Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Orang bilang, bersikaplah sewajarnya. Kalau terlalu berharap, kamu bisa gila nanti." -Ibu penjual ikan.

∆∆∆∆∆

 

 

Matahari pagi masih mengintip malu-malu. Dia belum sempurna membagikan cahayanya ke seluruh penduduk bumi. Jelita menatap dengan senyum cerah bola jingga di ujung laut sana. Pagi ini dia akan memperjuangkan nasibnya, maka akan diawali dengan mood yang baik.

Ibu menyiapkan sarapan pagi-pagi seperti biasa. Bedanya pagi itu sikap ketusnya muncul lagi. Jelita tidak dapat ucapan semangat atau do'a apapun dari ibunya. Maryati pergi untuk jualan ikan setelah meletakkan uang dua puluh ribu di meja tanpa mengatakan apapun.

Beda suasana yang dia rasakan di rumah Hadi. Jelita memperhatikan bagaimana laki-laki itu amat beruntung menjadi putranya keluarga harmonis Pak Gugun. Ibunya Hadi menyiapkan sarapan untuk Hadi, lebih banyak dari hari biasanya. Sambil mengunyah makanannya, Hadi terus mendapatkan usapan kasih sayang dari sang ibu. Ayahnya juga ikut mendoakan, sejak Jelita datang sudah banyak memberikan kata-kata motivasi.

"Abang semangat tesnya, aku berangkat duluan ya. Assalamualaikum!" Azka berpamitan dengan tergesa. Ia menyalami tangan orangtuanya, Salsa, Hadi, terakhir Jelita.

"Abang, kalau nemu soal yang susah, tinggalin aja, kerjakan soal yang gampang dulu, ya." Salsa dengan imutnya memberikan tips pada sang kakak. Hadi gemas, ia terkekeh dengan mulut penuh dan mencubit pipi Salsa.

"Jelita, sini sarapan dulu, Nak." Pak Gugun mengajak Jelita makan untuk yang kelima kalinya.

Jelita menggeleng, menjawab sama seperti pertanyaan pertama. "Aku sudah makan, Pak."

"Tunggu ya, Ta. Aku harus habiskan nasi goreng spesial ini," kata Hadi.

Tidak masalah, Jelita santai menunggu, kok. "Makan pelan-pelan, Di. Santai aja, kan tempat tesnya dekat."

Sepuluh menit kemudian Hadi selesai sarapan. Dia bersiap-siap, menyalami kedua orangtuanya, dan meminta do'a restu. Jelita juga ikut menyalami kedua tangan orangtua Hadi sebelum mereka berpamitan dari sana.

Untuk sampai di tempat tes, mereka akan naik bus. Jelita dan Hadi berjalan lebih dulu menuju jalan raya. Mereka berdiri di halte untuk mencari bus.

"Perjalanannya cuma lima belas menit, kan?"

"Iya, Ta. Tenang saja, kita tidak akan terlambat."

Sepanjang perjalanan dalam bus, Jelita sibuk memperhatikan jalanan melalui jendela di sampingnya. Gadis itu harus memikirkan plan B untuk kemungkinan terburuk jika satu bulan ke depan hasil tes hari ini tidak sesuai ekspektasinya.

Apakah dia harus kabur? Tapi ke mana? Berapa banyak ia harus membawa perbekalan? Uang? Dari mana dia dapat banyak uang?

"Hei, ayo turun!" Hadi menarik lengan Jelita sebab gadis itu tidak fokus sejak tadi.

Lima menit lagi waktunya masuk ke ruangan tes, maka Hadi masih menarik lengan Jelita agar gadis itu mengimbangi larinya.

Jelita dan Hadi masuk ke ruangan yang berbeda. Sebelum berpisah, mereka sama-sama menguatkan diri dan berdoa. Hadi mengusap kepala Jelita dengan senyum mengembang.

"Semangat! Kerjakan dengan fokus, jangan melamun terus!" seru Hadi.

Jelita mengangguk patuh. Ya, dia harus mengesampingkan dahulu niatnya untuk kabur. "Kamu juga, semangaaaat!"

"Kita ketemu lagi di sini, oke?"

"Deal."

