"Ra, kalo nganter jemput lo tiap hari gitu bisa ngurangi poin pelanggaran nggak?" tanya Digma berusaha menarik perhatian Fara yang sejak tadi sibuk memeriksa sepatu dan kelengkapan seragam setiap siswa yang masuk dari gerbang depan sekolah.
Fara tak menjawab. Lebih tepatnya ia sedang fokus menanyai seorang siswi yang memiliki jari penuh dengan kutek merah. Sangat mencolok untuk seorang pelajar yang hendak belajar.
"Kalau ngucapin selamat pagi tiap pagi dan selamat malam tiap malam gitu, ngurangin poinnya nggak?"
Fara juga belum sempat menjawab karena masih menggiring siswi tadi ke barisan anak-anak melanggar peraturan.
"Itu mah bukan ngurangin poin, tapi menambah poin kamu di mata Fara kan?" timpal Bu Ega yang sudah tidak tahan dengan gombalan Digma.
Digma mengusap tengkuknya kikuk. Ia merasa malu karena baru menyadari keberadaan Bu Ega di area gerbang depan.
"Maaf, Ibu." Digma menelungkup tangan dan menunduk pelan pada guru sekaligus pembina PKS tersebut.
"Dah, sekarang kamu fokus bantuin anak-anak PKS pagi ini biar poin pelanggaran kamu berkurang. Jangan godain Fara terus! Poin kamu banyak kan?"
Digma menunduk malu. Memang benar ia mendapat poin pelanggaran banyak yaitu 100 poin karena tindakannya dalam menghajar Gery dan gengnya di kantin belakang. Namun, saat Fara menghadangnya kemarin, kepala sekolah datang dan berkata bahwa ia tidak jadi dikeluarkan dari sekolah karena perintah itu sudah tidak berlaku setelah ketua yayasan terjerat kasus tindak pidana kepolisian.
"Hehe. Siap, Ibu!" seru Digma sambil memberi hormat. Sebelum akhirnya Bu Ega kembali masuk ke area dalam sekolah setelah memastikan pengecekan pagi berjalan lancar.
"Godain aku? Kapan?" Fara yang baru bergabung hanya mendengar ucapan Bu Ega yang terakhir.
"Ngga ada." Digma tersenyum lebar sambil memasukan tangan ke saku. Anggota PKS lain yang mengetahui kebohongan cowok itu hanya terkekeh kecil. "Udah, sekarang lo fokus lagi ngecekin anak-anak yang nakal ya," alih Digma sambil mengarahkan kembali kepala Fara untuk menatap ke depan dengan lembut.
Kepalanya yang disentuh tanpa izin membuat pipinya sedikit panas dan memerah. Tangan hangat Digma benar-benar membuat Fara bingung dengan dirinya sendiri. Dengan cepat ia membelakangi cowok itu dan menyibukan diri menegur para siswa.
Hingga tanpa diduga, suara ribut dari luar gerbang mengambil atensi mereka semua.
Gery datang.
Berdiri di depan pagar dengan wajah tak bersahabat dan rambut acak-acakan. Di belakangnya ada Alex, Deta, sama Reksa. Dan di depan mereka...
Seorang cowok berdiri. Kurus, putih pucat, dan menatap tanpa ekspresi ke arah Gery.
Abian. Cowok itu akhirnya datang kembali ke sekolah setelah sekian lama koma di rumah sakit.
Jantung Digma berhenti sesaat. Ia langsung maju dan berdiri tepat di depan Abian. Matanya tajam menatap Gery.
"Hidup lagi lo?" Alex nyeletuk sambil tertawa mengejek.
Deta tertawa sinis, "Padahal dah bener tidur aja di rumah sakit. Pake bangun dan bikin bos kita stres."
Sedangkan Gery memilih menatap Digma. "Mau-maunya lo rela dibully, dipermalukan, ditonjok sama gue... buat pecundang kayak dia?"
Nafas Digma mulai naik turun. Rahangnya mengatup dan giginya bergelemetuk. Tangannya mengepal. Namun saat ia mulai maju satu langkah...
Bug!
Tinju Abian sudah lebih dulu mendarat tepat di pipi Gery. Keras. Gery terpental sedikit ke belakang.
