Loading...
Logo TinLit
Read Story - Matahari untuk Kita
MENU
About Us  

"Pikirkan dari sekarang. Satu menit saja, pikirkan diri kamu sendiri. Satu menit saja, cari jati diri kamu sendiri. Satu menit saja, lupakan sejenak soal beban keluarga." --Bapak.

 

 

 

∆∆∆∆∆

 

 

Kalau hidup Hadi hanya diisi dengan berbagai cara mengumpulkan uang, maka berbeda dengan kehidupan Jelita. Hadi mungkin tidak pernah mencoba memahami gadis itu, dia hanya tahu Jelita yang ambisius. Pada kenyataannya selain memikirkan cara untuk bisa kuliah dan keluar dari rumah, Jelita juga sibuk memikirkan cara untuk mematahkan tradisi di tempatnya.

Zaman sudah semakin canggih, tetapi desa mereka seolah masih hidup di zaman dulu. Stereotip tentang perempuan miskin yang ingin berpendidikan masih membelenggu masyarakat di sana. Harta masih jadi penentu di mana orang dihormati dan bebas bermimpi. Bagi Jelita yang hanya anak orang biasa, melanjutkan kuliah itu tidak bisa dilakukan, katanya. Untuk gadis biasa yang tidak dibekali harta oleh orangtua, pilihannya adalah menikahi orang kaya.

Selayaknya sore itu di rumah kecil yang ditinggali Jelita, seorang pria tinggi berusia 30 tahun membawa banyak rombongan dengan banyak barang bawaan bermaksud ingin melamar gadis itu.

Ramai sekali orang bilang bahwa Jelita sangat beruntung. Bukannya kasihan kepada gadis itu, orang-orang justru bersyukur. Katanya; Jelita akan hidup enak jika menjadi istri pemilik kapal itu, tidak perlu sekolah dan bekerja karena banyak harta, derajatnya langsung naik karena dihormati banyak orang, dan masih banyak lagi komentar lainnya.

Berbeda dengan pendapat semua itu, Jelita jelas menentangnya. Bukan kepada orang-orang di luar sana, tetapi kepada ibunya sendiri yang masih memaksa gadis itu untuk menerima lamaran di usia belia.

"Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah tua, Bu!"

"Apa yang kamu permasalahkan? Cinta? Cinta nanti akan tumbuh seiring berjalannya waktu," bujuk Ibu.

Cinta, katanya. Jelita bahkan tidak pernah memikirkan definisi cinta selama 17 tahun dia hidup. Maka jelas sekali, selanjutnya ia terkekeh menanggapi pernyataan sang ibu.

"Aku mau kuliah, Bu. Aku mau sekolah yang tinggi, mau jadi orang besar, mau punya banyak uang, mau membahagiakan Ibu dan Ayah."

"Kalau kamu menikah dengan Karman kamu bisa dapat semua itu. Kamu punya banyak uang, jadi orang besar, orang-orang menghargai kamu. Tidak perlu menunggu kamu kuliah Ayah dan Ibu sudah bahagia."

"Tapi aku tidak bahagia, Bu!" teriak Jelita. 

"Kamu pasti akan bahagia, percaya sama Ibu!"

"Aku mau kuliah!"

"Kuliah itu untuk orang kaya, kamu cuma anak orang gak punya. Emangnya kamu sepintar apa sampai bisa kuliah? Hah?" 

Jelita itu biasa saja. Dia bukan siswa berprestasi di sekolah. Jelita juga tidak punya banyak uang, dia terlahir dari kedua orangtua yang tidak kaya. Ayahnya hanya seorang buruh, bekerja apa saja sesuai musimnya. Ketika musim panen dia bekerja di sawah orang, ketika ada yang sedang membangun rumah maka Ayah menjadi buruh tukang, dan sisanya digunakan untuk melaut. Sedangkan Ibu, dia hanya seorang pedagang terasi. Ibu memproduksi terasi dan menjualnya. Semua penghasilan mereka hanya cukup untuk makan saja, karena ada dua keponakan Jelita yang kini menjadi tanggungjawab Ayah dan Ibu. Dua anak itu adalah Bisma dan Rani, anak dari kakaknya Jelita yang meninggal bersama sang istri karena kecelakaan.

Jelita masih diam untuk menguatkan hatinya agar tidak menangis di depan Ibu. Jelita adalah gadis yang kuat, dia pasti bisa melawan semua itu.

"Terima lamaran Karman, maka kamu bisa bahagia, Jelita. Percaya sama Ibu, orangtua mana yang tidak ingin membuat anaknya bahagia? Hah?" Ibu terus berusaha membujuk Jelita seraya menyisir rambut panjang putrinya. 