Selanjutnya Hadi dan Jelita saling ber-high five. Mereka resmi memisahkan diri menuju ruangan masing-masing. Jelita duduk sesuai nomor urut di kartu pendaftaran. Kursi-kursi sudah mulai ada penghuninya, lima menit kemudian pengawas datang.

Tes berlangsung dengan suasana hening. Hanya ada suara lembaran kertas yang dibolak-bailk, ataupun goresan pensil. Jelita mengerjakan soal demi soal dengan keyakinan penuh. Sampai kemudian dia menemukan soal yang sulit dikerjakan, tidak hanya satu, beberapa soal susah pun menyusul.

Jelita tidak tahu kenapa tiba-tiba dia menangis. Air matanya menetes menuruni pipinya. Ia segera menghapus jejak likuid itu untuk kembali fokus mengerjakan soal.

"Ya Allah... Sungguh, aku sangat mengharapkan mukjizat-Mu."

Sedangkan di ruangan tempat Hadi tes, laki-laki itu menjawab tanpa ada kendala sedikitpun. Hadi selesai tepat waktu, menjawab semua soal tanpa tertinggal. Dia keluar pertama kali dari ruangan.

 

∆∆∆∆∆

 

Hadi menunggu Jelita di tempat biasa. Dia menunggu sembari memperhatikan lalu-lalang orang-orang yang keluar dari gedung. Tempat tes mereka merupakan sebuah sekolah swasta yang ada di kota. Tempatnya besar dan hijau sekali.

"Hadi!"

Lima menit kemudian Jelita sampai di tempat janjian. Gadis itu terlihat lemas, tidak sesemangat pagi tadi.

"Langsung pulang?"

"Gimana kalau kita makan dulu?" ajak Jelita.

"Boleh."

"Yuk!"

Jelita mengajak Hadi berjalan kaki. Katanya dia mau makan apa saja yang ada di dekat mereka. Banyak penjual di sekitar sekolah itu, namun Jelita akan memilih yang agak jauh supaya tidak terlalu banyak pengunjungnya.

Akhirnya setelah berjalan selama sepuluh menit, mereka memutuskan berhenti di penjual mie ayam. Tidak banyak pembeli, hanya ada satu keluarga kecil yang tengah makan.

"Mang, bikin dua ya." Hadi memesan, lalu mengajak Jelita duduk.

"Siap, Mas!"

"Kamu lapar ya?" tanyanya setelah mereka duduk berhadapan.

"Ya, banget."

"Pantesan."

Jelita memperhatikan keluarga kecil di sebelahnya. Anak kecil di antara ayah dan ibunya itu sedang makan mie, lalu ayahnya telaten membersihkan sekitar bibir anaknya.

"Kenapa? Kamu siap punya anak?"

"Ish!"

Hadi tertawa setelah mendapat pukulan maut dari tangan Jelita. "Lagian, kenapa dilihatin terus dari tadi?"

"Dulu aku juga kayak gitu." Jelita berganti fokus menatap Hadi. "Disayang banget sama Ayah dan Ibu. Kayak kamu sama keluarga kamu."

"Maaf, Ta. Aku gak maksud..."

"Gak apa-apa. Kayaknya aku emang harus siap-siap."

Hadi mengerutkan keningnya. Dia melihat jelas perubahan raut wajah Jelita. Kini gadis itu seperti diselimuti amarah yang siap meledak.

"Siap-siap apa?" tanya Hadi dengan firasat buruk.

Jelita tidak langsung menjawab karena kedatangan penjual mie ayam yang mengantar pesanan mereka.

"Minumnya mau apa, Neng?" tawar penjual mie.

"Es teh manis aja dua, Mang."

"Oke, siap."

Hadi meraih saus dan menuangkannya di atas mie. Jelita meminta dituangkan dengan mendekatkan mangkuknya pada Hadi. Laki-laki itu peka, langsung mengisi mangkuk Jelita dengan saus.

"Siap-siap untuk rencana cadangan."

"Apaan?"

"Kabur."

"Hah? Gila!" sentak Hadi.

Keluarga kecil di dekat mereka yang tengah asik makan sedikit terganggu dengan pembicaraan itu. Mereka melirik Jelita dan Hadi dengan tatapan sinis, seolah mengirimkan sinyal agar mereka menjaga mulut.

"Memangnya ada cara lain? Gak ada, Di!"