"Tinjuan ini buat semua yang lo lakuin ke gue. Semua rasa sakit gue, semua mimpi buruk... lo nggak pernah ngerasa bersalah kan?"
Seketika, suasana di depan gerbang hening. Digma menatap Abian. Senyumnya mengembang perlahan. Dalam hati dia lega — sahabatnya sudah lebih berani dan bukan anak yang sama seperti dulu.
Gery bangkit dan marah, namun sebelum dapat membalas pukulan Abian, suara nyaring Bu Ega muncul.
"Geryyy!!"
Bu Ega dateng sambil menarik kuping Gery. "Berani-beraninya ya kamu bikin keributan lagi?! Sini, ikut saya!" marah Bu Ega setelah sekian lama ia tak berani memarahi Gery. Kini setelah tertangkapnya Heri, semua guru-guru mulai sadar bahwa menertibkan anak lebih utama dibanding tekanan dari atasan.
Gery meronta, namun tetap kalah kuat. Bu Ega menyeret cowok itu dan gengnya ke hadapan Fara.
Fara berdiri tegap tanpa ekspresi. Tangannya mengeluarkan buku catatan.
"Baju nggak dimasukin, rambut panjang, dan..." salah satu anggota PKS menyodorkan sebungkus rokok. "Mereka nemu ini di tas lo."
Alex menelan ludah, Reksa bersembunyi di belakang Deta dan Gery masih tetap terdiam. Tak punya alasan untuk menyanggah hal itu. Ia juga sedikit tertekan. Tak terbiasa dengan perlakuan orang-orang kini kepadanya.
"Total poin kalian masing-masing 85 poin. Kalian berempat dapet bonus tugas. Bersihin kamar mandi satu bulan."
Usai mendengar hukuman untuk Gery dan gengnya, Digma berseru puas dalam hati. Seharusnya sejak dulu ia mendapat hukuman seperti itu.
Cowok itu lalu berjalan ke arah Abian. Merangkul santai pundaknya. "Welcome back, Bro."
Abian balas tersenyum. Lalu memutuskan untuk masuk bersama Digma ke dalam sekolah, melewati Gery dan gengnya yang sekarang terdiam dengan raut kesal.
Tak ada wajah penyesalan terhadap apa yang mereka lakukan selama ini. Digma tersenyum miring. Yang terpenting sekarang, mereka sudah tak punya kuasa untuk melakukan hal jahat lainnya. Semua orang menatap mereka seperti sampah. Itu lah hukuman terbesar mereka. Dikucilkan di setiap sudut sekolah.
Digma mengalihkan pandangan ke Fara. "Ra, gue izin nganter Bian ke kelasnya ya. Takut nyasar setelah lama bobo di rumah sakit."
"Oke. Pake Gmaps makanya," canda Fara dan dijawab kekehan Digma karena ingat itu yang selalu ia bilang pada cewek itu saat Fara selalu saja masuk ke tempat yang tidak tepat.
***
Suasana di kelas menjadi lebih hangat saat Abian dan Digma tiba. Anak-anak kelas satu persatu mendekati Abian.
"Abian, kita semua minta maaf ya."
"Iya, maafin kita yang diem aja waktu lo di bully."
"Maafin kita yang lebih takut sama Gery daripada ngebela lo."
"Iya maafin ya, Bi. Tapi tadi lo keren banget! Gue liat lo ninju Gery."
"Serius, Abian ninju Gery? Wah keren, Bi!"
Digma yang sejak tadi berdiri di sebelah Abian, mengembangkan senyum lega. Seharusnya sejak dulu Abian merasakan kedamaian dan kenyamanan di kelasnya seperti ini. Bukan ketakutan akan dirundung setiap hari.
Saat fokus mengamati wajah bahagia Abian, ujung matanya menangkap Fara di luar pintu kelas. Gadis itu melambaikan tangan, memberi kode untuk keluar.
Digma menuruti perintahnya dan mereka berdua pun berjalan di lorong kelas sebelas.
"Ada apa, Ra?"
Bukannya menjawab, gadis itu malah mendekatkan wajahnya ke telinga Digma.
Dia berbisik pelan, "Nanti malam... makan malam, yuk. Di resto deket rumah gue."
Digma terkejut. "Lah, kok lo duluan yang ngajak?!"
