Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Boleh nangis, tapi jangan mengakhiri semuanya." --Muhammad Raka Binaryadi.

∆∆∆∆∆

 

2 minggu setelah tes SBMPTN telah berlalu. Hari-hari yang dilewati Jelita dan Hadi jelas berbeda dari teman-temannya yang lain. Bahkan, bagi Jelita dan Hadi saja jelas sangat kontras. Walaupun keduanya sama-sama mengisi kegiatan dengan bekerja, namun agaknya Jelita jadi bagian yang lebih banyak menanggung beban pikiran daripada laki-laki itu.

Setidaknya Hadi optimis lulus tes. Setidaknya Hadi tidak diikat perjanjian kampungan semacam pernikahan paksa. Setidaknya Hadi mendapat do'a terbaik dari kedua orangtuanya. Setidaknya Hadi bisa mencoba lagi dan lagi jika gagal.

"Bagaimana denganku?" Jelita melirih. Kala itu ia melihat dari kejauhan. Matanya memandang penuh haru pada adegan di depannya. Hadi datang berlarian menghampiri ibunya, lalu menyalami tangan ringkih itu. Kemudian Pak Gugun datang, rupanya pria paruh baya itu baru pulang melaut bersama putranya. Istri dan anak bungsunya menyambut mereka dengan senyum indah mereka. Hadi melambaikan tangan pada Sasa, bilang dia tidak bisa menggendong gadis kecil itu karena bajunya basah dan bau amis.

Keluarga itu tidak kaya. Mereka hanya keluarga sederhana, bahkan sama seperti Jelita yang selalu kekurangan. Tetapi lihatlah, mereka tidak pernah merasa miskin. Pak Gugun sukses mengajari istri dan anak-anaknya arti dari keluarga yang harmonis. Keluarga itu bagaikan cerminan keluarga sempurna. Mereka membuktikan pada dunia bahwa harta bukanlah sumber utama kebahagiaan.

"Andaikan Ayah dan Ibu seperti itu, aku juga akan merasa cukup."

Jelita tidak mengharapkan apa-apa, ya Tuhan. Dia hanya perlu didukung orangtuanya. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Dia mau bersikap manja dan bergantung pada orangtuanya. Seperti waktu dia kecil itu, seperti sebelum kakaknya pergi meninggalkannya.

"Aku harus kabur, kan, Bang Bima?" tanya Jelita pada lautan luas di hadapannya.

Benar, Jelita sekarang ini hobi menatap pantai seorang diri. Pikirannya jadi tenang dengan hanya melihat ombak. Barangkali angin pantai membuat otaknya sedikit sejuk. Hampir setiap hari, sebelum ke tempat karaoke Mbak Tina untuk bekerja, Jelita selalu berdiam diri di sana. Apalagi kalau bukan untuk menghilangkan segala omongan-omongan pahit ibu-ibu di tempat jual ikan.

Suatu ketika di hari yang lain. Jelita saat itu seorang diri duduk di pasir pantai. Matanya memandang luasnya lautan yang kala itu berwarna biru kehijauan karena sinar matahari menyorot tajam. Awalnya Jelita seorang diri. Dia sudah dua puluh menit di sana sendirian, lalu tiba-tiba ada sosok lain yang ikut duduk di sebelahnya.

"Hai," sapa Jelita kala sadar sosok itu adalah orang yang amat dikenalinya.

"Nggak kangen aku, Ta? Udah lama kita nggak ketemu ya? Ada sebulan?"

Jelita menerawang ke belakang, mengingat terakhir mereka berjumpa. Setelah mendapati jawaban dia pun mengangguk dengan senyum simpulnya. "Betul, lebih lima hari. Kamu apa kabar, Ka?"

Raka merentangkan kedua tangannya, lalu mengedikkan bahu. "Selalu baik, dan semoga selalu baik."

"Aamiin."

"Kamu selalu baik-baik saja?"

Jelita menganggukinya, walaupun kenyataannya tidak. "Semoga selalu baik-baik saja."

"Dua hari lagi kita ketemu di sekolah."

"Hah? Ngapain?" Jelita tidak ingat dia harus melakukan apa hingga butuh ke sekolah. Mereka sudah mengambil surat kelulusan dan buku raport.

Hingga Raka kemudian menepuk bahu Jelita pelan untuk menyadarkan gadis itu. "Lagi banyak pikiran, Ta?"

"Oh iya, acara pawidyaan ya. Maaf, lupa banget."

"Seriusan lupa? Udah disiapin belum? Baju kebayanya gimana? Make-up juga sudah? Sama ini, kalau cewek sih biasanya heels, sudah ada heelsnya?" tanya Raka beruntun. Raka jika sudah bersikap seperti itu mirip sekali seperti seorang kakak. Jelita bahkan terdiam beberapa saat hanya untuk menyadarkan dirinya bahwa laki-laki di depannya itu adalah Raka--sahabatnya, bukan Bang Bima.

