Juna tersenyum miring melihat cewek itu ketakutan. Cowok itu mengembalikan ekspresinya seperti biasa ketika berbalik ke arah Griss. Juna meneliti Griss dari ujung ke ujung.
"Lo nggak papa, kan?"
Sedetik, dua detik, tiga detik. Griss tetap diam. Hanya matanya yang terlihat berkaca-kaca.
Juna jadi gelagapan. Apa gue salah langkah?
"Hei, kenapa mau nangis?" Juna mengguncang kecil bahu Griss. "Gue nggak boleh jewer si Nenek Lampir itu? Sumpah, Grizzly ... gue nggak ada niat jahat. Gue cuma mau bantuin lo."
Griss mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gue tahu."
"Terus kenapa malah nangis?"
Griss mengusap air yang menggenang di matanya. Cewek itu menatap Juna tepat di matanya. "Lo ... udah nggak pura-pura nggak kenal sama gue lagi?"
Pertanyaan itu membuat ujung-ujung bibir Juna tertarik ke atas. "Ya ampun ... emang gue pernah pura-pura begitu? Eum ... sori. Gue nggak bermaksud, tapi .... Okey, ini kesalahan gue." Juna mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk pipi Griss yang entah sejak kapan jadi setirus itu. "Grizzly, jangan nangis, dong .... Yuk, baikan, yuk!"
"Kenapa lo nggak ikut temen-temen waktu mereka ke rumah gue? Kenapa lo nggak pernah lagi chat gue? Lo juga udah nggak pernah pesan katering Mama. Kenapa lo pura-pura nggak kenal gue?" kejar Griss. Setelah seminggu lamanya, akhirnya pertanyan itu bisa dia lontarkan.
Juna tidak pernah mengira Griss akan memberondonginya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Meski terkejut, Juna tetap merasa senang. Setidaknya, dia tahu kalau Griss juga merindukannya.
"Entar gue jelasin. Sekarang kita baikan dulu. Siniin tangannya." Cowok itu meraih telapak tangan kanan Griss dan menjabatnya. "Nah gitu, dong. Jadi kita baikan, ya?"
Griss menganggukkan kepalanya dan tersenyum lega. Memang ini yang dia inginkan. "Harusnya itu jadi dialog gue."
Juna tertawa. "Anyway, lo mau pulang?"
Kini, kedua remaja itu berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai satu.
"Hm. Niatnya sengaja pulang agak telat biar tangga nggak ramai banget, tapi malah ketemu sama Kak Nindi."
"Oh, namanya Nindi? Berapa NIS-nya?"
"Nggak tahu, gue bukan wali kelasnya."
Juna terkekeh. "Udah bisa lucu aja ya lo. Nyuratin gue di kotak bekal segala."
"Eh? Isinya udah lo makan?" tanya Griss. Ingatkan Griss untuk berterima kasih kepada Dewangga setelah ini.
Senyum Juna mengembang. "Aman. Thanks, ya."
Griss mengangguk-angguk. Lalu kembali teringat percakapannya dengan Dewangga di kantin. "Jun, gue dengar, lo udah lama nggak makan nasi. Kenapa?"
"Nggak nafsu. Kan, nggak ada lo."
"Lo, kan, bisa nyari gue."
Juna menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Hm. Itu kesalahan gue lagi." Cowok itu nyengir, kembali mengulurkan tangannya di depan Griss. "Jadi, gue mau minta maaf lagi. Sori, waktu itu gue marah-marah nggak jelas sama lo."
Griss kembali menyalami Juna, tapi tatapannya tetap menuntut. "Kenapa lo marah-marah waktu itu?" tanyanya.
Juna kebingungan harus menjawab apa. "Kata Dewangga gue cemburu." Cowok itu mengedikkan bahunya, sedikit takut Griss akan menertawakan jawabannya.
"Emang kenapa cemburu?"
"Kenapa ya? Nggak tahu juga." Kekehan meluncur dari mulut Juna saat menyadari betapa tidak pekanya cewek di sebelahnya ini.