Hadi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan. "Kamu kalau kabur mau kaburnya ke mana?"

"Gak tau, kabur aja dulu." Jelita cuek, memilih mengaduk mie ayamnya agar tercampur dengan saus.

Hadi tidak mejawab apa-apa lagi. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Jelita terlalu banyak menanggung beban pikiran, takutnya Hadi salah bicara. Bagaimanapun Hadi tidak mengerti dengan perasaan Jelita. Kalau Hadi jadi Jelita, dia pasti memilih pasrah untuk dinikahkan. Namun Jelita jelas menolak, dia tidak ingin langsung menikah setelah lulus sekolah.

Mie ayam tandas tanpa obrolan apapun. Jelita sesekali melirik Hadi yang tidak menanyakan apapun. Laki-laki itu juga jadi pendiam dalam sesaat tanpa meledeknya. Biasanya usil mengomentari apa saja, mendadak diam begitu membuat Jelita gemas menoyor kepala Hadi.

"Dih, apaan sih? Ganggu orang makan tau!" sentak Hadi tidak terima.

Jelita tertawa melihat ekspresi kesal Hadi. "Lagian diam-diam aja dari tadi. Kamu gak kepo sama tes aku tadi?"

"Kayaknya, karena kamu sudah memikirkan plan B dan kabur segala, tesnya tidak berjalan lancar, kan?"

Jelita mengangguk cepat. "Kenapa semua materi yang kamu ajarin tidak keluar?"

"Oh ya? Di aku keluar kok, gampang-gampang malah."

"Selamat, Di. Kamu pasti bisa kuliah," desah Jelita. Kalau bertanya soal tes pada Hadi ya sama saja bertanya pada profesor.

"Ya kamu juga. Belum juga pengumuman, udah pesimis aja."

"Ah, ya gimana."

Jelita mengakhiri percapakan itu dengan membanting pipet dari gelas es teh manisnya.

Mereka berdua kemudian sepakat untuk pulang ke rumah. Berjalan sebentar ke arah halte untuk menunggu bus, tak butuh waktu lama bus datang dan mereka segera naik.

Sepanjang perjalanan, Jelita terus melamun. Dia seperti pada saat awal berangkat, hanya sibuk memperhatikan jalanan lewat jendela di sampingnya. Pikiran Jelita berisik sekali hari ini; soal tes SBMPTN tadi, pernikahan, juga rencana kaburnya.

 

∆∆∆∆∆

 

Jelita memang harus kabur. Lihatlah apa yang dilakukan ibunya di tempat jualan ikan. Maryati sibuk bercerita ini-itu tentang calon menantu pada orang-orang. Jelita di sana sedang membantu ibunya melayani pembeli, sementara ibunya sibuk berimajinasi bahwa pernikahan putrinya akan segera terjadi.

Rasanya telinga Jelita panas sekali mendengar celotehan Maryati. Padahal perjanjian ibunya dengan Bu Fida belum berakhir, tetapi Maryati sudah sangat yakin Jelita tidak lolos tes kemarin.

Salah Jelita juga sih. Dia menjawab dengan lemas ketika ibunya bertanya. Sore itu, Jelita pulang dengan membawa beban pada wajahnya. Maryati yang begitu antusias segera bertanya.

"Gimana tesnya?"

"Ya, begitu, Bu."

"Gak bisa ya? Susah-susah ya soalnya?" kata Maryati meremehkan. Ya Tuhan, kalau saja yang berbicara itu bukan ibunya sendiri, Jelita sudah gemas ingin mencakar mulut itu. "Makanya Jelita, jangan mimpi ketinggian. Kalau orang kayak kamu yang miskin, bodoh, tidak beruntung, jalani saja dengan realistis. Percuma berkhayal tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jatuh, sakit."

"Tapi aku yakin kok, Bu. Aku yakin bisa lolos tes dan kuliah."

"Ya, terserah. Selama belum pengumuman kamu boleh berkhayal, bebas. Tetapi nanti, kalau sudah saatnya dan ternyata kamu gagal, maka kamu harus terima konsekuensinya."

Jelita masuk ke kamar, menutup pintu, lalu menangis tanpa suara dengan posisi tengkurap.

