Nilam berdiri di balik tiang koridor, mengintip ke arah pintu ruang guru. Ia mengamati setiap orang yang keluar masuk: guru-guru, murid yang membantu membawakan buku, bahkan ada pula siswa yang bajunya tidak dimasukkan ke celana sedang dimarahi oleh guru BK. Semua menimbulkan keriuhan samar yang biasa terjadi di jam bubar kelas.
Beberapa saat kemudian, tampak orang yang ditunggu keluar dari ruang guru. Nilam segera keluar dari tempat persembunyiannya—entah dia bersembunyi dari apa—dan menghampiri sahabatnya itu. Wajah Naura terlihat semakin muram, berlembar-lembar kertas menjuntai dari tangannya yang lunglai.
“Gimana, Ra?” tanya Nilam saat ia sudah berada di sisi gadis bertubuh tinggi itu.
“Nih, lihat sendiri! Masa Pak Randi ngasih soal segini banyak. Mana nanti mau briefing LDKS, kan? Mau belanja juga! Uh, nyebelin banget!” sungut Naura cemberut.
“Duh, sabar, ya, Ra. Apa yang bisa aku bantu?” tawar Nilam lembut. Ia tak bisa mengusap bahunya karena tinggi badannya hanya sebatas telinga kawannya itu.
Mata Naura seketika berbinar, seperti disinari bintang dari dalam. “Gimana kalo lo yang ngerjain soal ini aja, Lam? Kan, lo bilang nggak mau ikut belanja? Nah, keperluan lo, nanti biar gue yang belanjain, sama Gisel dan yang lain. Jadi lo nggak usah pergi, ngerjain soal aja. Gimana?”
Nilam tercekat. Ia tak bermaksud menawarkan bantuan untuk mengerjakan semua soal itu. Mungkin salahnya yang tadi tak jelas mengutarakan maksud, tetapi bukankah harusnya Naura mengerti? Itu adalah tugas yang diberikan Pak Randi agar dia memahami pelajaran yang tadi tidak masuk ke otaknya. Kalau Nilam yang mengerjakan, sama saja Naura tak akan paham.
“Eh, a—aku … ehm, aku—”
“Kenapa?” sergah Naura. “Lo, kan, nggak suka belanja. Biasanya juga kalo gue ajak, lo cuma diem aja. Makanya nanti barang-barang lo biar gue yang belanjain, lo tinggal duduk manis aja di rumah sambil ngerjain soal. Beres, kan?”
Kata-kata Naura benar seratus persen soal dia tak suka belanja. Namun kalau harus ditukar dengan mengerjakan soal, dua-duanya sama-sama susah. Apalagi Fisika, ia hanya bisa memahami bagian luarnya saja. Kalau sudah berurusan dengan soal, semua rumus yang tersimpan seolah memantul dari otaknnya.
“Tapi, Ra. Aku—”
“Udah! Begini aja udah paling bener! Nanti urusan belanja, serahin ke gue. Gue jamin nggak ada yang kurang!” potong Naura seraya menarik tangan Nilam dan meletakkan kertas itu. “Dah, yuk! Kita ke kelasnya Gisel! Bareng sama mereka ke aula!”
Kini keadaan berbalik. Awan mendung yang tadi berada di atas kepala Naura berpindah ke sisinya. Ia ingin sekali menolak usul sahabatnya itu, tetapi bagaimana kalau mereka bertengkar lagi? Ia tak mau Naura menjauhinya lagi seperti waktu itu, saat ia menolak untuk diajak ikut OSIS. Hatinya sungguh tak tenang, ia bahkan tak nafsu makan dan tak bisa tidur kalau ada yang marah padanya. Ia sama sekali tak menyukai perasaan bersalah itu, membuat dadanya seperti tertimpa beban berat.
Naura melingkarkan tangannya di lengan Nilam sambil bersenda gurau. Sinar keceriaan seketika muncul menggantikan awan kelabu yang tadi bergelayut di wajahnya. Dia berceloteh riang, merencanakan serunya kegiatan LDKS yang akan dilakukan di Puncak. Semua barang dan camilan yang harus dibawa sudah terdaftar di otaknya. Mungkin nanti akan ditambah dengan perintah dari panitia dan itu tak mengurangi semangatnya.