Griss menghela napasnya lumayan panjang. "Ya udah. Udah lewat juga. Gue juga mau minta maaf. Buat apa aja." Tangannya diulurkan di depan Juna.
Seperti yang dilakukan Griss sebelumnya, Juna juga menjabat tangan itu erat-erat. "Duh, berasa lebaran." Dia cekikikkan.
Satu per satu anak tangga mereka turuni, hingga keduanya tiba di selasar lantai dasar.
"BTW, Grizzly, gue lupa belum ngomong ini. Welcome back, ya. Pasti nggak enak banget rebahan di rumah sakit."
Griss tersenyum kecil. "Makasih. Ya, seperti yang lo tahu, nggak ada yang menarik di sana."
"Kalau itu jelas gue tahu. Kan, yang menarik cuma ada di sini." Juna menunjuk dadanya dengan ekspresi bangga. Membuat Griss memutar bola matanya malas, tapi cewek itu tetap meloloskan kekehannya.
"Apaan, sih, lo?"
Juna menahan diri untuk tidak mengacak-acak rambut Griss. Lama tidak berinteraksi dengan Griss membuat Juna ingin berlama-lama menatap cewek itu.
"BTW, lo mau pulang naik apa? Bareng gue aja, yuk!" ajak Juna. Langkah mereka menuju parkiran sekolah yang sudah mulai ditinggali satu per satu kendaraan. Hanya tersisa kurang dari setengahnya. Paling-paling punya anak-anak ekskul yang belum pada pulang.
"Gue udah pesan ojek. Katanya udah di depan."
Raut Juna berubah kecewa. "Cancel aja, lah."
"Lo gila? Di mana hati nurani lo?" tanya Griss, tak habis pikir.
Juna mengedikkan bahunya. "Ketinggalan di kelas. Mau gue ambil, nggak?"
Griss tertawa. Kalau boleh jujur, sejak Juna mau kembali berbicara dengannya, suasana hatinya jadi luar biasa senang. Perasaannya menghangat, seperti ada yang kembali melengkapi bagian yang rumpang di sana. Griss menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bercanda mulu lo. Pulang bareng lo kapan-kapan aja, deh. Nggak enak gue sama ojeknya," ujarnya.
Juna memanyunkan bibir. "Gue bayar, deh, tapi lo pulang bareng gue. Gimana?"
"Emang boleh begitu?"
"Boleh."
Akhirnya, Griss mengalah. Dari arah parkiran, Juna dan Griss membelokkan langkah ke halaman utama, kemudian keluar dari gerbang. Seperti yang Griss katakan, motor berwarna hijau itu sudah berada di depan gerbang. Juna segera menyapa ojek itu. Cowok itu berbicara sebentar dengan sang ojek, kemudian memberikan tip setelah meminta maaf dua kali.
"Terus, sekarang kita pulang naik apa? Lo bawa motor atau—"
"Kapal," jawab Juna sambil menggoyang-goyangkan satu kakinya.
Mata Griss membulat. Jalan kaki?
"Naik ojek cepat sampai. Gue butuh waktu lama buat ngobrol sama lo."
Sebelah alis Griss terangkat. Bibirnya mencetak senyum kecil. Mendengar kalimat Juna, Griss jadi ingin sedikit menjailinya. "Segitu kangennya lo sama gue? Ya ampun ...."
"Tauk, ah! Kayak lo tahu kangen aja." Telinga Juna memerah.
Keluar dari area sekolah, Griss dan Juna berjalan menyusuri jalan. Tangan keduanya bergandengan. Awalnya karena menyeberang, mereka tidak sadar kalau tangan mereka masih bertaut sampai keduanya tiba di kedai yang di depannya ditulisi "Ice Cream and Tea".
Juna menyuruh Griss untuk menunggu di luar sebentar, sementara dia masuk untuk memesan dua cone es krim rasa vanila. Setelah pesanan siap, Juna dan Griss memilih duduk di kursi yang berada di luar kedai.
"Lo boleh makan es krim, kan?"
