Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding the Star
MENU
About Us  

Nilam mengatur napas yang memburu, seperti baru saja lari maraton lima kilometer. Kakinya terasa gemetar saat berjalan menuju luar ruangan. Suara langkah di belakangnya semakin menambah efek mencekam. Apalagi belasan pasang mata yang tersisa seolah menancapkan tombak tak kasatmata. Mungkin bukan dia yang dipandangi, tetapi orang di belakangnya, yaitu Kak Rendra. Namun tetap saja ia merasa seperti ikut menjadi target tatapan mereka.

Tiba di depan aula, senyum Kak Nida menyambut, tetapi tak bisa sedikit pun mengurangi ketegangan pada diri Nilam. Kak Rendra sudah berdiri tegak dan menjulang di sebelahnya, menyapa Kak Nida dengan ramah. Berbeda dengannya yang terasa sulit membuka mulut, seolah baru saja direkatkan dengan lem aibon.

“Kalian pergi ke pos empat dulu, ya, yang sudah kosong. Tempatnya di kelas XII MIA 2. Habis itu ke pos lima dan enam, ada di sebelahnya. Nanti di sana akan diarahkan, apakah ke pos satu, dua, atau tiga.”

“Baik, Kak,” sahut Kak Rendra terdengar percaya diri. Sementara Nilam hanya mengangguk sambil menerima lembaran kertas yang berisi kolom untuk tanda tangan. 

“Oke! Semangat, ya! Semoga berhasil!” ucap Kak Nida ceria. “Oh, iya. Rendra, revisi LPJ sekbid, tolong kirim ke email saya besok, ya!”

Kak Rendra mengacungkan jempol. “Siap, Kak. Oh iya, tapi ekskul futsal belum kumpulin revisi. Kalau begini ….”

Kedua pengurus OSIS itu berbincang tentang tugas yang tersisa di periode sebelumnya. Merasa tak ada keperluan lagi, Nilam berjalan duluan menuruni tangga. Ia memandangi kertas yang diberikan Kak Nida tadi. Ada enam pos yang harus mereka datangi. Pertama kali, ia harus datang ke pos empat, yaitu pos kepemimpinan. Ia tak dapat menduga pertanyaan apa yang nanti akan dilontarkan.

Sesampainya di lantai dasar, Nilam berbelok ke bagian belakang sekolah. Pikirannya terus berusaha menerka apa maksud pos kepemimpinan ini. Kalau ditanya soal pengalaman memimpin, tentu saja nol besar. Bahkan memimpin adik sendiri saja, dia tak bisa. 

Nilam memandangi kelas-kelas kosong yang dilewati. Andai saja ia tak perlu ikut organisasi ini, pasti dia juga seperti siswa yang lain, sedang asyik menikmati waktu di rumah. Datang ke sekolah di hari libur tak pernah terbayang olehnya. Apa enaknya? Lebih baik menonton televisi atau bermain bersama adik-adiknya. Ia juga bisa menggambar dengan bebas, tak tertekan seperti tadi. 

Seketika pandangan Nilam terpaku pada salah satu kelas dengan empat orang di dalamnya. Salah satunya tampak familiar. Ia mendekatkan wajah ke kaca jendela dan tampak Kak Orion! Ya ampun! Sejak dua hari lalu ia mencari cowok itu, malah baru ketemu sekarang. Bukan apa-apa, ia ingin mengembalikan topi yang dipinjam tempo hari. Kini ia sudah menemukan solusi atas permasalahan poni kependekan, yaitu menggunakan bandana. Ia juga sudah mencuci dan membungkus topi Kak Orion, serta menambah gambar cowok bertopi sebagai ucapan terima kasih. Namun, entah mengapa saat ia mencari, kakak kelasnya itu sulit ditemukan. 

Tanpa sadar Nilam melambaikan tangan. Walaupun ia tak membawa topi bintang itu, ia ingin membuat janji untuk bertemu lagi. Seperti mendapat radar kehadirannya, Kak Orion yang sedang menulis tiba-tiba mengangkat wajah dan mereka saling bertatapan. Cowok itu mengangkat tangan, membalas lambaiannya seraya tersenyum. Gerakannya yang tiba-tiba itu otomatis membuat ketiga temannya ikut melihat ke arah Nilam. Gawat!

“Ayo, cepat ke pos empat!”

