“Iya, sih,”gumam Nilam pelan disambut tawa Kak Tara.
“Nah, makanya. Jujur, gue males banget ikut LDKS apalah ini. Wasting time banget. Nggak guna juga. Biarin aja anak OSIS ‘yang katanya baik’ itu yang ikut, ngapain ketua ekskul kudu ikut juga? Mana mereka bikin kelompok sendiri yang bikin anak-anak ketua ekskul pada awkward. What the hell!” umpatnya meradang. Sejurus kemudian, dia menoleh pada Nilam. “Eh, sorry to say. Lo anak OSIS juga, ya. Nggak masalah, sih, lo mau ngadu juga. I don’t care at all.”
Telinga Nilam terasa panas demi mendengar umpatan yang keluar dari mulut Kak Tara. Namun, isi hati cowok itu kurang lebih sama dengan apa yang ia rasakan. Kecuali fakta kalau ia juga calon pengurus OSIS seperti yang dibilang.“Aku nggak akan ngadu, Kak. Buat apa juga?" sahutnya.
“Tapi yang gue heran, kenapa lo nggak gabung sama mereka?” Kak Tara kini menatap Nilam tepat di sebelahnya.
“Ehm, nggak apa-apa,” desis Nilam menunduk.
“Eh, jangan curang, dong, Dora! Gue udah cerita, masa lo nggak?” desak Kak Tara berapi-api.
Nilam sebenarnya ingin tertawa mendengar cowok itu memanggilnya ‘Dora’. Awalnya ia sebal, tetapi entah mengapa semakin lama terdengar lucu. Apalagi panggilan itu seperti khusus diberikan padanya, semacam kode rahasia di antara mereka.
“Ah, itu … sebenarnya … aku ikut OSIS ini terpaksa,” ujar Nilam pelan.
“Terpaksa?”sergah Kak Tara.“Siapa yang maksa?”
“Itu …," Nilam menggigit bibir, mempertimbangkan untuk menceritakan masalahnya atau tidak pada Kak Tara. Ia tak yakin cowok ini bisa dipercaya, tetapi sesak di hatinya mendesak untuk dikeluarkan. Menghela napas panjang, ia akhirnya membuka suara.“Sahabatku.”
“Hah? Gimana, sih? Terus sahabat lo nggak keterima? Lo doang yang diterima?”Kak Tara seperti tersulut api yang sudah padam dari puntung rokoknya.
“Nggak, bukan gitu. Dia diterima juga. Itu, sekarang dia di api unggun,”jelas Nilam menyilangkan tangan. Sesaat kemudian, ia terkesiap karena sudah keceplosan.
Kak Tara berdecak.“Terus, kenapa lo nggak sama dia? Malah sendirian nangis di sini? Atau jangan-jangan, lo nangis gara-gara ditinggal dia, ya?”
Tebakan Kak Tara tepat menghujam hati Nilam. Ia mengangguk, menahan isak. Tanpa sadar, mulutnya mengeluarkan semua rasa yang terpendam dalam hatinya. Sejak pertama Naura mendaftarkan, sampai sore tadi saat dia meninggalkan. Semua uneg-uneg yang menghuni kepalanya kini keluar dalam bentuk kata-kata.
“Udahlah. Tinggalin aja temen kayak gitu," komentar Kak Tara di akhir cerita.“Lagian lo mau-mau aja dipaksa dia ikut sesuatu yang lo nggak suka.”
“Habis gimana, Kak?" Nilam membersit ingus yang hendak meluncur keluar sambil mengelap air mata di pipi dengan punggung tangan. “Aku nggak enak banget karena dia marah sama aku. Apalagi dia juga bilang-bilang ke Mama, sampai Mama maksa aku ikut juga. Aku takut Mama marah. Aku takut Naura marah. Aku takut nggak punya teman lagi,” pungkasnya dengan suara parau.
Helaan napas terdengar dari mulut Kak Tara. “Dora, selama ini lo nggak punya teman karena selalu terikat sama dia. Lo nggak bisa bebas kenalan dan ngobrol sama anak-anak lain karena terlalu ngikutin maunya dia. Coba lo hitung, misal di kelas lo ada tiga puluh murid, masa sama sekali nggak ada yang mau temenan sama lo selain dia? Itu mungkin karena mereka sungkan mau nyapa lo karena lo selalu nempel sama temen lo itu!”
Nilam menelan ludah. Kata-kata Kak Tara mungkin sepenuhnya benar, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengakui.
“Tapi … mungkin emang aku aja yang nggak bisa bergaul, Kak. Aku terlalu takut buat mulai ngobrol sama orang,” keluhnya.