"Sudah. Dibantu Mbak Tina semua, lusa juga yang dandanin Mbak Tina."

Raka bernapas lega kemudian. "Percaya kalau begitu sih. Bukan apa-apa, Ta. Kalau belum, bisa aku pinjamin punya kakakku."

"Perhatian banget sih, makasih ya, hehe."

"Sama-sama, Ta. Oh iya, Hadi ke mana? Melaut?"

Jelita mengedikkan bahu acuh. "Tidak tau, biasanya bantuin ibunya jualan ikan atau bikin terasi."

"Kalian jarang bareng-bareng lagi kah?"

Benar sekali. Jelita dan Hadi terakhir bertemu ketika tes SBMPTN kemarin. Ya Tuhan, ternyata itu dua minggu lalu. Jelita selama itu tidak pernah ngobrol lagi dengan Hadi. Paling-paling dia hanya melihat Hadi dan keluarganya saja, sudah jadi pemandangan top tiap Jelita datang ke laut.

"Sibuk dia, aku juga nyibukin diri ikut jualan ikan sama Ibu."

"Oh iya, tes kemarin gimana?" Raka lupa niat awalnya datang menemui Jelita. Dia sengaja jauh-jauh main ke sana, dengan harapan bisa bertemu Hadi juga. Raka kesepian sekali tidak bertemu Jelita dan Hadi.

"Hadi optimis lulus, Ka. Dia bilang soal-soalnya gampang, persis seperti yang dia pelajari."

"Kalau kamu?"

"Biasa aja, hehe."

Raka menggigit bibir bawahnya. Mendadak stuck, tak tahu harus berkomentar apa lagi. Dia tahu persis kondisi Jelita, perjanjian Bu Fida dan ibunya juga, pelik sekali. Salah bicara sedikit gadis itu pasti salit hati. Jadilah Raka memilih diam saja. Dia sibuk menikmati deburan ombak.

Jelita bisa menebaknya. Raka pasti tahu perjanjian itu. Ya, jangankan Raka, seluruh dunia juga pasti terdiam dengan keadaan Jelita.

"Kabur aja kali ya, Ka?"

"Heh, buat apa?" Raka kaget tentu saja.

"Haha..." Jelita jadi teringat ekspresi Hadi. Ah, kenapa semua orang yang mendengar rencananya memberikan keterkejutan yang sama? Oh, hanya Hadi dan Raka saja sih.

"Ta, jangan nekat ya."

"Jadi, menurutmu lebih baik bunuh diri?"

"Bukan keduanya, Ta!" Raka membentak. Kala itu dia tidak bisa berpikir jernih. Jelita itu sangat nekat, penuh ambisi, bisa jadi apapun yang keluar dari mulutnya dia lakukan. Raka ketakutan, tidak bisa membayangkan kalau sampai hal itu terjadi.

"Lalu, lebih baik menuruti Ayah dan Ibu? Kamu juga penganut kepercayaan itu, Ka?"

"Itu apa?"

"Surga di telapak kaki ibumu. Benar, aku tidak bilang itu salah. Turuti kemauan ibumu, laksanakan perintahnya, jangan ditentang, lalu kamu akan dapat surga. Apa termasuk juga dengan kemauan ibuku? Apa menentangnya berarti dosa? Apa aku termasuk anak durhaka?"

Raka menemukan kedua mata Jelita sudah memerah dan berkedut. Bola itu berkaca-kaca, sekali kedip air mata mengucur dari sana. Raka menggeleng kemudian, rahangnya mengetat. Demi Tuhan, dia tidak bisa membiarkan sahabat baiknya menangis.

"Kalau perintah orangtuamu tidak baik, tidak perlu dituruti. Nabi Ibrahim saja berani menentang perintah ayahnya karena tau itu buruk, kan?"

"Terus?"

"Kamu mau kabur? Mau aku bantu?"

Jelita mengangguk cepat-cepat. Karena anggukan kepalanya itu, air matanya lolos. Jejak sungai tercetak di kedua pipinya, mengundang kedua tangan Raka untuk menghapusnya.

"Boleh nangis, tapi jangan mengakhiri semuanya. Jangan ya, Ta. Ada aku, oke?"

Bagaimana Jelita tidak menangis mendengar kalimat indah itu. Perasaannya mendadak jadi lega sekali. Setidaknya dia sudah tahu akan ke mana untuk kabur. Raka adalah jawabannya.

Sementara itu, tanpa keduanya ketahui, ada Hadi di kejauhan. Laki-laki itu melihat mereka dengan air mata yang juga ikut meleleh. Melihat Jelita menangis, sungguhlah Hadi yang lebih sakit daripada Raka.

