lupa mimpi kamu yang mau jadi arsitek, ngangkat derajat orangtua, nyekolahin adik-adikmu. Oh, dan satu lagi, kamu janji lho mau bikinin candi buat aku? Hehe
Jangan sedih berkepanjangan kalau kamu lagi galau karena ditinggal cewek ya. Jangan selalu merasa sendirian, kamu punya teman-teman baik, ingat saja aku atau Raka, walaupun berjauhan, percayalah kami akan selalu ada buat kamu.
Hadi, hiduplah seperti matahari yang selalu terbit setiap hari, ya. Hiduplah juga seperti ombak, dia memang air, tetapi kalau tenaganya kuat apapun bisa dia hancurkan.
Hadi, sahabatku, Hiduplah lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya ya.
Aku sayang kamu, Di.
Jelita, ditulis pada 28 September 2018.
Hadi menutup kembali surat dari Jelita, lalu dia masukkan ke dalam saku hoodie. Semua kata-kata di sana akan selalu dia ingat selama hidupnya.
"Terima kasih, Ta. Kamu dan semua kenangan kita akan selalu jadi motivator buat aku. Aku juga sayang kamu, Ta."
Hadi memejamkan matanya, merasakan semilir angin yang menerpa halus kulit wajahnya. Laki-laki itu berdiri dari posisi duduknya, ia berjalan mendekati pantai. Hadi ingin masuk ke dalam air, merasakan sejuknya sentuhan laut.
Hadi terus melangkah semakin dalam hingga air laut menyentuh betisnya. Ia akan menenggelamkan diri di sana, sepertinya menyatuh dengan air laut dapat membuat pikirannya jadi fresh.
"Weh, sinting!"
Seseorang berjalan serimpungan mendekati Hadi. Ia menarik lengan laki-laki itu dengan keras. Hadi dibanting ke pasir tanpa aba-aba dan alasan berarti.
"Mau mati? Hah?"
"Raka?"
"Iya, ini aku!"
Hadi berdecak. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya yang diselimuti pasir pantai. Raka ini sialan sekali, datang-datang malah memaki-maki.
"Apaan sih, Ka?" tanya Hadi.
"Kamu mau bunuh diri, kan?"
"Apanya?"
Raka menyugar rambutnya ke belakang sebelum menjelasakan maksud perbuatannya tadi. "Kamu tadi masuk ke air itu sengaja mau menenggelamkan diri ke dalam sana, kan? Kamu gila ya? Mau nyusul Jelita? Wah, udah gak waras kamu, Di! Sinting!"
"Heh, siapa yang mau bunuh diri? Enak aja!"
"Ya kamu tadi itu. Emang aku bodoh ya bisa dibohongi? Gak ya, enak aja. Tadi jelas banget kamu tuh mau nyebur, kan?"
Hadi mendorong bahu Raka karena sejak tadi ngomongnya pakai urat terus. Takutnya urat leher Raka terputus, Hadi tidak mau itu terjadi.
"Aku tidak berusaha membunuh diriku sendiri, Raka. Lagipula aku nggak mungkin membiarkan Sita menangis karena gagal menikah. Dosaku banyak, mati sekarang mah nanti langsung masuk neraka. Ntar ah, nikah aja belum udah nyuruh orang mati, gila kali!" sungut Hadi. Dia sungguhan tidak berniat untuk menenggelamkan diri. Tadi itu si Raka salah penafsiran saja. "Aku tuh masuk ke air karna sejuk. Tadi aku berniat mau nyelam bentar, udah gitu doang, kok."
"Beneran?"
"Iya, beneran, Ka. Masa aku bohong sih, buat apa bohong!"
"Jogging kok nggak ngajak?"
Hadi mendengus. "Ngapain ngajak jogging pengantin baru? Ganggu malam pertama aja!"
"Kurang asem! Ya gak gitu!"
"Haha, sengaja, Ka. Aku lagi pengin sendirian aja."
Hening beberapa saat. Hadi dan Raka sama-sama terdiam menyaksikan lautan luas di hadapan nereka. Lambat laun lautan berubah seperti layar televisi yang besar, lalu kenangan mereka terputar di sana bagaikan film dokumenter.
Kala itu, Raka, Hadi, dam Jelita berlari-lari di bibir pantai. Mereka saling mendorong satu sama lain, menyipratkan air laut pada Hadi, dan bermain di pasir untuk membuat candi.
"Walaupun udah bertahun-tahun, tapi kehilangan Jelita tuh rasanya kayak mimpi ya, Di," ujar Raka memulai pembicaraan.