Ibu juga meraih lipstik dari saku celananya yang dia beli di pasar pagi tadi untuk memoles bibir Jelita yang pucat. Jelita jelas menolaknya, dia tepis tangan Ibu dan memelototi wanita di depannya. 

"Bukan aku yang bahagia, sepertinya Ayah dan Ibu yang akan bahagia. Apa sekarang kebahagiaan aku tidak penting, Bu? Apa sekarang yang penting itu cuma Bisma dan Rani?"

"Kamu itu penting, Jelita."

"Kalau penting tolong, Bu... " Mata Jelita berkaca-kaca. Tubuhnya mulai bergetar, dia ingin menangis, namun sekuat tenaga dia tahan agar tidak mengeluarkan air mata yang sudah bergumul di kelopak matanya. "Jelita minta tolong sama Ibu... Jelita gak mau menikah dengan orang itu, Bu. Jelita mau kuliah, mau lanjut sekolah, Bu..."

"JELITA!!!"

Teriakan Ayah membuyarkan rasa iba Ibu yang mulai terbentuk. Laki-laki tinggi dengan hidung mancung yang diwariskan kepada Jelita itu terlihat sangat marah. Dia sudah menunggu satu jam di luar, lalu ketika memeriksa ke dalam kamar putrinya malah sedang mendebat sang istri.

"Cepat keluar dan temui Karman!" pinta Ayah.

"Tidak mau!" tolak Jelita.

"Jelita!"

Kalau Ayah itu keras, Jelita dua kali lipat lebih keras. Buah jatuh ya tidak jauh dari pohonnya, bukan? Maka, siapa yang akan menjadi pemenang dalam perdebatan itu?

Tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan. Enak lho, ayo pada beli, pada beli...

Berita bahagia itu hanya berlangsung selama dua jam saja, karena setelahnya berubah menjadi malapetaka. Suara khas penjual tahu bulat menjadi sebuah ide besar bagi Jelita. Gadis itu, yang beberapa jam lalu merasa sedih dan putus asa, mendadak dia kembali bersemangat.

"Ayo cepat keluar dan temui Karman," ajak Ayah.

Jelita memang keluar dari kamarnya, tapi tidak menerima uluran tangan Ayah. Dia mengabaikannya begitu saja dan berjalan cepat untuk berdiri menantang pria 30 tahun itu. 

Jelita memperhatikan Karman dengan seksama dan penuh kebencian. Pria itu berdiri tegap dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Senyumnya cerah sekali mengalahkan senja sore itu. Orang-orang berbisik kagum, bilang kalau Karman begitu karismatik dan Jelita sangatlah beruntung. Berbeda dengan gadis itu yang sudah bergidik ngeri dan menyebut Karman itu mesum. Dia juga membunuh pria itu ribuan kali di kepalanya.

"Aku tidak bisa menikah dengan anda, Pak Karman--"

"Jelita!" potong Ayah mencegah putrinya itu mengatakan hal yang tidak-tidak.

Namun terlambat sudah, tiga detik berikutnya Jelita siap melayangkan berita besar. Berita yang tidak hanya membuat keluarganya tercoreng, tetapi seluruh warga juga ikut merasakannya.

"Aku sudah tidak perawan!"

"Apa?!" sentak Karman terkejut.

"Ya, aku sudah tidak perawan!"

"Jelita, apa maksudmu, Nak? Kamu bohong, kan? Jangan mengarang cerita agar kami membatalkan lamaran ini, Nak." Kali ini Ibu yang maju untuk membela putrinya, sekaligus demi mempertahankan calon menantu kaya raya seperti Karman.

"Aku tidak bohong!" teriak Jelita. Sekalian saja, biar semua orang tahu. Tidak peduli dia dicap buruk atau murahan, apapun tidak bisa menghalangi ambisinya. 

Jelita tidak takut dia dicemooh seluruh dunia. Dia lebih takut seluruh dunia merampas impiannya. 

"Tidak, Karman. Jelita tidak mungkin melakukannya. Coba pikirkan, dengan siapa?" kekeh Ayah.

Karman pun ikut membenarkannya. Dia tertawa lebar seolah Jelita baru saja melawak. "Haha... Putrimu lucu sekali, Pak Cawi. Dia sepertinya ingin membuatku terkejut. Tenang saja, Jelita, aku percaya kamu tidak mungkin begitu."

"Anda mau menikah dengan gadis yang sudah tidak perawan lagi bahkan sebelum menikah?"

"Jelita!" Cawi--Ayah Jelita murka.

"Aku bilang aku sudah tidak perawan! Aku pernah melakukannya dengan Hadi setelah meminum alkohol di rumah karaoke Mbak Tina. Aku bisa memberi kesaksian dan bukti dari Hadi dan Mbak Tina," ujar Jelita penuh keyakinan.

Dia melengos dari Karman dan kedua orangtuanya untuk berlari keluar rumah dan melompat di depan gerobak tahu bulat.

