“Do—Dora?” Nilam membeo.
“Cepetan, Dora!”
Seorang cowok muncul dari celah rimbunan daun yang tersibak. Kulitnya putih, rambut keritingnya mengular di seluruh kepala. Tubuhnya tinggi, sampai-sampai bisa melewati pucuk pohon alamanda. Tak perlu ditanya lagi siapa. Dia cowok populer satu sekolah. Akhtara Dinari Akhyar, atau yang biasa dipanggil Tara, sang ketua ekskul futsal yang punya fanbase seperti penyanyi K-Pop.
Nilam mengangkat bola sambil memikirkan panggilannya tadi. Dora? Maksudnya Dora The Explorer, tokoh kartun waktu ia kecil dulu? “Katakan peta, katakan peta!” begitu kalimat yang sering diucapkan Dora sepanjang film. Namun, kenapa dia dipanggil Dora? Apa jangan-jangan karena … oh, Nilam tahu! Pasti karena potongan poninya! Jahat sekali Kak Tara!
Memberengut, ia bersiap melempar bola sepak yang sudah berada di tangan. Baru saja hendak melempar, gerakannya terhenti saat ada tangan yang menghalangi tepat di depannya. Kak Orion!
“Jangan mau! Suruh ambil sendiri!” perintahnya tegas. “Apalagi dia udah panggil kamu sembarangan!”
“Eh? A—aku nggak apa-apa, kok, Kak,” ucap Nilam masih tak dapat menutupi kekagetan. “Ini sekalian udah di kaki aku, jadi biar aku lempar ke Kak Tara.”
“Ahelah! Apaan, sih, lu Rion! Bikin lama aja! Lempar sini bolanya!” teriak Kak Tara.
Kak Orion merebut bola dari tangan Nilam, kemudian meletakkannya di lantai. “Nih! Ambil sendiri!”
Wajah Kak Tara memerah, matanya melotot. Terdengar dia menyumpah serapah. Nilam gemetar, tak menyangka masalahnya akan jadi sepelik ini. Cuma gara-gara bola, astaga! Padahal ia tak apa-apa melemparkan bola itu lagi padanya. Baru saja ia hendak berbicara untuk mencairkan ketegangan, Kak Orion merangkul pundaknya dan membawanya menjauh dari tempat itu.
Nilam berjalan kaku meskipun tangan Kak Orion sudah lepas dari bahunya. Biar bagaimanapun, ia tak bisa marah juga pada kakak kelas yang sudah menyelamatkannya dari keterlambatan ini. Namun, bukankah sikapnya berlebihan? Apa salahnya menolong teman, walaupun sekadar memberikan bola yang sudah terlanjur berada di dekatnya?
“Jangan takut sama orang kayak Tara. Dia harus tau kalau nggak boleh seenaknya nyuruh-nyuruh dan ngatain orang kayak gitu!” kata Kak Orion tegas.
Tak mampu menjawab, Nilam hanya menunduk. Semua gara-gara poni pendek aneh ini, dia jadi dipanggil Dora. Tangannya bergerak sendiri, menutupi dahi. Ia juga tak mau diejek lagi. Namun, untuk sekadar menjawab atau membantah, ia tak berani.
“Ini. Pake ini!”
Nilam mengangkat wajah saat merasakan sebuah benda terpasang di kepalanya. Tangan Kak Orion berada tepat di mukanya, memegang ujung topi yang kini sudah menutupi dahinya. Matanya membola, tak percaya kalau Kak Orion seolah bisa membaca pikirannya.
“M—makasih, Kak,” cicitnya seperti tikus terjepit. “Nan—nanti saya kembaliin ke Kakak.”
“Iya. Udah pake aja. Gue duluan, ya!” sahut Kak Orion berbelok ke kelas yang berada di samping mereka dengan pintu terbuka.
Masih bingung kejadian yang begitu cepat ini, Nilam termangu di depan pintu. Ia menatap punggung kakak kelas itu yang semakin menjauh ke dalam ruangan. Seketika ia tersadar saat suasana di dalam ruangan yang semula hening mendadak riuh. Semua mata tertuju padanya. Astaga! Apa mereka melihat saat Kak Orion memakaikannya topi tadi?
Seperti mendapat sentakan pada saraf kesadaran, Nilam segera berlari menjauh dari kelas yang semakin ramai itu. Ia menutupi wajah dengan ujung depan topi, berharap tak ada yang menyadari rona di pipinya yang kian terasa panas. Keringat dingin membanjiri tubuhnya, berpadu dengan kaki yang gemetar. Perasaan campur aduk ini lebih menegangkan dibanding saat terlambat berangkat ke sekolah tadi.
Bruk!
Tubuh Nilam terhuyung ke belakang saat menabrak sosok tinggi di depannya. Ia menengadah dan matanya terbelalak demi melihat Kak Rendra berada tepat di depannya. Tarendra Yudhistira, pengurus inti OSIS yang digadang-gadang menjadi calon ketua OSIS karena terkenal dengan ketegasannya. Di sebelahnya, tampak tiga rekan sesama anggota OSIS keluar dari pintu kelasnya.
