Di alam ruh sebelum tercipta tubuh, jiwa-jiwa kita pernah diajukan 77 pertanyaan oleh Sang Pencipta, menanyakan kesiapan untuk menapaki hidup yang penuh liku dan ujian. Setiap jawaban yang terucap adalah janji yang mengalir dalam darah, bukti akan kebesaran-Nya yang tak terhingga. Dan kehidupan dunia ini bukanlah sekedar perjalanan fisik, melainkan sebuah arena di mana jiwa diuji untuk memenuhi janji yang telah disepakati jauh sebelum lahir, di saat kita hanya berupa cahaya yang mengenal takdir-Nya.
Udara malam yang sejuk setelah hujan mengguyur Bandung sore tadi nyatanya tak cukup mampu menghalangi langkah tiga orang yang dengan ceria berjalan bersama menuju pasar malam di taman kota. Seorang perempuan paruh baya menggandeng dua anak laki-laki, salah satunya mengenakan mantel biru yang sudah sedikit basah terkena sisa-sisa hujan. Senyum riang terukir di wajah saat melihat keramaian pasar malam dipenuhi cahaya lampu hias yang berkelip. Ketiganya berjalan-jalan menjelajahi pasar, menikmati suasana hangat meski udara malam terasa dingin. Sesekali, anak laki-laki yang paling besar melontarkan candaan yang mengundang tawa ibu dan adiknya, menciptakan kebahagiaan yang sederhana namun penuh makna. Mereka berhenti di beberapa kios, melihat-lihat pakaian dan membeli camilan, seolah tak ingin melewatkan satu pun kesenangan kecil malam itu.
“Bu, aku mau naik mobil-mobilan yang berputar itu... Boleh ya?” Anak laki-laki bermantel biru menatap ibunya dengan mata berbinar, memohon agar diizinkan membawakan komedi putar yang tampak begitu mengundang di depan sana. Suaranya penuh harap, tangan kecil itupun meraih tangan sang ibu dengan penuh keinginan.
"Haikal mau naik? Tapi Kak Hasybi takut ketinggian lho. Enggak apa-apa kan kalau naiknya sendirian?" Ratih berjongkok di depan Haikal, tangannya mengusap lembut kepala anak kecil itu, senyum hangat di wajah perempuan itu menenangkan suasana.
"Iya, enggak apa-apa. Haikal berani, kok!" jawab Haikal dengan lantang, mata berbinar penuh semangat. Ia melirik ke arah kakaknya, Hasybi Bachtiar Jaiz, yang tampak agak ragu. "Tapi, Kak Abi jangan ke mana-mana ya? Kalau Kak Abi mau beli gulali, nanti Ikal temani."
Hasybi tertawa mendengar ucapan Haikal, yang meski usianya baru terpaut setahun darinya, sudah begitu sangat perhatian. Setelah memesan tiket, Haikal duduk di salah satu mobil-mobilan yang berputar, tersenyum lebar saat melihat Ratih dan Hasybi. Ini adalah pertama kalinya ia menaiki wahana permainan tanpa ditemani oleh sang kakak. Kali ini, ia merasa dunia terbuka lebih luas, memberi kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru dan menantang.
Biasanya, setiap kali bersama Hasybi, Haikal selalu mengalah. Kakaknya yang memiliki fobia ketinggian dan memiliki sedikit kelainan pada mentalnya, membuat Haikal lebih sering menahan diri. Ia selalu berusaha menjaga kakaknya agar tidak kelelahan atau stres. Tapi malam ini, dia bisa menikmati semuanya sendirian, merasakan kebebasan yang selama ini hanya bisa ia lihat dari samping.
Baru saja komedi putar yang dinaikinya berputar tiga kali, Haikal menyadari sesuatu yang membuat hati terasa berat. Kedua sosok yang semula ada di bawah sana—ibu dan kakaknya—sudah tak terlihat lagi. Setelah turun dan memutari sekeliling area, ia masih belum menemukan mereka. Ketakutan mulai muncul di payudara. Di tengah kerumunan orang yang semakin ramai, Haikal merasa kecil dan terasing, terjebak dalam kebingungannya.
Tangisnya mulai pecah, suara isakan terdengar di tengah hiruk-pikuk suara orang-orang. Beberapa orang yang melihatnya ingin bertanya, tetapi kata-kata mereka seperti gelombang yang tak dapat ia pahami, termasuk pertanyaan tentang alamat rumahnya. Semakin panik, Haikal hanya bisa menangis tahu tanpa harus berbuat apa. Tanpa bisa ditemukan keberadaan sang ibu, seorang petugas keamanan datang mendekat dan dengan hati-hati membawa ke Yayasan Panti Tambatan Hati. Malam semakin larut, dan tak mungkin seorang anak kecil dibiarkan sendirian di tengah keramaian.
“Saya titip dek Haikal di sini ya, Bu. Semoga besok saya bisa menemukan keberadaan ibu,” kata petugas keamanan dengan suara lembut, meninggalkan Haikal yang masih menangis pelan.
****
Hari demi hari, seminggu berlalu, bahkan sudah sebulan, Haikal tetap duduk di depan gerbang Panti Tambatan Hati. Matanya sering menatap kosong ke jalan yang tak pernah berubah, berharap ibunya tiba-tiba datang menjemput. Ia sudah mulai lupa rasanya dipeluk oleh ibu, dan setiap orang yang datang ke panti hanya membuatnya merasa semakin kesepian. Setiap pagi, ia berharap keajaiban datang, namun sampai saat ini, hanya kesendirian yang ia temui.
Setelah sekian lama berada di Panti Tambatan Hati, Haikal mulai merasakan perbedaan perlakuan yang tak mengenakkan dari beberapa anak panti lainnya, terutama dari Nizar dan tiga kawannya: Manaf, Luthfi, dan Omar. Keempat anak itu seolah tak pernah puas mencari masalah dengan Haikal, meskipun Bu Patmi, pengurus sekaligus pemilik panti, sudah beberapa kali menasihati mereka. Sejak pertama kali diterima di sana, hanya Bu Patmi yang bisa memberikan rasa aman dan perhatian seperti seorang ibu, meskipun Haikal tidak mengharapkan lebih. Ia hanya merasa nyaman di dekat wanita itu, sementara pengurus lainnya lebih memilih memberi perhatian pada anak-anak yang lebih ceria dan bersemangat. Haikal, yang lebih sering murung dan mengasingkan diri, merasa seolah tak punya tempat di celana dalamnya. Setiap kali ada acara besar, ia memilih untuk menghindar, merasa sepi di tengah keramaian.
Malam itu, hujan deras mengguyur, dan Haikal terjebak di tempat biasa ia bermain—sebuah taman bermain yang terbengkalai, jauh dari keramaian panti. Angin dingin yang menutupi wajahnya, tubuhnya, dan butiran hujan yang jatuh terasa seperti jarum-jarum kecil yang menusuk kulit. Ia duduk di sana, tenggelam dalam kesendirian, hingga langkah seorang perempuan paruh baya terdengar mendekat.
Dengan pemandangan yang sedikit berembun akibat hujan, Haikal kesulitan memfokuskan matanya pada sosok di depan sana.
“Ikal…” suara lembut itu memanggil namanya, membuat Haikal menoleh dengan ragu.