Suara berat di belakang Nilam seketika membuatnya merinding. Ia berbalik dan tampak Kak Rendra sudah berjalan dua langkah di depannya. Apakah barusan ia kepergok sedang mengintip ke dalam kelas yang dihuni oleh cowok-cowok? Ah, memalukan!

Nilam segera mengikuti langkah Kak Rendra. Sekilas ia melirik ke dalam kelas dan tampak ketiga teman Kak Orion sedang tertawa terbahak-bahak. Berbeda dengan temannya yang lain, cowok berkulit sawo matang itu hanya tersenyum simpul sambil terus menatap keluar jendela. Nilam jadi merasa bersalah. Jangan sampai Kak Orion jadi diejek teman-temannya gara-gara seorang gadis aneh menyapanya.

Berjalan di belakang Kak Rendra, Nilam berharap kakak kelasnya itu tak membahas kelakuan bodohnya tadi. Ia memang seharusnya tak perlu khawatir karena sepanjang perjalanan, cowok itu hanya diam seribu bahasa. Tanpa sadar ia memperhatikan otot-otot yang menyembul dari lengan kecokelatan Kak Rendra. Seperti badannya yang besar, mungkin itu juga menandakan kalau ia rajin berolahraga. Benar-benar kandidat ketua OSIS yang sangat luar biasa.

Kak Rendra tiba-tiba berhenti mendadak, membuat Nilam lagi-lagi hampir saja menabraknya dari belakang. Beruntung ia berhasil mengerem kakinya dalam waktu yang tepat. Saat menoleh ke pintu, ia baru sadar kalau mereka telah tiba di depan kelas XII MIA 2, dengan tulisan yang ditempel di depan pintu: POS 4 - KEPEMIMPINAN.

***

Nilam duduk gelisah di atas kursi yang seolah berada di atas tungku. Terlebih perutnya terasa semakin mulas, ditambah dengan keringat dingin yang tak berhenti mengucur. Ia tak menyangka di pos pertama akan berhadapan langsung dengan pucuk pimpinan tertinggi organisasi ini: Kak Daniel.

Mungkin saja panitia sengaja menempatkan mereka untuk diwawancarai langsung oleh ketua OSIS, mengingat Kak Rendra adalah satu kandidat kuat penerusnya. Namun mengapa harus Nilam yang menanggung derita? Baru duduk di depannya saja ia sudah menciut seperti kacang yang sudah kisut, apalagi kalau harus menjawab pertanyaan darinya. Melirik dengan ekor mata, ia melihat Kak Rendra tampak tenang dan berwibawa. Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya yang kalang kabut ingin kabur.

“Baik, Talitha Nilam Pranaya dan Tarendra Yudhistira. Sebutkan nama panggilan, asal kelas, dan alasan ikut OSIS,” ucap Kak Daniel membuka sesi wawancara.

Nilam menoleh pada Kak Rendra, ingin bertanya siapa yang akan lebih dulu menjawab. Namun, cowok itu terlebih dahulu membuka suara.

“Saya Rendra, dari kelas XI MIA 4. Alasan saya ikut OSIS adalah untuk melatih tanggung jawab saya dalam mengemban tugas dan amanah yang diberikan pada saya. Saya juga ingin mengasah keterampilan berorganisasi dan jiwa kepemimpinan saya dalam menjalankan visi dan misi OSIS bersama dengan seluruh pengurus terpilih.”

Mata Nilam seolah mengeluarkan bintang-bintang demi mendengar jawaban luar biasa dari seorang Tarendra Yudhistira. Pantas saja ia menjadi kandidat ketua OSIS, dia sungguh lancar berbicara dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kalau saja boleh, ingin sekali ia bertepuk tangan dan menyebarkan konfeti di atas kepalanya.

“Kalau kamu, Talitha Nilam Pranaya?” tanya Kak Daniel, membuat Nilam tersentak. Ia masih sibuk mengagumi Kak Rendra sampai tak sadar kalau sekarang gilirannya.

“Saya diajak sama teman dan disuruh Mama,” sahutnya datar.

“Ya?”

Kak Daniel mengernyitkan dahi sambil memajukan tubuhnya hingga tepat berhadapan dengan Nilam. Begitu juga Kak Rendra yang perhatiannya kini teralih padanya. Astaga! Dia keceplosan!