“Ma—maaf, Kak,” ucap Nilam terbata. Ia kembali menunduk saat melihat wajah tegas Kak Rendra seperti ingin menghukumnya.
“Kalau jalan hati-hati!” pesan cowok bertubuh tinggi itu dengan suara berat.
Nilam mengangguk tanpa mengangkat kepala, kemudian menunggu sampai Kak Rendra pergi dari hadapannya. Setelah depannya kosong, ia segera melesat menuju dalam kelas yang masih ramai karena belum ada guru. Syukurlah, ia tak benar-benar terlambat.
“Lama banget, sih, baru sampe? Tumben lo pake topi?” cerocos Naura begitu Nilam membanting tubuh di kursi.
“Biasa. Tadi bantuin Mama dulu,” sahut Nilam dengan napas memburu. Ia merasa seperti baru saja dikejar hantu.
“Terus, kok, pake topi?” Naura menarik topi Nilam tanpa aba-aba hingga lepas dari kepalanya. Sesaat gadis itu terbelalak, sejurus kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Gila! Rambut model apaan, tuh?” pekiknya seraya terpingkal-pingkal.
Nilam cemberut, meraih topi yang lepas dari tangan Naura, kemudian kembali memasang di kepala. Terlambat! Teman-temannya sudah melihat poni ajaibnya. Anak-anak cewek hanya tersenyum simpul saja, sedangkan anak-anak cowok ikut terbahak-bahak seperti Naura. Walaupun ia dan juga Naura tak terlalu dekat dengan anak-anak sekelas, tetapi siapa yang tak takjub melihat penampilan anehnya yang tak pernah berganti gaya?
“Sumpah! Kocak banget rambut lo, Lam! Kayak Jeng Kelin!” kelakar Naura disela tawanya.
Tadi Dora, sekarang Jeng Kelin. Apa benar poni ini benar-benar aneh? Rasanya Nilam menyesal sudah membantu Kak Ratna dan merelakan rambutnya. Namun kalau tak diizinkan, kakaknya pasti marah dan ia pasti akan pusing menghadapinya.
Mengalihkan perhatian dari tawa Naura dan anak-anak sekelas, Nilam mengeluarkan buku cetak dan tulis fisika sebagai pelajaran pertama. Ia mencoret-coret bagian belakang bukunya dengan gambar Elsa dan Anna, karakter Disney dari film Frozen favoritnya. Tunggu dulu! Poni Anna juga pendek, tetapi dia tetap terlihat cantik. Kenapa dirinya malah terlihat aneh?
“Eh, serius, Lam. Itu topi siapa? Lo, kan, nggak punya topi begitu!” selidik Naura setelah berhasil meredakan tawa.
Tak ada gunanya berbohong pada Naura, dia tahu semua barang-barang yang ada di rumah Nilam. Apalagi jelas tak mungkin ia memiliki topi hitam dengan gambar bintang putih di tengahnya seperti ini. Sama sekali tak sesuai dengan seleranya yang tak pernah menggunakan aksesori.
“Punya Kak Orion,” jawab Nilam serak.
“Hah?” Naura berteriak. “Orion? Orion siapa?”
“Itu, Kak Orion yang dari klub astronomi,” sahut Nilam berbicara sepelan mungkin. Ingin rasanya ia menyuruh Naura untuk melakukan hal yang sama.
“Nggak inget. Nggak pernah denger juga. Apa gue lupa, ya?” ucap Naura menerawang. “Terus, kenapa bisa lo pake?”
Dengan enggan, Nilam menceritakan kejadian dia dibonceng Kak Orion tadi. Kecuali bagian dia berpegangan pada bahu Kak Orion dan respon memalukan setelahnya. Apalagi tentang dia dipanggil Dora oleh Kak Tara. Bisa-bisa Naura akan semakin menertawainya.
“Oh, ya, ya. Gue inget! Klub astronomi yang anggotanya cuma satu orang, kan?” tanyanya menggaruk-garuk dagu.
“Iya.”
“Apa jangan-jangan, dia baik ke lo karena mau ngerekrut jadi anggota klub astronomi?” Naura mengambil kesimpulan sendiri.
Nilam mengangkat bahu. “Nggak tau, sih. Tapi kayaknya klub astronomi boleh juga.”
“Ih, aneh banget! Ngapain coba belajar hal di luar nalar gitu. Pusing tau!” sergah Naura.
“Ya … abis, aku bingung mau ikut ekskul apa. Coba ada ekskul melukis atau menggambar gitu. Aku pasti auto ikut,” gumam Nilam.
“Tenang, Nilam! Lo nggak usah bingung. Gue udah daftarin kita ikut ekskul terkeren yang ada di Smansa!” Naura mengangkat alisnya bangga.
“Hah? Ekskul apa?” tanya Nilam terperangah.
“OSIS! Mantep, kan?” sahut Naura cepat sambil mengacungkan dua jempol.
Seketika perut Nilam terasa mulas. OSIS adalah salah satu daftar ekskul yang amat sangat tidak ingin ia ikuti. Bukankah Naura tahu itu?
“OSIS? Naura! Aku, kan, udah bilang! Aku nggak mau ikut OSIS!”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10