"Boleh, sih." Griss tertawa kecil, merasa kembali menjadi anak kecil. Padahal, sebelum dia sakit, Juna tidak pernah bertanya apa-apa kepadanya sebelum makan. Mau itu es krim, martabak, sayuran, buah, atau makanan pedas. Lucu rasanya mendengar pertanyaan Juna yang terdengar bukan Juna banget.
Semilir angin jam tiga sore menemani acara makan es krim yang tidak direncanakan sebelumnya. Bising bunyi mesin kendaraan menjadi latar musik tanpa diminta. Griss dan Juna makan dengan tenang. Mereka baru kembali berbicara setelah es krim mereka habis.
"Gue udah tahu lo sakit apa," ucap Juna tiba-tiba. Penyesalan tergambar jelas di matanya yang menatap Griss dalam-dalam. "Sori, semua karena gue."
"Nggak ada yang perlu disalahkan, kok, Jun. Udah kejadian juga." Griss menepuk-nepuk punggung tangan Juna yang diletakkan di atas meja.
"Lo beneran udah nggak papa, kan?"
"Yup. Cuma masih harus rajin terapi, kontrol, dan hidup dalam pengawasan."
Juna meringis. "Pasti nggak enak banget."
"Iya. Tapi better lah, daripada gue sakit selamanya. Gue juga jadi bisa belajar dari sakit gue itu," kata Griss. Tatapannya menerawang ke belakang, ke masa-masa tergelapnya selama sakit. "Gue jadi belajar untuk lebih memperhatikan kesehatan, belajar untuk lebih mencintai diri sendiri, dan belajar untuk lebih menerima keadaan.
"Seseorang pernah berkata bahwa keadaan nggak akan pernah mengerti kita, jadi kita yang harus bisa mengerti keadaan. Gue nggak mau menyalahkan siapa-siapa atas kejadian yang menimpa gue, termasuk diri gue sendiri. Gue emang sempat kecewa sama diri gue sendiri, tapi kemudian gue sadar, hal itu sama sekali nggak berguna."
Setelah mengatakan kalimat panjang itu, Griss menatap Juna tepat di matanya. Senyumnya mengembang, tulus, membuat jantung Juna kebat-kebit karena senyum Griss yang kelewat manis.
Untuk menutupi kegugupan tiba-tibanya, Juna mengucek puncak kepala Griss dengan gemas. "Seminggu nggak ketemu, lo makin dewasa aja, ya?"
"Daripada makin kurus."
"Wah, nyindir." Juna tertawa keras. Tidak menyangka, Griss bisa meng-ulti-nya.
"Grizzly," panggilnya.
"Hm?" Griss cuma bergumam sambil menunggu Juna berbicara.
Entah mengapa atmosfer jadi serius.
Beberapa kali, Juna menarik-mengembuskan napasnya. "Sejak kesepakatan teman makan itu dibuat sama Mami, lo benar-benar membantu gue agar bisa makan dan naik berat badan. Sekarang ... boleh, nggak, gantian gue yang mengambil peran itu?"
Griss mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mencerna ucapan Juna.
"Gue bakal berusaha untuk selalu ada buat lo. Sebisa mungkin gue akan mencoba membantu lo sampai lo kembali sehat seperti saat lo belum mengenal gue. Gue menyesal sempat berpikir untuk menjauhi lo."
Kalimat Juna manis seperti es krim vanila.
“Gue juga menyesal pernah berpikir kalau tanpa lo hidup gue mungkin lebih damai. Gue salah, Jun. Gue salah pernah mikir gitu.”
Perasaan Griss menghangat berkali-kali lipat. Lapisan bening kembali menggenang di matanya. Griss ingin menangis, tapi bibirnya terus melengkungkan senyum.
Sore itu, hubungan Griss dan Juna yang sempat rusak, kembali membaik. Bahkan, berkali-kali lipat lebih baik dari sebelumnya. Sore itu bisa saja dinobatkan menjadi sore paling sempurna, jika saja pesan dari Dewangga tidak pernah Juna baca.
Bang Dewangga:
Besok mau gue botakin di mana lo?
Dasar Bang Toyib!