Fara tertawa kecil. "Ya kenapa emangnya?"
"Nggak bisa. Gue duluan. Ulang, ulang!" kata Digma mendesak. "Harus gue yang ngajak duluan. Nih, 'Fara, mau makan malam bareng gue nggak?' Baru lo jawab iya."
Fara tertawa lebar, lalu lari balik ke kelas. "Nggak ada tayangan ulang! Yang penting jangan lupa dateng nanti malam!"
***
Restoran kecil di pinggir kota malam itu tidak terlalu ramai. Lampu-lampu gantung berwarna hangat menggantung rendah, menyinari meja-meja kayu dengan suasana tenang dan elegan. Musik akustik pelan mengalun dari speaker tersembunyi.
Fara lebih dulu tiba, duduk di dekat jendela besar yang langsung menyajikan pemandangan taman. Tangannya sibuk memainkan ponsel sedangkan matanya terus mengecek jam tangan untuk keempat kalinya. Dia menarik napas panjang. Rambutnya digerai, bergelombang rapi. Gaun midi warna navy yang dia pakai memang bukan gaya Fara seperti biasanya, namun malam ini gadis itu merasa harus tampil berbeda.
"Kenapa deg-degan sih ..." gumamnya seraya menahan senyum canggung.
Dan tepat saat dia melirik ke arah pintu Digma pun akhirnya masuk.
Cowok itu memakai kemeja putih yang digulung sampai siku, celana hitam slim fit, dan rambutnya ditata agak rapi — bukan gaya cuek seperti biasanya. Namun yang membuat Fara terdiam selama beberapa detik adalah cara cowok itu melangkah. Tegas, namum tetap santai. Matanya sibuk mencari Fara di antara meja.
Hati Fara meletup pelan melihat penampilan Digma yang lebih rapi dan tampan.
Fara refleks mengangkat tangan sedikit. "Dig ..." panggilnya pelan.
Digma akhirnya menemukan gadis itu.
Mata mereka ketemu. Dan kali ini, giliran Digma yang terdiam. Di matanya, kini Fara kelihatan ... beda.
Gaunnya, cara gadis itu duduk, senyum kecil seraya menahan gugup — semuanya membuat mata dan hati Digma terkunci beberapa detik.
"Hey," sapa Fara canggung.
"Hei juga..." Digma menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum kikuk. "Sorry ya, nungguin."
Tak selang lama sejak Digma hendak duduk di seberang Fara, pintu restoran kembali terbuka.
"Weyyy! Masuk beneran dong, nih orang!"
Aldino.
Diikuti Atha dan Abian. Mereka masuk dengan ekspresi puas layaknya youtuber yang berhasil membuat trend prank untuk kontennya.
Digma berdiri kaget. "Lah! Kalian ngapain di sini?!"
Atha tertawa lebar, "Tadi lo bilang ke restoran, ya kita ngikut. Lumayan makan gratis!"
Fara setengah berdiri, terkejut namun juga geli melihat tingkah teman-teman Digma yang di luar dugaan. "Hah? Jadi lo semua ngintilin Digma?!"
Aldino angkat tangan, "Sorry, Ra... kita nggak kuat iman. Dia bilang mau ke restoran, jadi kita sepakat ngikut diam-diam."
Digma mengusap wajah. "Gue tuh pengen berdua doang... bukan piknik keluarga."
Aldino duduk duluan tanpa izin. "Dih, ngapain hayo berdua doang. Lo nggak curiga, Bi?"
Abian tersenyum kecil. "Ternyata selain untuk balas dendam, Digma ke sekolah gue buat nyari jodoh."
Digma melotot pada Abian. Yang disusul seruan menggoda cowok itu dari Aldino dan Atha.
"Dah, kalian pulang! Nggak ada yang ngundang kalian."
"Yang penting perut kenyang. Baru kita pulang."
Mendengar hal itu Digma hanya bisa menghela napas lelah. Susah memang mengusir orang kelaparan.
Mereka pun akhirnya makan bersama. Pesanan datang satu persatu. Pasta, steak, pizza, dan es teh jumbo. Semakin malam obrolan semakin mengalir tanpa jeda. Tawa mereka menggantung di langit restoran yang masih ramai.
