Keiza termangu, mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada lembar kerja siswa yang baru saja dibagikan. Ada tugas di halaman sembilan, berupa esai, sementara guru yang mengajar dikabarkan—lagi-lagi, tidak masuk. Betapa bahagianya anak-anak kelas mengetahui adanya jam kosong yang bisa disalahgunakan. Namun kegembiraan mereka harus pupus secepat berita yang datang kemudian. Sumbernya yaitu ketua kelas yang memberi kabar tentang tugas esai ini.
“Sebut dan jelaskan, sebut dan jelaskan, sebut dan jelaskan.” Radhina membaca awalan soal-soal di halaman sembilan. “Ini pembuat soal kayaknya nge-fans banget sama kata ‘sebut dan jelaskan’, heran gue,” katanya dengan alis mata berkerut. Bulatan hitam mata Keiza melirik pada sosok tomboy Radhi yang nampak sibuk mencari-cari jawaban untuk soal nomor satu.
Radhi kenal Rakesha nggak ya? Tanya Keiza dalam hati. Tapi kan Bu Mira nggak mau ngomongin itu. Otomatis pangkal hidung Keiza berkerut. Ia penasaran setengah mati. Setelah pulang pun ia masih terpikir soal siapa itu Rakesha. Tidak mungkin saudara Avissena karena Keiza tahu cowok itu punya kakak laki-laki bernama Alhazen Hussaibi yang sekarang sedang kuliah di luar negeri.
“Dhi!” Seseorang memanggil dari ambang pintu kelas. Itu anak laki-laki dari kelas Teknik Komputer Jaringan bernama Bais. Keiza menelan ludah, melirik Radhina dengan wajah kentara prihatin. Pasalnya beberapa hari yang lalu Bais sudah mendeklarasikan ketertarikannya pada Radhina. Tak tanggung-tanggung, deklarasi itu dibuat nyata, terpampang di layar seluruh komputer, di laboratorium ketika DKV I sedang praktek! Kalau kreatif bisa dibilang gila, maka ada banyak orang gila di Teruna Angkasa dan Bais adalah salah satunya.
Seketika kelas langsung riuh. Bukan rahasia lagi memang, Radhina itu cantik. Meski terkesan tomboy dengan rambut pendeknya, tapi Radhina memiliki bulu mata panjang-lentik, dagusnya tirus, hidungnya meski kecil tapi memiliki tulang yang tinggi, pas dengan proporsi muka. Kalau saja ia mau memanjangkan rambutnya barang sehasta, kecantikannya sudah melebihi Tiara si primadona sekolah.
Bais meminta Radhina keluar dari ruangan, tapi tentu saja cewek itu menolak.
“Gue lagi pusing ngerjain LKS, lo nggak usah gangguin gue, deh!” Ujar Radhi galak, menggusah Bias supaya pergi secepat kilat. Sedikit kesal karena posisi bangkunya yang tak jauh dari pintu kelas, area depan, hanya dua baris jaraknya dari papan tulis.
“Sabar-sabar,” Keiza mendongak untuk menatap Radhi yang kini berdiri. Berusaha membungkam teman sekelasnya yang bercie-cie ria, bikin tambah pusing saja. Ketua kelas yang baik hati akhirnya berdiri dan meminta Bais untuk pergi. Walau sedang jam kosong, tapi mandat mengerjakan LKS tetap harus mereka jalani.
“Oke-oke, sans!” Bais tahu diri dan mundur teratur.
“Ck, gila kali, ya. Jam pelajaran sempet-sempetnya mampir ke sini.” Radhina menggerutu, meski begitu yang berterima kasih kepada Ketua Kelas yang menutup pintu ruang kelas mereka.
“Dhi, gimana rasanya punya fans?” Rere bertanya dari meja belakang. Radhina hanya menjawab dengan decakan dan mata juling. Rere tertawa, menemukan korelasi antara Radhina dan teman sebangkunya.
“Kalian berdua jadi korban ditaksir cowok hyperaktif!” Ia menunjuk Abella dan Radhi.
“Nggak doyan!” Radhina menyentak.
“Sama!” Abella menyahutinya. Setelah riuh kelas mereda dan semua siswa-siswi DKV kembali fokus pada urusan masing-masing, Abella bangkit dari kursinya dan menghampiri Keiza.
“Ja,” ia memanggil.
“Hm?” jawab Keiza sembari menjawab soal pertanyaan yang terakhir.
“Kamu kemarin sempet ngobrol sama Mamanya Avissena, ya?”
“He em,” Keiza masih fokus menuliskan jawaban esai.
“Mm… kalian ngobrolin apa?”
Pertanyaan ini membuat gerakan tangan Keiza berhenti. Ia menatap Abella yang sudah berjongkok di samping mejanya. Wajah gadis itu terlihat penasaran.