Hadi mengangguk setuju. "Benar, Ka. Nggak rela banget kalau gadis seambisius dan tahan banting kayak Jelita memilih menyerah gitu aja."
"Kamu harusnya waktu itu gak usah melaut, Di. Lihat penampilan Jelita pakai gaun pengantin, dia cantik... banget. Asli aku gak bohong."
Hadi berdecak, lalu menggeleng. Dia tetaplah Hadi yang jahil dan gengsi. Tidak ada Hadi yang setuju kalau Jelita itu cantik.
"Mata kamu tuh emang harus diperiksa sih, Di. Jelita itu cantik, anjir!"
"Jelek. Dia gadis terjelek yang aku kenal selama aku hidup. Kamu tuh, Ka, yang harusnya periksa mata!"
"Terus yang cantik itu siapa menurutmu?"
Hadi tersipu malu sebelum membuka mulutnya. "Ya jelas Sita dong, hehe."
"Iwh, bucin!"
"Udah ah, yuk lanjut lari!" ajak Hadi.
Raka setuju, dia mengangguk dan bersiap-siap. Mereka sama-sama membawa botol minum di tangan kiri, menentengnya sambil berlari-lari kecil melanjutkan kegiatan jogging mereka yang tertunda.
Hari itu adalah hari terakhir Hadi dan Raka pulang kampung. Besok mereka harus kembali ke Jakarta dan bekerja di sana. Walaupun sama-sama sibuk, tetapi Hadi dan Raka selalu menyempatkan diri mereka bertemu satu sama lain.
Selain berisi sepucuk surat dan puisi di dalam buku catatannya, Jelita juga meninggalkan tulisan di tengah-tengah buku itu. Raka sudah membacanya lebih dulu, sedangkan Hadi baru menemukannya ketika dia membaca lagi puisi tulisan Jelita.
Halo, teman-temanku...
Hadi, Raka.
Ini tulisan buat kalian. Entah kenapa aku berfirasat kalau kita tidak bisa sama-sama untuk waktu yang lama.
Seandainya memang aku ditakdirkan berpisah dengan kalian lebih dulu, aku mau kalian berdua tetap jadi sahabat baik. Selalu sama-sama terus ya, Di, Ka. Aku percaya kalau kalian berdua sangat menyayangi juga satu sama lain.
Raka, kalau Hadi nakal. Kamu cukup tampar saja pipinya. Dia akan melawan suh, tetapi gak apa-apa, kamu bisa pukul lagi, atau laporkan saja pada bapaknya. Jamu kenal, kan ya? Pak Gugun itu orang yang baik banget, kok.
Dan kamu, Hadi, jangan suka nakal berlebihan sama Raka. Dia itu sahabatku yang paling baik, sabar, pengertian, sweet, ganteng pula. Ya, kalau dibandingin sama kamu sih nggak bisa ya, jomplang nanti, hehe.
Pokoknya aku nulis ini tuh malam-malam. Aku terbangun karena mimpi buruk. Di mimpi itu aku ada dalam kepompong, kayak ulat, terus sebelum berubah jadi kupu-kupu, kepompongnya malah dimakan dinosaurus. Hehe, oke itu gak penting sih, tapi asli serem banget.
Terakhir, tolong jangan terlalu lama nangisin aku ya. Aku nggak seberharga itu buat ditangisi sama kalian. Kalian berhak menjalani kehidupan yang lebih baik daripada saat ada aku. Hadi, Raka, terima kasih sudah jadi bagian dari hidup seorang Jelita yang begitu merepotkan kalian ini. Aku sayang kalian, hehe.
Hadi dan Raka akan selamanya jadi teman baik. Di pernikahan Hadi, Raka hadir dengan Jelita-nya. Mereka kompak menjadi sahabat.
Tidak hanya sampai di sana, Raka dan Hadi sama-sama membeli rumah baru yang mana mereka memilih rumah bersebelahan. Kata Raka, dia sekalian menitipkan istrinya pada Hadi dan Sita, takutnya kalau Raka lagi bertugas keluar kota, Jelita sendirian di rumah. Karena ada Hadi dan Sita, setiap Raka bertugas di luar kota, maka Jelita menginap di rumah mereka.
Begitulah kehidupan mereka. Dari yang awalnya hanya remaja ingusan dengan standar masyarakat yang masih kuno, kini mereka berubah jadi pribadi yang begitu dewasa dan sukses. Terima kasih pada kehidupan, akhirnya mereka mengerti arti perjuangan, pershabatan dan cinta.
Hidup itu seperti matahari. Dia hanya satu, tapi menyinari banyak kehidupan di bumi. Jadilah seperti matahari, dia selalu bersinar tiap hari walaupun kadang tidak diharapkan.