Menyadari mulutnya yang salah berucap, Nilam langsung menutup mulut. Ya ampun! Bodoh sekali! Dia menggali lubang neraka sendiri! 

“Ehm … saya … saya … ingin … anu ….”

Otak Nilam seketika konslet. Ia tak dapat berpikir jernih sementara tatapan dua pemimpin seolah menyelubunginya erat. Ia meremas-remas tangannya sendiri sampai terasa sakit dan jantungnya terasa akan meledak.

“Coba, kamu tenang dulu. Tarik napas panjang, embuskan,” perintah Kak Daniel dengan nada suara yang sedikit melunak. Mau tak mau Nilam mengikutinya. Ternyata benar, oksigen perlahan memasuki otaknya.

“Maaf, Kak,” bisiknya lirih. Rasanya ia mau menangis karena kecerobohannya.

“Loh, kenapa minta maaf? Saya malah tertarik sama jawaban kamu tadi. Baru kali ini ada peserta yang jawab jujur,” sergah Kak Daniel. “Coba cerita dengan jujur, kenapa kamu mau ikut OSIS?”

Menggigit bibir, Nilam terus menunduk. Ia benar-benar tak berani menatap wajah Kak Daniel. Tahan. Ia tak boleh menangis saat wawancara begini. 

“Saya … saya sebenarnya nggak mau ikut OSIS,” jawabnya dengan suara serak.

“Kenapa kamu nggak mau ikut OSIS?” Kak Daniel balik bertanya.

“Ehm …,” Kali ini Nilam membasahi bibirnya. “Karena … karena saya rasa saya nggak cocok di OSIS. Di sini orangnya semua pintar ngomong, sedangkan saya nggak. Semuanya aktif dan supel, sedangkan saya … saya harus bantuin Mama saya di rumah.”

“Jadi menurut kamu orang yang ikut OSIS itu pintar ngomong, aktif, dan supel?” tanya Kak Daniel merangkum kata-katanya. “Terus kamu nggak?”

Nilam mengangguk pelan. Sekarang ia benar-benar mati kutu. Bukannya tersingkir secara alami, dia malah terjun ke jurang sendiri. 

“Kalau kamu bilang pengurus OSIS harus seperti itu, coba kamu lihat Rendra. Di rumah, dia juga bantuin orangtuanya. Dia juga nggak banyak omong, bergaul sesuai kebutuhan tugas dan tanggung jawab. Tapi buktinya, dia bisa jadi pengurus OSIS!”

Telinga Nilam seperti mendengar cambukan berkali-kali lipat. Dadanya terasa sesak, tubuhnya semakin gemetar. Ia melirik Kak Rendra yang kini juga menunduk. Mana mungkin ia bisa seperti Kak Rendra, dia memang luar biasa. Sedangkan dirinya, tak ada apa-apanya.

“Terus, kenapa kamu daftar jadi pengurus OSIS?” Nada suara Kak Daniel meninggi. Ia tak dapat melihat wajah kakak kelas itu secara jelas karena matanya kini sudah terlapisi air mata. 

“Karena … saya diajak teman saya …,” Nilam sengaja tak bilang kalau ia ‘dipaksa’ Naura karena tak mau sahabatnya itu terlibat masalah, “Dan juga disuruh Mama.”

“Siapa nama teman kamu?” selidik Kak Daniel tajam.

“Ehm … Kak, tolong. Ini bukan salah teman saya,” pinta Nilam dengan air mata menitik. Biar dia sendiri saja yang terjerembab ke dalam lubang, jangan sampai Naura juga.

“Saya cuma mau tau aja,” sergah Kak Daniel.“Siapa namanya?”

Maaf, Naura, pekik Nilam dalam hati. “Namanya … ehm … namanya … Naura, Kak.”

“Oke, Naura.” Kak Daniel mencatat di atas kertas. “Terus, kenapa Mama kamu nyuruh kamu ikut OSIS?”

Haduh! Kapan penyiksaan ini akan berakhir? Kenapa Kak Daniel malah berfokus padanya saja, sementara Kak Rendra kini malah jadi ikut mendengarkan kisahnya. Tanpa sadar, air matanya semakin mengalir dengan deras. Ia membuang napas kasar. Tak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Kak Daniel pasti akan bertambah marah kalau dia berbohong setelah semua jawaban bodohnya tadi.

