“Hai, hai.” Sosok Okan tinggi menjulang di depanku. Kemeja hitam panjangnya sudah kusut. Kacamatanya berkabut. Rambutnya sudah panjang melebihi leher. Kok aku lama juga engga ketemu Okan, sampai lupa kapan terakhir ketemu.
“Hei, Kan. Kok engga nunggu di parkiran?” tanyaku. Biasanya kami janjian di parkiran, kali ini ia sudah nongol di loby.
Ia malah nyengir. “Sasi masih meeting ya?”
“Iya, mau nungguin dulu?”
“Engga usah, aku udah bilang kok. Dia juga bawa mobil.” Okan menarikku kearah parkiran.
“Aya.” Sebuah suara terdengar. Aku dan Okan menoleh bersamaan. Sosok Praja muncul dari arah lift. Kenapa hari ini dia pakai jas? Merasa engga sih kalau ketampanannya berlipat?
“Kak?” Aku melihatnya, mengamati Okan dengan seksama. “Ini Okan, Kak. Temanku dari kuliah. Kakak dulu pernah ketemu juga.”
“Oh benarkah? Maaf, aku lupa. Praja.” Ia mengulurkan tangan pada Okan. Disambut Okan dengan perlahan. Dari wajahnya, aku tahu ia kikuk bertemu Praja.
“Okan.”
“Mau pulang?” tanya Praja.
“Mau makan dulu, terus pulang,” jawabku.
“Oh begitu, hati-hati di jalan.”
“Iya, Kak.” Aku menarik Okan, membiarkan mata Praja mengikuti langkah kami.
“Waduh, matanya udah kayak mau nge laser begitu,” celoteh Okan saat memasuki mobil.
“Nge laser apanya. Engga usah lebay begitu,” bantahku.
“Aku laki, Nay. Taulah insting laki itu gimana. Mereka eh maksudnya kami ini, engga suka barang disukai didekati orang lain.”
“Emang aku barang?”
Mobil bergerak keluar parkiran.
“Hei, insting berburu kami ini sangat tajam. Sangat suka bersaing. Tak suka kalah.”
Aku memandangi lampu-lampu bergerak diluar.
“Makan dimana?” tanya Okan.
“Terserah,” jawabku. Entah kemana perginya selera makanku.
“Kebiasaan, jawabnya terserah. Ayo bilang. Aku yang traktir.”
Aku melirik Okan. “Keren bener sekarang, main traktir aja.”
“Kan lama juga kita engga ketemu, Nay. Mana?”
Akhirnya aku menyebut nama resto steak dekat kantor. Daripada debat sama Okan kelamaan.
Ia mulai dengan ceramahnya soal laki-laki.
“Sama Alfian?” tanya Okan, saat aku cerita diajak reuni BEM kemarin minggu. Kami bercerita sambil memakan makanan kami. Aku memesan chicken steak sedang Okan lebih suka beef steak
“Iya, dia bilang kejutan. Ternyata itu.”
“Hmmm.. aku sering dengar sih soal gossip itu dulu. Dan penilaianku sama. Dia bukan orang yang terbuka tentang perasaannya. Sekalipun dia orang paling easy going yang pernah ada.”
“Yakin? Dia bisa bilang cinta sama aku, Kan?” tanyaku tak percaya.
“Well, mungkin dia udah kepentok. Kamu bilang, dia sudah didesak buat nikah. Rifa butuh sosok ibu. Sedangkan Rifa cocok banget sama kamu.”
“Jadi, itu bukan perasaannya yang dulu?”
Okan menghela keras. “Nay, dulu dan sekarang itu berbeda. Dulu ya dulu, semua tentangmu sudah ditutup oleh ibunya Rifa. Sampai mereka menikah. Dan bahagia. Dan yang sekarang, ya yang sekarang ada, Nay. Laki memang gampang melupakan dengan cepat. Tapi bisa juga terkenang dengan cepatnya. Dan yang aku bisa lihat, Alfian itu orang begitu. Begitu melihatmu lagi, semua kenangan tentangmu itu muncul ke permukaan. Membuat perasaannya menjadi dua kali lipat.”
“Du, dua kali lipat?”
Okan menjeda dengan meminum juice jeruknya. “Iya, pertama oleh perasaan dulu, ditambah perasaan yang sekarang. Apalagi namanya kalau engga dua kali lipat?”
Aku malah memandangi steak ku yang tinggal separuh.
“Kamu yakin, Kan?” tanyaku.
“Kenapa engga? Tapi buat memastikan, enaknya ya ketemu sih,” jawab Okan cuek.
“Ketemu Alfian?”
“Iya dong. Kalau ketemu Praja sih udah tadi. Dan hawa membunuhnya ketara banget. Kalau aku ini bukan notabene teman kuliah, pasti dia melarangmu, Nay.”
Bicara dengan Okan memang luar biasa berbeda. Teramat berbeda seperti bicara dengan Sasi atau Lusi. Mungkin seharusnya sejak lama aku ngobrol sama Okan.
“Soal bosmu itu, aku engga tahu apa-apa, Nay. Gimana dia?”
“Dia? Ehmm… dia sangat biasa, pendiam dan yah engga bisa diduga sama sekali. Dulu pernah jenguk Papa, waktu masuk RS. Lalu biasa lagi sikapnya. Dan kemarin itu surprise banget buat aku, Kan. Tiba-tiba aja begitu. Dia dikenal memang minim cerita soal masalah pribadi. Engga pernah ada kasak kusuk soal dia. Jadi bisa dibilang ya hidupnya monoton, rumah kantor aja.”
Okan mengangguk-angguk. Kali ini mengelap mulutnya dengan tisu. Steak nya sudah tandas.
“Pasti ada yang dia sembunyikan,” ungkap Okan.
“Maksudnya?”
“Ya, coba kamu pancing dia, Nay. Pas acara besok itu. Apa maksudnya mengajakmu. Cari tahu apa yang dia sembunyikan.”
“Kamu yakin dia menyembunyikan sesuatu?”
“Nay, kadang memang laki itu random. Tapi ke random an itu juga engga bisa tanpa alasan.”
Alasan? Semuanya harus ada alasannya?
Ponselku berbunyi. Alfian.
“Alfian,” cicitku.
Okan hanya mengangguk angguk.
“Halo, Al,” sapaku.
“Hai, kamu dimana? Udah pulang?”
“Em, udah pulang kerja, lagi makan ini,” jawabku seadanya. Okan sibuk memegang ponsel.
“Dimana? Sendiri?”
“Di steak deket kantor. Sama Okan.”
“Okan? Temanmu dulu itu ya?”
“Kamu ingat?” Aku sungguh tak percaya, ia masih ingat Okan. Selain Lusi.
“Dua orang temanmu kan Lusi dan Okan,” jawab Alfian santai.
“Iya, Okan yang itu, Al.”
“Oh, oke. Selamat makan ya.” Dan telepon terputus.
“So? Gimana tanggapannya?” tanya Okan kemudian. Aku mengangkat bahu.
@@