Tak ada sedikit pun antusiasme pada diri Nilam untuk mengikuti kegiatan itu. Meskipun ia sudah berjanji pada Kak Daniel akan berusaha sekuat tenaga, tetap saja rasanya itu tak sesuai dengan jiwanya yang tidak suka mengembara. Apalagi membayangkan kalau harus bertemu Kak Rendra lagi sejak kejadian diantar kemarin. Malamnya, ia tidak dapat tidur karena adrenalin yang masih terpompa.
Tiba di depan kelas X MIA 1 tempat Gisel dan teman-temannya, Naura langsung berteriak histeris. Mereka langsung berpelukan seolah sudah lama tak bertemu, padahal Nilam sering melihat mereka mengobrol di grup chat. Ia hanya mengikuti di belakang Naura yang sedang bertukar kabar dan membicarakan grup K-Pop idola mereka. Karena tak tahu apa yang dibicarakan, ia hanya termangu dengan pandangan menerawang menembus jendela kaca belakang kelas. Rerumputan luas dengan gundukan bunga dan pohon mahoni rindang di atas, bergoyang tertiup angin.
Perhatian Nilam tertumbuk pada sosok cowok yang sedang berbaring di atas rumput. Ia menggigit sehelai batang ‘bunga’ yang biasa tumbuh di rumput liar, berbatang tipis dan tidak memiliki kelopak. Tangannya seperti mengukir di udara, sementara matanya menerawang ke angkasa. Mulutnya bergumam sendiri, tak ada lawan bicara di sana. Kulitnya yang kecokelatan dengan rambut pendek yang sedikit acak-acakan membuat Nilam langsung mengenalinya. Kak Orion!
Sejak mengantar ke rumahnya tempo hari, ia belum juga bertemu kembali dengan cowok itu. Topi yang dipinjam sekaligus gambar hadiah masih bertengger di tas, menunggu untuk dikembalikan. Mungkin ini saatnya, daripada ia harus termangu mendengarkan cerita teman-teman yang tidak ia mengerti.
"Ra, aku keluar dulu, ya. Nanti ketemu di aula aja," pamit Nilam sambil menepuk bahu Naura.
"Ah, iya, Lam. Nanti jangan telat, ya!" sahut Naura tanpa menoleh, kemudian kembali mengobrol heboh dengan yang lain.
"Aku pergi dulu, ya, semuanya," Nilam kembali pamit untuk berbasa-basi pada Gisel dan teman-temannya. Hanya Rachel yang menjawab, selebihnya sibuk menonton video di YouTube.
Berjalan keluar kelas, angin sepoi-sepoi menyambutnya. Menghirup udara bebas, entah mengapa beban samar yang sejak tadi terasa di hati Nilam sedikit berkurang. Ia berjalan memutar melewati lapangan menuju padang rumput di belakang sekolah. Terdapat tiga cowok bermain basket serta lima anak perempuan yang sedang bersenda gurau di atas tribun.
Melewati gundukan bunga asoka beraneka warna yang tumbuh setinggi dadanya, ia berhenti sejenak. Keraguan seketika membelit hati Nilam mendengar Kak Orion yang sedang berbicara. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari adanya lawan bicara yang mungkin bersembunyi di sekitarnya. Tak ada siapa pun di sana selain cowok itu, dirinya, juga sebatang pohon mahoni besar yang menjulang bermeter-meter. Dari perkataan yang masuk ke telinganya, Nilam banyak tak memahami arti dan maksud ucapan cowok itu.
"Lubang hitam tidak benar-benar kosong, tapi ada materi yang terkondensasi menjadi singularitas."
"Nurture beda dengan nature. Tidak semua orang berbakat, tapi kemampuan bisa dibentuk."
"... Framme dagging di mana massa berotasi menyeret sepanjang ruang-waktu di sekitarnya."
Nilam ternganga. Tangannya otomatis memegang tengkuk yang tersapu angin dingin. Sikap Kak Orion sungguh sangat jarang ditemukan. Apa jangan-jangan, yang dikatakan Kak Tara ternyata benar? Kak Orion orang aneh dan suka berbicara sendiri. Apa sebaiknya ia tak mengganggu, ya?
Langkah kaki Nilam yang mundur terhenti saat kakinya menginjak daun kering yang menimbulkan bunyi nyaring. Ia mematung sejenak, memastikan Kak Orion tak menyadari kehadirannya. Ketika kakinya hendak kembali melangkah, suara tenor itu membelah bunyi dedaunan yang saling bergesek.
"Alnilam, duduk sini!" panggilnya tanpa menoleh.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10