Itu Hadi. Dia baru saja sampai di depan rumah Jelita. Teringat ucapan gadis itu sepulang sekolah yang menginginkannya untuk menjajahkan jualannya di depan rumah, maka Hadi lakukan. Walaupun terkesan tidak mau, Hadi tetap menuruti perkataan Jelita sebab mereka bersahabat.

Seluruh pasang mata memandang dua remaja itu. Hadi yang tidak tahu apapun mendadak ketakutan karena tatapan orang-orang yang begitu kasar seperti ingin mengulitinya.

"Hadi, lihat semua orang memandangku, kan?" bisik Jelita sepelan mungkin. 

"Iya, benar. Apa yang kamu perbuat?" tanya Hadi.

Jelita si dramatis mengganti ekspresinya dengan wajah kecewa dan mata berkaca-kaca. "Mereka membatalkan lamaran mendadak karena katanya payudaraku besar sebelah, dan pahaku banyak panunya."

Hadi dan Jelita sudah bersahabat sejak lama. Satu hal yang selalu dilakukan Hadi tanpa sadar yaitu membela Jelita ketika gadis itu merasa dihina. Oleh karena itu, Hadi yang marah ketika mendengar cerita sepihak dari Jelita langsung mendongakkan kepala. Ia memandang lurus Karman yang sudah berdiri di pintu rumah Jelita, termasuk orang-orang yang menunggu pembuktian.

"Heh Hadi! Katakan kalau cerita Jelita itu omong kosong!" teriak Cawi--Ayah Jelita.

"Omong kosong apanya? Aku sudah pernah melihatnya, paha Jelita putih mulus dan payudaranya tidak besar sebelah, seimbang kok!" teriak Hadi.

Detik berikutnya Cawi memegangi kepalanya dan bertumpu pada kedua bahu sang istri. Sementara Karman yang merasa sudah dipermainkan bocah ingusan pun marah. Dia melempar buket bunga di tangannya begitu saja.

"Jangan harap akan datang lamaran dari laki-laki manapun untuk putrimu, Pak Cawi!" ancam Karman. Setelahnya dia berlalu dari sana dengan menatap nyalang Jelita dan Hadi.

"Ya ampun, Jelita! Dasar anak nakal!" 

Kerumunan segera bubar dengan berbagai cemooh dan hinaan untuk Jelita. Kabar itu pasti akan secepatnya menjadi topik hangat di seluruh penjuru desa.

Hadi melirik Jelita yang sudah mengangkat dua jari berbentuk telinga kelinci. "Apa yang terjadi? Kenapa orang-orang marah pada kita?"

"Nanti kujelaskan, aku akan menemuimu di pantai sebelum kamu melaut. Eh, itupun kalau aku masih bisa jalan. Terima kasih atas bantuanmu, Hadi. Daah..."

Hadi sebenarnya sangat penasaran dan mendadak berprasangka buruk terhadap Jelita, tetapi lebih dari itu dia lebih merasa takut Jelita dianiaya Pak Cawi. Terbukti dari bagaimana kemudian Pak Cawi menarik paksa Jelita untuk masuk ke dalam rumah. Pria baya itu bahkan sudah menenteng sapu dan siap memululi Jelita.

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

 

 

∆∆∆∆∆

 

 

Berita Jelita yang sudah tidak perawan dan penolakan lamaran dari Karman sudah tersebar ke seluruh penjuru desa. Entah itu orang dewasa, remaja, bahkan anak-anakpun sudah mengetahuinya. 

Itu sebabnya kini Hadi tercengang. Dia merasa sudah dibodohi oleh Jelita. Akh, temannya yang gila itu. Hadi tidak pernah menyangka dari banyaknya rencana jahat lain Jelita malah memilih rencana paling buruk?

Alhasil kinih Hadi tidak diperbolehkan melaut di kapal Karman. Bukan hanya dirinya, ayahnya pun tidak diperbolehkan melaut di kapal itu juga. Tetapi berbeda dengan Cawi, ayahnya Hadi justru tidak mengambil pusing masalah yang tersebar sebab dia lebih mempercayai putranya dibandingkan orang lain.

"Bapak tidak marah padaku?" tanya Hadi ragu-ragu.

Gugun--Ayah Hadi menghentikan sejenak gerakan tangannya yang lihai merangkai jala untuk menatap sang putra sulung. "Mau marahin kamu juga percuma, Di, wong semuanya udah terjadi."

"Tapi, Pak, aku sama Jelita belum pernah begituan. Jelita itu berbohong biar dia batal dijodohkan sama Pak Karman," jelas Hadi.

"Iya, Di, Bapak percaya kok."

"Hah? Bapak percaya?"