"Hahaha, iya Anjir, sama! Kalian tau ekspresi gue waktu Digma ngasih tau rencananya?" cerita Aldino menggebu. "Gue speechless! Kek Anjir nekat juga nih orang."
"Bukan nekat sih, lebih ke gila." Atha menimpali sambil menggeleng tak percaya.
"Apaan sih orang waras ginih," bantah Digma sambil melirik Fara. Takut takut reputasinya hancur di mata gadis itu. "Yang gila tuh kalian, dateng-dateng minta gratisan. Ngga peka banget sih. Gue kick aja ya jadi sahabat gue?"
"Oh jadi selama ini gue udah lo anggep sahabat lagi, Dig?" Aldino menatap Digma terharu. "Udah bukan musuh?"
"Musuh?" Fara yang terkejut. "Aldino pernah jahatin Digma?"
"Pokoknya lebih dari jahat, Ra. Dia tuh pernah mukul bokap gue."
"Wah, parah. Aldino yang baik hati gini di fitnah." Aldino menoleh pada Abian, mencari teman. "Bi, lo tau kan sebaik apa gue?"
Abian hanya terkekeh kecil. "Karena lo udah banyak bantu Digma, ya, gue akui lo baik."
"Tuh, kan!" Aldino berseru senang mendapat pembelaan.
"Itu karena udah gue bayar ya."
"Oh, jadi Aldino bantuin lo itu dibayar? Kok gue nggak, Dig? Gue udah bantuin lo nyari cctv, ngasih flashdisk peretas, itu semua gratis," cecar Atha tak percaya.
Aldino menarik bahu Atha, agar mendengarkan penjelasannya. "Jadi gini, Tha, nggak semudah itu lo minta bayaran. Jadi ..."
Pertengkaran mereka pun terus berlanjut, hingga akhirnya Digma memberikan kode mata pada Fara untuk keluar dari ruangan ber AC itu.
Saking serunya adu pendapat, mereka bertiga tak sadar, Fara dan Digma sudah bangkit pelan-pelan dari kursi dan jalan keluar diam-diam menuju balkon.
Di balkon luar, angin malam menyapu lembut rambut Fara. Mereka berdiri bersebelahan, memandang taman kecil dan langit penuh bintang.
"Lo sering ke sini?" tanya Digma pelan.
"Nggak. Baru kali ini ... dan langsung sama lo," jawab Fara lirih, seraya tersenyum kecil.
Digma menoleh ke arah Fara, dan kali ini dia mendekat perlahan. Hanya selangkah namun kini jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa senti.
Digma menarik napas dalam-dalam. "Tadi siang lo yang ngajak gue makan berdua. Jadi sekarang gue yang minta duluan."
Fara melirik, degup jantungnya semakin kencang.
"Minta apa?"
"Minta lo jadi pacar gue."
Diam.
Mata Fara melebar. Hatinya penuh, perlahan kedua ujung bibirnya terangkat.
"Iya," bisiknya seraya menahan senyum malu. Kedua pipinya kini sudah memerah.
Digma tersenyum. Senyum yang paling tulus yang pernah Fara lihat dari cowok itu.
Di dalam restoran, tanpa Digma dan Fara tahu, Aldino sejak tadi memandang mereka dari jendela kaca.
"Fix. Mereka jadian," gumamnya yakin.
Abian mengganguk setuju. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah masing-masing.
Atha menyenggol. "Udah lah, kita pulang aja."
Aldino mengangkat gelasnya. "Tapi kita harus pastiin tagihannya udah dibayar dulu!"
Tawa kecil mereka pun bercampur dengan iringan suara musik malam itu. Seolah mereka menjadi saksi atas mulainya musim semi untuk Digma setelah melewati musim dingin yang panjang. Musim dingin yang memenjarakan Digma atas rasa penyesalan, rasa marah, dan rasa dendam. Kedinginan yang ia pikir abadi itu perlahan menghangat, digantikan kehadiran Fara yang membuatnya selalu bahagia
Hingga tiba-tiba, ponsel Digma berdering di sela-sela momen bahagianya itu.
"Halo?" sapa Digma sambil menerka siapa pemilik nomor tidak di kenal itu.
"Ap- apa ... lo bisa selamatin gue dari perundungan juga?"
End.