“Resep kukis,” jawab Keiza singkat. Meski ingatan Keiza lebih dominan tentang nama orang yang disebut oleh Bu Mira, tapi ia tak mungkin memberitahu Abella soal itu. Untungnya mata Abella melebar, rasa penasarannya perlahan mulai terangkat.
“Kalian ngomongin resep kukis? Kamu belajar masak sama Mamanya Avissena?”
“Iya! Tante Mira itu jago masak kue, kalo lo tertarik, kita bisa belajar lagi kapan-kapan. Main ke rumah Avis, but we have prior tasks now!” Radhi menyerobot percakapan itu. Mencondongkan tubuh ke arah Abella, menyuruh cewek itu kembali ke kursinya.
“Oke-oke,” akhirnya Abella kembali, menelan rasa penasarannya.
“Kamu mau lihat esaiku, ya?” tanya Keiza saat Abella sudah pergi. Radhi menjawabnya dengan senyum transaksional. Keiza membalasnya dengan gelengan kepala pelan.
“Kerjain sebisa kamu, nanti aku lihat.” Cewek itu menggeser kursinya sedikit menjauh, menutup area kertasnya dengan lengan dan lanjut menulis. Protektif. Radhina cuma bisa menggigit bibir sembari memukuli Keiza dengan ujung pulpen tak serius.
“Pelit!” Protes Radhi.
Keiza membiarkannya. Toh, akhirnya Radhina mengerjakan esainya sendiri.
oOo
Keiza memilih diam saja. Bisa jadi nama Rakesha itu salah sebut. Bisa jadi Keiza tak seharusnya tahu ataupun mencari tahu. Jadi ketika bel istirahat berbunyi nyaring, Keiza memutuskan untuk melupakan topik itu dan mengikuti teman-temannya untuk pergi ke kantin.
“Gue mau ke toilet dulu, sebentar!” Ucap Radhina ketika mereka melintasi selasar kelas. Seperti yang sudah-sudah, kalau Radhi ke toilet saat jam istirahat, ia pasti menggamit lengan Keiza. “Kalian duluan aja!” Lanjutnya pada Rere dan Abella.
Toilet tak jauh dari selasar ruang kelas, area yang paling dekat dengan kantin sekolah. Suasana toilet saat itu lumayan sepi. Hanya ada satu anak yang mencuci tangan dan satu orang yang berjalan hendak pergi.
“Kamu nggak jadi ke toilet?” tanya Keiza saat melihat Radhina, begitu memasuki toilet, justru memainkan ponsel dan bersandar pada dinding westafel.
“Gawat nih,” katanya sembari membaca pesan di ponsel pintarnya.
“Gawat kenapa?” dahi Keiza berkerut, ia lantas mendekat pada Radhina untuk ikut melihat layar ponselnya. Cewek itu menemukan pesan dari nomor tak dikenal. Di pesan itu tertulis janji temu di Mall X jam lima sore, hari ini.
“Bais?” tebak Keiza.
“Bukan,” Radhina menjawab cepat. “Tapi emang sih, tadi dia juga ngajakin gue jalan ke Mall X habis pulang sekolah. Makanya, gawat. Kalau kebetulan kita ketemu, gimana?”
“Kamu mau ketemu cowok lain?”
“Iya,” Radhi menjawab sembari berpikir keras.
“Radhi, kamu punya pacar?!” Suara Keiza naik satu oktaf. Ia tahu Radhina sangat mungkin pacaran. Walau jarang membicarakan percintaan, tapi hidup cewek itu di kelilingi banyak cowok. Kemungkinan Radhina bakal pacaran pastinya sangat tinggi. Walau Keiza sudah lama menyadari itu, tetap saja ia merasa terkejut.
“Nggak!” Jawab Radhina kali ini sembari melihat Keiza panik. “Cowok yang mau ketemu ini bukan cowok gue!” ia melanjutkan sembari berbisik. Mendengar itu, Keiza paham sepertinya ini akan jadi cerita rahasia.
“Terus, orang ini…” Keiza menunjuk layar pesan dari nomor tak di kenal dari layar ponsel Radhi, “cowok? Siapa?” lanjut gadis itu, kali ini matanya menatap Radhina serius. Keiza yang punya prinsip tidak pacaran dulu sebetulnya kecewa seandainya Radhi bilang ‘iya’. Tentu ia ingin supaya sahabatnya fokus belajar dan lulus dengan nilai yang baik. Bundanya sering bilang kalau pacaran saat sekolah itu berpotensi memperburuk nilai.
Radhina menimbang-nimbang. Sebaiknya dia cerita pada Keiza atau tidak. Setelah cukup lama berpikir, beberapa kali menggigit bibir sendiri, akhirnya Radhina putuskan untuk cerita.
“Gue ketemu sama abang gue.”
“Abang?” Keiza kaget. Setahu dia Radhina itu anak tunggal.
Radhina manggut-manggut, “gue punya abang. Gue punya saudara, kayak lo sama Kiara.”
oOo