 

∆∆∆∆∆

 

Terlambat lima menit, maka Jelita memilih berjalan tanpa alas memasuki gerbang sekolah. Hadi setia membawakan tas dan menggandeng tangan sahabatnya yang hari ini sangat repot.

"Dasar perempuan, ribet!" Itu omelan Hadi yang kesekian kalinya. Jelita sudah lupa menghitung berapa kali Hadi mengatakan kalimat itu.

Laki-laki itu sangat tidak terbiasa melihat penampilan Jelita. Biasanya gadis itu hanya menggerai dan mengikat asal rambutnya, tapi kali ini rambutnya disanggul rapi dan dihias dengan mahkota kecil. "Kayak princess saja pakai mahkota segala," komentar Hadi ketika Mbak Tina selesai meletakkan mahkota kecil di atas kepala Jelita.

"Nyinyir terus!" sentak Jelita.

Tak dipungkiri Hadi mengakui hasil tangan Mbak Tina luar biasa. Jelita jadi terlihat jauh berbeda dari penampilan biasanya. Hari ini Jelita sangat anggun dalam balutan kebaya merah muda bergaya kutu baru. Lihat saja, gadis itu bahkan tidak bisa berjalan cepat. Walaupun heelsnya sudah dilepas, Jelita tetap tidak bisa mengimbangi langkah Hadi.

"Jelita, buruan!" Raka yang menunggu di barisan paling belakang peserta pelepasan heboh melambaik-lambaikan tangannya menyuruh Jelita berlari.

"Lama banget sih? Untung belum jalan ke aula."

"Ini nih, rempong banget kayak putri Indonesia!" omel Hadi lagi sambil menunjuk Jelita.

"Biarin!"

"Pakai dulu heelsnya, Ta. Sini aku ban--"

"Ribet!" Hadi berseru ketus, namun lebih dulu menyerobot niat Raka yang ingin membantu gadis itu memakai heels.

Hadi sudah berjongkok, jadi Raka memilih membungkam kalimatnya. Dia melihat Hadi lebih dulu menyambar heels Jelita. Laki-laki itu membersihkan telapak kaki Jelita, lalu memakaikan heelsnya dengan hati-hati. Hadi seperti lupa bahwa dia tadi sibuk mengomeli Jelita untuk buru-buru jalan.

Raka tersenyum melihat perlakuan manis Hadi. "Dasar sahabat, kalian ini ngomel-ngomel seharian juga tetap saja perhatian satu sama lain ya?"

"Ayo ah, buruan!" ajak Hadi tanpa membalas celotehan Raka tentang arti sahabat.

Mereka bertiga segera berbaris, menyesuaikan kelas. Jelita berbaris di sebelah anak-anak perempuan, sedangkan Hadi dan Raka di belakangnya bersama teman laki-laki yang lain.

Tepat ketika mereka telah baris, aba-aba dari anak OSIS menyuruh mereka berjalan pelan-pelan memasuki aula--tempat pelepasan diadakan. Dengan iringan musik tradisional dan taburan bunga dari para penari, anak-anak kelas 12 menempati kursi yang telah disediakan.

Acara berjalan dengan lancar. Penampilan demi penampilan berhasil ditunjukan dengan baik. Tibalah giliran pengumuman siswa dengan nilai ujian terbaik. Kepala sekolah mengumumkan ketiga nama pemilik nilai tertinggi itu. Tidak disangka-sangka, nama Hadi Ardian keluar sebagai terbaik pertama. Jelita dan Raka langsung heboh bertepuk tangan dan meneriaki nama Hadi. Laki-laki itu segera berjalan ke atas stage untuk berbaris bersama dua terbaik lainnya.

Hadi sangat gerogi. Dia beberapa kali membenarkan jas yang dikenakannya dengan salah tingkah. Omong-omong itu jas dapat nyewa. Ibunya sendiri yang menyewa itu seminggu yang lalu.

"Mantap," ujar Jelita dari tempat duduk begitu Hadi menatapnya. Dia melempari laki-laki itu dengan dua ibu jari begitu kembali ke tempat duduk.

Jelita terdiam lama saat melihat anak-anak yang diberi selamat oleh kepala sekolah karena berhasil lolos SNMPTN. Gadis itu merasa iri sekali, terdiam adalah alat untuk menyembunyikan rasa sedihnya.

Setelah penutupan dan doa, masing-masing kelas berfoto dengan wali kelas masing-masing. Jelita, Hadi, dan Raka juga kemudian foto bersama Bu Fida setelah selesai foto kelas. Mereka berempat membeli hadiah untuk Bu Fida kemarin. Guru muda itu terlihat sangat terharu, bahkan sudah meneteskan air matanya saat melihat Hadi dan Jelita. Duh, perjuangan dua anak itu selama ini tidak mudah, tetapi akhirnya berhasil.