“Nope! Sekarang buktinya, lo lancar-lancar aja ngomong sama gue! Emang sebelumnya lo kenal gue? Kan, nggak. Bahkan sama Onion si Absurd yang hidup di langit aja lo bisa deket. Gue aja heran!” Kak Tara geleng-geleng kepala. “Selama ini mungkin lo selalu hidup di bawah keteknya temen lo itu, Dora! Lo jadi nggak bisa bebas sendiri!”
Nyaris saja Nilam menyemburkan tawa di tengah tangisannya mendengar kalimat blak-blakan Kak Tara. “Te–terus, aku harus gimana?”
“Lah, lo tanya sama diri lo sendiri, Dora! Lo penginnya apa? Nanti baru lo pikirin gimana caranya.”
Keinginan adalah satu hal yang jarang sekali dimiliki Nilam. Ia baru sadar kalau selama ini hidup di bawah kehendak orang lain sampai ia sendiri tidak punya sesuatu yang diinginkan. Namun, satu hal yang pasti saat ini adalah, “Aku pengin berhenti ikut OSIS.”
“Nah, ya udah berhenti aja!” cetus Kak Tara.
“Nggak bisa, Kak! Aku udah terlanjur ikut. Aku nggak enak juga sama Kak Daniel yang udah kasih kesempatan aku bisa masuk. Udah gitu, aku udah sampai sini masa ngundurin diri? Dan lagi Naura—”
“Naura itu temen lo?” tukas Kak Tara yang dijawab Nilam dengan anggukan. “Astaga, Dora! Udah lo nggak usah pikirin dia. Sekarang waktunya lo pikirin diri lo sendiri dulu!”
“Mikirin … a–aku? Bukannya itu … egois?”
“Justru yang egois itu temen lo, Dora! Lo berhak mikirin diri lo sendiri! Itu namanya … ehm, self love!” pekik Kak Tara gemas. “Ahelah gue udah kayak om-om motivator ngomongnya!”
Tangis Nilam benar-benar berhenti dan ia tak tahan untuk tertawa. “Kakak emang pantas jadi motivator. Tapi lebih keren lagi kalau Kakak nggak ngerokok.”
Sesaat Nilam melihat perubahan rona di wajah putih Kak Tara. Bahkan di tengah kegelapan, pipinya yang kemerahan tampak mencolok. “Jangan alihin pembicaraan, deh, Dora!” ucapnya melotot. “Kalo lo mau berhenti, ya, berhenti. Apa mau gue yang bilangin?” tawar cowok itu seraya bangkit berdiri.
“Jangan!” tahan Nilam cepat menyambar kedua tangan cowok itu. “Jangan, Kak! Jangan sekarang! Aku masih belum berani.”
Kak Tara kembali membanting tubuh di atas batang kayu sambil membuang napas kasar. “Ya udah, kalau lo maunya gitu. Lo bisa coba dulu ikut OSIS, sekalian lo uji batas kemampuan lo sampai mana,” tuturnya bijak. “Tapi … jangan sampai lo lupain apa yang bikin lo bahagia.”
Kata-kata Kak Tara merasuk ke dalam sanubari Nilam. Gadis itu mengangguk, meresapi kebimbangan yang masih menyelisik dasar hatinya. Namun entah mengapa, setelah berbincang dengan Kak Tara, hatinya menjadi sedikit lebih tenang.
“Makasih, ya, Kak Tara. Mungkin—seperti kata Kak Daniel, juga kata Kakak barusan—aku memang harus coba dulu ada di sini,” ujarnya sungguh-sungguh. Sesaat ia menyadari tangannya masih menggenggam cowok itu, membuatnya tersentak dan mundur menjauh. “Ah, ma–maaf!”
“Santai aja!” pekik Kak Tara dengan suara melengking. Cowok itu mengusap tengkuk dan membuang muka. “Kalau butuh bantuan, bilang aja sama gue. Lagian, gue juga bakal sering rapat juga sama OSIS. Ehm, yang dulu-dulu, sih, gitu. Walaupun gue malas setengah mati sebenarnya. Tapi mungkin kalo ada lo, gue jadi semangat.”
Kehangatan menelusup hati Nilam, membuatnya tak kuasa menahan senyum. “Ma–makasih, Kak Tara,” bisiknya tulus.
Wajah Kak Tara tiba-tiba makin merah, terlebih telinganya. Dia memutar tubuh ke belakang sambil menutup mulut. “Bisa nggak, sih, nggak usah imut gitu?” pekiknya dengan suara teredam.
Nilam ternganga. Ia tak paham maksud Kak Tara. Namun, belum sempat bertanya, sorotan lampu senter seketika menembus ke dalam retinanya.
“Kalian ngapain di sini?” teriak suara berat yang muncul dari arah villa, terselubung kegelapan malam.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10