Gugun kembali merangkai jala dan terkekeh tanpa menatap Hadi. "Bapak selalu percaya sama apapun yang dikatakan putra Bapak."

"Terus? Kita gimana, Pak? Kita tidak bisa melaut lagi?" desah Hadi. Kalau mereka berdua tidak melaut, maka pemasukan akan berkurang, dan kebutuhan mereka jadi sulit dipenuhi. Hadi jadi prihatin sekali dengan masa depan keluarganya.

"Hadi, pasti ada satu di luar sana pemilik kapal yang mau menerima kita. Kamu masih muda, kenapa mudah sekali putus asa?"

"Aku gak mau Salsa dan Azka tidak bisa jajan. Cukup aku aja, Pak."

Bapak berhenti merangkai jala. Dipandanginya wajah pucat Hadi, Gugun merasa sangat sedih menatap putra sulungnya yang begitu banyak mengangkat beban di pundaknya.

"Kamu terlalu memikirkan adik-adikmu, Di. Kamu selalu mencemaskan mereka sampai-sampai kamu lupa mikirin diri kamu sendiri. Semua itu harusnya dipikirkan oleh Bapak saja."

"Berat kalau Bapak seorang yang nanggung, aku juga bisa bantu pikul, Pak."

"Bantu boleh, mengambil alih itu yang tidak boleh. Bapak senang kamu bantu kerja dan bertanggungjawab sama keluarga. Tetapi... Bapak lebih senang kalau kamu menikmati hidup kamu sendiri juga, buatlah Bapak jadi satu-satunya kepala keluarga di rumah." Gugun mengusap dadanya setelah menjelaskan sepanjang itu. Hatinya sakit sekali melihat Hadi yang setiap hari sibuk bekerja mencari uang untuk membantu pemasukan keluarga. 

"Aku menikmatinya, Pak. Aku bahagia melihat Salsa dan Azka senang, jajan cukup tiap hari, bisa membayar keuangan sekolah tanpa nunggak, itu semua aku nikmati, kok."

"Sekarang Bapak tanya, apa mimpi kamu setelah lulus sekolah?"

Hadi terdiam. Dia tidak tahu. Kenapa semua orang memaksa sekali soal mimpi?

"Tidak tau, Pak."

Gugun tersenyum. Dia berdiri dan menepuk pundak putranya yang begitu kosong soal mimpi.

"Pikirkan dari sekarang. Satu menit saja, pikirkan diri kamu sendiri. Satu menit saja, cari jati diri kamu sendiri. Satu menit saja, lupakan sejenak soal beban keluarga. Kalau sudah yakin, apapun rencana kamu, ingatlah kalau Bapak dan Ibu selalu percaya."

Hadi menganggukinya. Bukan karena dia mengerti ucapan Bapak, tetapi karena dia mendapat banyak energi dari tatapan tulus Bapak. 

Malam semakin larut dan Hadi masih setia menunggu Jelita di pinggir pantai. Dia pergi ke sana setelah berbincang panjang dengan Bapak. Di sana Hadi melihat orang-orang yang bersiap melaut, membuatnya merasa rindu melakukan aktivitas itu. Walaupun berat, karena dilakukan setiap hari, Hadi jadi menikmatinya.

Sekitarnya semakin sunyi, waktu semakin menunjukkan tengah malam, Jelita belum juga datang. Hadi merasa ngantuk, kulitnya yang gelap tidak kuasa digigiti nyamuk lebih lama lagi. Dia pun kemudian berdiri, memukul pantat untuk membersihkannya dari pasir, laku balik kanan. 

"Aih," Hadi mendesah. Dia baru saja akan pulang, namun Jelita sampai. Gagal sudah niatnya untuk segera tidur.

"Hiks, Hadi... Aku berhasil..." Jelita sesenggukan. Gadis itu menangis sambil terus merapalkan kata 'berhasil.'

"Berhasil itu... babak belur ya?" 

Hadi bahkan sampai bergidik melihat kondisi Jelita. Gadis itu matanya sembab sekali. Badannya penuh memar merah yang menjelaskan dirinya baru saja mendapat pukulan. Ingusnya meluncur dari hidungnya yang mancung.

"Bodo amat, yang penting berhasil! Akh, akhirnyaaaaaaaaaaa."

"Aku ternodai, Jelita sinting!!"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Je te Vois
806      539     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Memento Merapi
21543      2277     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Titik Akhir Pencarian
288      199     1     
True Story
Lelah mencari pada akhirnya kuputuskan untuk menyendiri. Terimakasih atas lelah ini, maaf aku berhenti. . . Dara, 2022
Switch Career, Switch Life
404      340     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
For Cello
3120      1057     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Atraksi Manusia
514      380     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Glitch Mind
46      43     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Gilan(G)ia
505      279     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
Love Yourself for A2
27      25     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Heliofili
2717      1190     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama