Nilam melewati jalan pintas melalui gang di belakang sekolah demi menghemat waktu perjalanan pulang. Biasanya saat bersama Naura, mereka akan melewati jalan raya karena naik motor. Jarang sekali ia lewat gang dengan tembok penuh dengan mural ini. Selain karena sepi, ia juga tak pernah sekali pun pulang sendiri. Ini kali pertama dan terjadi karena ia membuat masalah pada Naura.
Langkah Nilam terhenti saat ia hendak memasuki gang dan tampak segerombol siswa nongkrong di sana. Dari seragamnya putih abu-abu biasa dengan pin lingkaran, kemungkinan mereka berasal dari sekolahnya. Asap putih mengepul dari mulut mereka yang dipenuhi rokok. Bukan hanya cowok, ada juga dua cewek yang bergabung dalam perkumpulan itu.
Firasat Nilam tak enak dan ia tak ingin timbul masalah lagi. Akhirnya ia memilih berbalik kembali ke jalan utama. Lebih baik sedikit memutar jauh daripada harus berhadapan dengan siswa yang sedang merokok dan bersenang-senang seperti itu.
“Eh, ini bukannya Dora?”
Nilam terperangah. Spontan ia menoleh dan mendapati sesosok cowok jangkung nyengir di hadapannya. Jantungnya seolah berhenti berdetak karena begitu kagetnya. Gawat! Tinggal selangkah lagi tiba di jalan raya, kenapa harus ketemu Kak Tara?
Pura-pura tak mendengar, Nilam lewat di sebelahnya sambil terus menunduk. Seketika kepalanya terasa panas saat sengatan matahari menembus rambutnya yang tiba-tiba tersapu angin berembus. Tunggu dulu, bukankah tadi ia mengenakan topi? Seketika ia menengadah dan topinya sudah melayang di atas kepala.
“Kak! Tolong kembaliin topi saya!” pekik Nilam refleks. Ia berusaha menjangkau, tetapi tinggi Kak Tara seolah dua kali lipat darinya. Alhasil dia harus melompat-lompat demi bisa meraih topi yang kini berada dalam genggaman kakak kelas itu.
Bukannya memberikan, Kak Tara malah mempermainkannya. Sebentar ia menurunkan topi. Saat tangan Nilam sedikit lagi mengambilnya, dia kembali menariknya ke atas. Benar-benar menyebalkan!
Kak Tara tertawa terbahak-bahak. “Nih, bener ternyata ini si Dora! Songong banget, sih, lu tadi! Suruh ambilin bola aja nggak mau! Rasain, nih!”
Ya ampun! Ternyata Kak Tara masih dendam gara-gara tadi pagi. Padahal itu bukan kemauannya tak mengacuhkan suruhannya. Kalau bukan karena Kak Orion, ia pasti sudah memberikan bola itu padanya.
Lelah berebut, Nilam memikirkan jalan damai yang bisa ditempuh. Kepalanya sudah pusing karena masalah hari ini, ia tak mau menambahnya lagi. Apalagi pada kakak kelas menyebalkan ini. Ia tak mau diganggu lagi.
Nilam mundur selangkah, kemudian membungkuk hormat. “Maafin saya, Kak.”
Sejenak hening, kemudian Nilam merasakan usapan pada pucuk kepalanya yang terasa panas. Ia bangkit dan tangan Kak Tara malah mengacak-acak rambutnya. Argh! Sudah poninya aneh, kini rambutnya juga berantakan tak terkira. Meskipun begitu, ia harus tetap tenang agar Kak Tara tidak tambah marah.
“A—anu, Kak. Apa saya boleh minta topinya?” tanya Nilam sesopan mungkin. “Itu bukan punya saya, tapi punya Kak Orion.”
“Lo pacarnya Orion, ya?” Kak Tara malah balik bertanya.
“Hah?” Spontan Nilam terbelalak. “Enggak, kok. Bu—bukan!”
“Oh …,” desah Kak Tara. “Jangan dekat-dekat sama dia. Dia itu aneh! Suka ngomong sendiri! Nanti lo ketularan!”
Nilam terbeliak. Seingatnya tadi, Kak Orion berperilaku normal. Justru sangat manis, karena membantunya dari keterlambatan sampai meminjamkan topi. Apa mungkin Kak Tara punya masalah dengannya sehingga bermusuhan dan menjelekkannya di belakang?
“Tadi Kak Orion baik, kok. Nggak aneh,” bela Nilam tak terima.
“Ye … si Dora belum tau aja,” sergah Kak Tara.
Memang belum tahu, jelas-jelas dia baru bertemu tadi pagi. Namun rasanya tidak sopan mengatakan hal buruk orang lain saat orangnya tidak ada.
“Wah, Tara dapet mangsa baru, nih!” teriak cowok di belakang Nilam. Pasti dari gerombolan perokok tadi! Nilam merinding dibuatnya.
“Cepet ambil duitnya, Ra! Rokoknya udah mau abis!”
Kak Tara mengalihkan pandangan dari Nilam, melewati atas kepalanya. “Berisik! Bocah ini urusan gue!”
Mengambil kesempatan saat Kak Tara lengah, Nilam merebut topi dari tangannya. Cowok itu terperanjat, hendak kembali mengambil barang yang disembunyikan Nilam di belakang tubuhnya. Saat Nilam hendak kabur melewatinya, tangan Kak Tara terentang menghadangnya. Di belakang, suara langkah kaki dan teriakan semakin mendekat. Sepertinya teman-teman Kak Tara yang bergerombol hendak membantu menangkapnya. Apakah ia akan dipalak? Uh, rasanya Nilam akan menangis.
“Tara!”
Teriakan terdengar dari belakang tubuh Kak Tara. Sontak cowok itu menoleh dan seketika sebuah benda sekilas terbang dan mendarat di dadanya. Kak Tara menangkapnya, tetapi sedetik kemudian dia jatuh terduduk dan meronta-ronta panik. Semua terjadi begitu cepat hingga Nilam ikut terperangah. Ternyata yang menimpa cowok itu adalah seekor kucing hitam yang menggeliat-geliat hendak kabur dari atas tubuhnya.
“Ayo, cepat!”
Nilam merasakan tarikan kuat di tangannya saat ia setengah tersadar dari situasi menegangkan ini. Jantungnya seolah ingin melompat keluar dari tubuhnya, terlebih saat menyadari siapa orang yang datang menyelamatkannya. Kak Orion!
Seperti digerakkan otomatis, Nilam segera naik ke jok motor Kak Orion yang terparkir di tepi jalan. Sekilas ia melihat Kak Tara masih kewalahan dengan kucing yang meraung-raung, dibantu oleh teman-temannya yang langsung datang mengerubung. Ada juga yang hanya berdiri menertawakannya. Kalau dilihat lagi, kasihan juga. Sepertinya dia tidak suka kucing.
Kak Orion mengendarai motornya dengan cepat, tetapi kali ini Nilam sudah lebih siap. Ia tak lagi berpegangan pada bahunya, melainkan pada besi yang terdapat di belakang jok. Laju motor melambat saat mereka tiba di bawah pohon tempat pertama mereka bertemu.
“Rumah kamu di mana?” tanya Kak Orion membuka percakapan.
“Di Perumahan Hortensia, Kak,” sahut Nilam. “Tapi saya turun di sini aja nggak apa-apa, Kak. Nanti lanjut jalan kaki. Udah nggak begitu jauh.”
“Nggak apa-apa, dianter aja. Sekalian jalan,” ucap Kak Orion terdengar samar, tersapu embusan angin.
Nilam hendak menjawab, tetapi Kak Orion kembali mempercepat laju motornya. Ia menimbang apakah akan mengucapkan terima kasih sekarang atau nanti saja saat sudah sampai? Belum menentukan pilihan, mereka sudah tiba di depan perumahan. Kak Orion memintanya menunjukkan jalan.
Perjalanan menegangkan Nilam akhirnya berakhir juga saat melihat gerbang rumah di depannya. Rasanya amat lelah dan ia ingin segera beristirahat. Ketika motor berhenti, dengan segera ia melompat dan memutar ke tepi.
“Makasih banyak, ya, Kak Orion. Kakak udah banyak banget nolongin saya hari ini,” kata Nilam bersungguh-sungguh. Ia ingin menawarkan untuk mampir ke rumah, tetapi ia khawatir kalau kondisinya berantakan parah.
“Sama-sama. Saya pulang, ya …,” Ia terhenti beberapa saat sebelum melanjutkan, “Alnilam.”
Nilam terkesiap. Baru saja ia hendak berbicara, Kak Orion sudah menarik tuas gas motornya dan memutar balik. Dia menatap Nilam saat lewat di depannya sambil menekan klakson dan … tersenyum!