Tidak hanya hari itu, pun hari-hari berikutnya Jelita selalu mendapatkan banyak kalimat-kalimat tidak mengenakkan dari ibunya. Kalau kedua orangtuanya saja tidak memberi do'a dan dukungan, maka apa yang bisa dijadikan motivasi untuk Jelita.

Gadis itu tidak tahu akan merealisasikan rencana kaburnya atau tidak. Dia selama beberapa hari ini sibuk membantu ibunya menjual ikan, lalu bekerja di tempat karaoke Mbak Tina.

"Jelita, kayaknya kamu akan jadi juragan muda kalau sampai menikah dengan Joko."

Jelita menoleh begitu namanya disebut. Oh, apa kata ibu-ibu itu tadi? Joko? Oh, nama calon yang menjadi kebanggaan ibunya itu adalah Joko?

"Aku tidak akan menikah dulu, aku pasti lolos tes!" respons Jelita ketus.

Ibu-ibu yang selalu jadi tempat curhat ibunya itu menyinyir mendengar balasan Jelita yang bagi mereka adalah bocah ingusan tidak sopan itu. Bodo amat, pikir Jelita. Dia tidak meminta makan dari mereka. Sekalian saja supaya mereka paham bahwa tidak semua gadis di desa itu yang bangga menikah dengan orang kaya.

"Tapi Jelita, kata ibumu sih kamu tidak mungkin bisa lolos. Katanya kamu tidak bisa menjawab soal-soalnya."

"Ibu bohong, orang aku bisa jawab semuanya. Yakin sekali, pasti seratus persen benar."

"Sudahlah Jelita, jangan terlalu mengejar apa yang tidak bisa kamu raih. Orang bilang, bersikaplah sewajarnya. Kalau terlalu berharap, kamu bisa gila nanti."

Jelita menendang ember berisi ikan dengan kakinya. Dia marah sekali, matanya sampai memerah. "Pantas desa ini tidak pernah maju, pemikiran orang-orangnya sangat kampungan."

"Heh, Jelita!" Salah satu dari mereka menunding wajah Jelita lurus. "Kamu benar-benar tidak bisa jaga sopan santun ya! Kamu juga terlahir dari desa ini, jangan sombong!"

"Terserah!"

Jelita melepas sarung tangan karet dari kedua telapak tangannya, dia letakkan di atas kursi. Ibunya telah kembali dari toko, kebingungan melihat Jelita meninggalkan jualannya.

"Kamu mau ke mana, anak nakal?" teriak Maryati ingin mencegat kepergian Jelita.

Namun Jelita tetap tidak peduli, dia hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. "Kerja!"

Kerja yang dimaksud adalah ke tempat karaoke Mbak Tina. Ya sudahlah, toh Jelita memang bekerja di sana, jadi Maryati tidak melarangnya. Dia membiarkan Jelita pergi, karena memang gadis itu tidak membantu banyak di tempat jual ikan, kerjanya hanya debat dengan ibu-ibu saja.

"Maryati, anakmu itu bicaranya pandai sekali."

Maryati tersenyum miring. "Ya, semakin berani saja dia."

"Hati-hati lho, dia bisa saja nekat melakukan apapun kalau sampai dipaksa kawin," ujar salah satu lagi.

"Tenang saja, dia tidak akan bisa melakukan apapun."

Jelita masih di sana, dia masih menahan langkahnya ketika ibunya sendiri mengatakan hal itu. Jelita langsung berlari setelahnya. Dia tidak pergi ke tempat karaoke Mbak Tina, melainkan pergi ke laut.

Gadis itu memandang gamang luasnya pantai dengan mata yang sudah berlinang air mata. Buram sekali kelihatannya, mirip seperti masa depannya yang sangat tidak jelas.

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kreole
142      128     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas
YANG PERNAH HILANG
1350      553     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Main Character
1030      663     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Can You Hear My Heart?
444      267     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Helling Dormitory
1248      823     3     
Mystery
Setelah kejadian kebakaran menewaskan ibu dan adik-adiknya, Isaura dikirim oleh ayahnya ke salah satu sekolah asrama di Bogor Di asrama barunya ia dan teman-teman yang lain dihadapkan dengan berbagai kejadian tak masuk akal.
High Quality Jomblo
44556      6290     53     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
In Her Place
785      528     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Ethereal
1272      625     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Cinta Butuh Jera
1340      856     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...