"Ibu bangga sekali dengan kalian, terutama Hadi dan Jelita."

Raka setuju dengan kalimat Bu Fida. "Mereka udah kayak sinetron Indosiar kan, Bu."

Hadi memukul dada Raka. "Jelita doang, aku gak."

Bu Fida menarik kedua tangan Jelita. Dia memandangi muridnya yang satu itu dengan begitu banyak rasa iba. "Jelita, Ibu yakin sekali kamu pasti berhasil, Nak."

"Terima kasih banyak, Ibu. Kalau bukan karena Ibu, kayaknya aku udah jadi istri orang sebelum lulus SMA, hehe."

Bu Fida ikut terkekeh. Dia salut sekali dengan Jelita yang masih bisa tertawa, walaupun hatinya sedang gundah menanti-nantikan pengumuman. Bagi orang lain pengumuman tes SBMPTN bukan akhir segalanya, tetapi bagi Jelita adalah puncaknya. Mereka yang gagas di tes itu masih punya kesempatan lain untuk kuliah, tetapi Jelita tidak. Ketika dia gagal SBMPTN, maka ibunya langsung menikahkannya dengan orang kaya.

"Terima kasih hadiahnya ya, kalian repot-repot segala, ih."

"Itu tidak seberapa dengan kami yang selalu merepotkan Ibu selama ini, Bu," kata Hadi.

Jelita sigap memukul dada Hadi setelah mendengar kalimat laki-laki itu. "Kamu aja itu mah!"

"Kamu juga, dih!"

"Enak aja! Siapa yang suka bikin Bu Fida pusing karena absen terlalu banyak?" balas Jelita.

Hadi mendengus. "Terus siapa yang bikin Bu Fida sujud di hadapan banyak orang, di tengah-tengah bau ikan? Hah?"

Telak sekali. Jelita terdiam. Bukan hanya Jelita, Raka dan Bu Fida juga sudah tidak bisa berkata-kata.

"Ibu, maafin aku..." lirih Jelita sambil mewek.

Bu Fida buru-buru merentangkan tangan dan memeluk tubuh Jelita. "Ssstt... Tidak apa-apa, Jelita. Ibu senang melakukannya, sungguh."

"Ta, aku... Aku bercanda, maaf..." lirih Hadi.

Raka mendorong dada Hadi sekuat tenaga sampai laki-laki itu jatuh terduduk di lantai. Beberapa adik kelas yang hendak mendekati Raka untuk memberi buket bunga pun memilih kabur dari sana melihat Raka yang tengah marah.

"Hadi enaknya ditonjok apa ditendang, Ta?" kata Raka. Ekspresinya tidak main-main, dia kesal sekali dengan Hadi dan mulutnya yang sembarangan itu.

"Apa-apaan sih, Ka?"

"Apa? Aku gak takut sama kamu walaupun badanmu gede ya, tetap aku yang lebih tua."

"Heleh, besok juga aku delapan belas."

Jelita melepas pelukan Bu Fida. Dia membalikkan badan untuk melihat Hadi yang sedang bangkit berdiri. Mereka berhadapan dan saling menatap. Hadi sekali lagi melirihkan kata maaf untuk Jelita, dia sangat menyesal telah mengatakan kalimat tadi, sungguh.

"Besok kamu yang beli kue tart, nanti aku maafin," pinta Jelita.

Hadi menyengir kuda. Lega sekali Jelita tidak marah padanya. "Siap, aku akan beli yang bertingkat. Oh, sekalian juga dengan lilin warna-warni sama kadonya. Kamu mau kado apa, Ta?"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Alex : He's Mine
2475      935     6     
Romance
Kisah pemuda tampan, cerdas, goodboy, disiplin bertemu dengan adik kelas, tepatnya siswi baru yang pecicilan, manja, pemaksa, cerdas, dan cantik.
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
FLOW : The life story
97      87     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
A Missing Piece of Harmony
291      231     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
YANG PERNAH HILANG
1724      654     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1902      977     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Chapter Dua – Puluh
3779      1531     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Premium
Beauty Girl VS Smart Girl
11546      2918     30     
Inspirational
Terjadi perdebatan secara terus menerus membuat dua siswi populer di SMA Cakrawala harus bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling terbaik di antara mereka berdua Freya yang populer karena kecantikannya dan Aqila yang populer karena prestasinya Gue tantang Lo untuk ngalahin nilai gue Okeh Siapa takut Tapi gue juga harus tantang lo untuk ikut ajang kecantikan seperti gue Okeh No problem F...
Perahu Jumpa
292      239     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Alya Kirana
2106      977     1     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...