Tubuh Nilam seolah membeku demi melihat senyuman yang terukir di kulit sawo matang cowok itu. Ia terpaku beberapa saat, tak bisa menggerakkan badannya. Apa katanya tadi? Alnilam? Namanya Nilam, kenapa dia memanggilnya Alnilam? Tunggu dulu! Bagaimana dia tahu namanya? Ah, tentu saja dari nama yang tertera di seragam. Ia menepuk dahinya sendiri saat merasakan kegeeran sesaat. Setelah kesadarannya kembali, ia masuk ke rumah sambil senyum-senyum sendiri.
Tak ada yang menjawab saat Nilam mengucapkan salam. Ia segera masuk menuju kamar dan mendapati Mama sedang menyuapi Wildan di meja makan. Ia mencium tangan Mama khidmat sambil menggoda adik bungsunya yang belepotan. Entah kenapa Wildan jadi terlihat jauh lebih menggemaskan.
“Tadi Naura ke sini. Katanya kamu nggak mau didaftarin OSIS?” tanya Mama tiba-tiba. “Kok, dia pulang duluan? Nggak bareng kamu?”
Lagi-lagi jantung Nilam seperti tersengat aliran listrik. Ia bingung harus menjawab apa, itu kemauan Naura. Namun sahabatnya itu pasti tak mengatakannya pada Mama.
“Ehm … itu …,” Nilam tergagap.
“Kamu berantem sama Naura?”
“Ng—nggak, kok.”
Mama mendesah. “Mama nggak apa-apa kamu ikut organisasi, Nilam. Malah bagus, biar kamu aktif di sekolah. Contoh si Naura, dari SD dia ikut banyak ekskul, punya nilai lebih. Kamu, kan, nggak pernah ikut apa-apa. Kamu itu harus bisa kayak Naura, kalau bisa malah lebih dari dia. Jangan diam terus. Mama kesal dengar mamanya Naura bangga-banggain dia terus sama ibu-ibu komplek, sambil banding-bandingin kamu sama dia.”
Aku nggak mau ikut karena nanti Mama nggak ada yang bantuin di rumah, batin Nilam. Alih-alih menyuarakan pikirannya, ia hanya menunduk sambil menggigit bibir.
“Kak Ratna dulu jadi wakil ketua OSIS, sekarang dia aktif juga di BEM. Udah gitu sekarang dia kursus salon dan tata rias. Itu bisa jadi bekal untuk pengalaman organisasi dan keterampilan kalau udah lulus nanti!” terang Mama panjang lebar. “Bahkan Una aja kepilih jadi dokter kecil. Kamu? Dari SD sampai SMA sekarang nggak ada kegiatan apa-apa yang bisa dibanggain.”
Hati Nilam terasa kecut. Ia memang tidak bisa apa-apa dibanding saudari dan juga sahabatnya. Hanya satu kegiatan yang ia suka: menggambar. Namun Mama bilang itu hanya membuang waktu karena ia tak pernah satu kali pun memenangkan perlombaan. Yah, itu pun hanya tiga atau empat kali Mama mendaftarkan saat ia SD dulu. Selebihnya, hasil gambarnya hanya menumpuk dalam kardus di sudut kamar.
Tak ingin membuat Mama kesal lebih lanjut, Nilam akhirnya menyahut, “Iya, Ma. Nanti aku ikut OSIS.”
“Nah, begitu, dong! Nanti Mama bisa banggain kamu ke ibu-ibu kompleks. Soalnya peringkat Naura pas masuk sekolah udah lebih tinggi dari kamu, jadi mamanya berasa di atas angin. Sekarang kamu harus tunjukin kalau kamu bisa dapat jabatan lebih tinggi Naura. Ya?”
Kepala Nilam sangat berat untuk mengangguk. Ia pamit pada Mama untuk mengganti baju, kemudian berjalan gontai menuju kamar. Dadanya terasa sesak, tetapi ia berusaha untuk mengabaikan. Mungkin ini jalan yang terbaik untuknya. Selain bisa menenangkan Mama, ia juga bisa kembali merebut hati Naura. Dua masalahnya akan selesai dengan sendirinya.
Tangan Nilam mengambil ponsel di tas dan menekan kotak percakapan dengan Naura. Ia menghela napas panjang sebelum tangannya mengetik pesan yang terasa sulit untuk tersampaikan.
[Naura, aku mau ikut OSIS.]
[Aku minta maaf soal tadi di sekolah.]
[Jangan marah lagi, ya.]
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10