“Ka—kata Mama, supaya saya jadi aktif. Dari SD sampai SMP, saya … saya nggak pernah ikut apa-apa,” ujar Nilam parau. 

“Kenapa kamu nggak pernah ikut kegiatan apa pun?”

Nilam terdiam. Kalau ia jujur, ini pasti akan menjadi akhir dari eksistensinya.

"Kenapa, Talitha?" tanya Kak Daniel semakin dekat.

“Soalnya …,” Nilam meneguk ludah, “Soalnya saya nggak suka.”

Kak Daniel menggaruk dagu. “Memangnya yang kamu suka apa?”

Mata Nilam terbuka lebar. Baru kali ini ada orang yang menanyakan kesukaannya. Ia sungguh malu mengatakannya. “Gambar,” sahutnya pelan.

“Apa?” Kak Daniel menedengkan telinga. 

Mau tak mau Nilam mengeraskan suara. “Menggambar, Kak.”

“Oh, menggambar ….” Kak Daniel menggoreskan tulisan di atas catatan.

Habis sudah tenaga Nilam menghadapi wawancara pertama. Ia benar-benar sudah menghancurkan dirinya di hadapan pengurus OSIS. Sungguh memalukan!

“Oke, Talitha, tunggu sebentar.”

Kak Daniel meninggalkan ruangan, sementara Nilam tak kuasa lagi menahan tangisan. Ia menutup wajah dengan tangan, terisak pelan. Ia tak mau mengundang perhatian dari sekitar, tetapi sesak di dadanya kini sudah tak terbendung. Ia mengutuk kebodohannya sendiri yang sudah berbicara dengan jujur. 

“Ini.” 

Suara berat di sebelahnya terdengar lebih lembut. Nilam membuka tangan yang menutupi muka dan terlihat tangan Kak Rendra menyodorkan tisu di depannya. Mata Nilam mengerjap, sesaat masih tak percaya. Sejurus kemudian, ia mengambil tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah.

“Terima kasih, Kak,” ucapnya serak. Kini rasa malu menyergapnya karena sudah menangis di tengah wawancara. Bahkan, tak ada yang galak padanya.

Sebuah buku diletakkan di depan Nilam oleh Kak Daniel sebelum duduk di kursinya. “Talitha, kamu baca halaman yang sudah saya tandai baik-baik, nanti di akhir acara, kamu kembali lagi menghadap saya. Paham?”

Tak ada lagi yang bisa Nilam lakukan selain menuruti perintah Kak Daniel. Ia menganggukkan kepalanya yang terasa berat demi menambah tugas tambahan ini. “Paham, Kak."

“Bagus,” ujar Kak Daniel beralih pada cowok di sebelah Nilam. “Rendra, tolong awasi Talitha dan nanti juga temui saya.”

“Siap, Kak!”

“Oke, kalau begitu, wawancara kalian di pos empat sudah selesai. Silakan kalian ke pos berikutnya.”

Nilam terbelalak. Seingatnya dia belum menjawab satu pun soal tentang kepemimpinan. Apalagi Kak Rendra yang baru menjawab satu pertanyaan. Ah, semua ini gara-gara kecerobohannya di sesi pertama wawancara.

Dengan langkah gontai, Nilam berjalan keluar dari kelas yang terasa seperti ruang penyelidikan. Ia membaca sekilas buku bersampul biru yang diberikan Kak Daniel tadi, berjudul You are Worthy. Belum sanggup membaca, ia hanya menyimpannya dalam pelukan.

“Kamu pasti bisa!” 

Suara berat Kak Rendra menelusup ke gendang telinga Nilam. Saat ia menoleh, cowok itu telah berjalan mendahuluinya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • edfasal

    Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 10
  • edfasal

    Aku hadir Kak, semangat 💪

    Comment on chapter Chapter 6
Similar Tags
No Life, No Love
573      462     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
XIII-A
415      322     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jenius—hingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah se...
Tok! Tok! Magazine!
77      66     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Menjadi Aku
238      199     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
I'il Find You, LOVE
6061      1665     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
REMEMBER
4528      1362     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
IMAGINATIVE GIRL
2619      1322     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Sweet Like Bubble Gum
691      478     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Penerang Dalam Duka
134      96     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
94      82     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...