Keiza berhenti mengetik sesuatu di laptopnya. Malam ini setelah kejadian panjat atap, saat ia sedang mengerjakan tugas presentasi tentang keterampilan komunikasi visual, ia tiba-tiba mengingat tentang Radhina.
“Kenapa sih kamu nggak mau dipanggil Dhina? Kan, nama kamu ‘Radhina’. Bisa dipenggal di kata Dhina.” Tanya Keiza pada di awal-awal bertemu. Saat itu, Radhi yang sedang menyeruput jus manga langsung memasang muka cemberut. Bukan hanya karena jusnya kecut, tapi juga karena ia ingat masa lalu yang membuat minat ngobrolnya menciut.
“Malas aja,” Radhi menjawab singkat, “lagian kalo gue dipanggil Dhina berarti penggalannya ‘Na’ atau ‘Dhin’, terlalu mainstream ah.”
Kembali ke masa kini, Keiza menyadari kalau Radhina punya karakter yang unik. Dan kalau dipikir-pikir, Radhina memang doyan cari ribut. Sebetulnya cewek tomboy itu tak bermaksud mengajak orang bertengkar. Tapi karena mulut dan ekspresinya yang terlalu jujur—tak peduli siapa dan dimana, jadi sering menimbulkan kesalahpahaman. Rere juga tipe yang sama, tetapi dalam hal kenekatan mereka ada di level yang berbeda. Radhina lebih punya nyali.
By the way, sudah berapa orang yang Radhi ajak ribut sampai dengan hari ini? Keiza menggeleng, meralat otaknya sendiri. Orang terakhir yang saat ini bertengkar dengan Radhi adalah Rere. Teman sekelas mereka. Dan… mungkin juga Keiza sendiri. Ia sedikit kesal soal Radhi yang lupa kalau Keiza adalah murid beasiswa. Keiza menggaruk kepalanya dengan yang tidak gatal. Tadi sore ia tak sempat bicara dengan Radhi, saat mau diikuti gadis itu malah marah.
“Mungkin aku harus ajak dia ngobrol, besok.” Keiza memutuskan.
oOo
Sudah dua hari sejak kejadian panjat atap terjadi. Mereka belum saling tegur. Radhina menghindari Rere—ya iya pastinya, juga Keiza. Seperti sekarang ketika Keiza masuk kelas di jam kosong, Radhi akan bangkit dari kursi untuk bergabung dengan para anak cowok di baris belakang, mereka sibuk main bareng di game online. Begitu juga dengan jam istirahat, Radhi pasti selalu pergi entah kemana. Keiza tak bisa mengajak Radhi mengobrol di jam belajar, mau kena reputasi buruk lagi? Intinya, kesempatan bicara belum datang kepadanya.
“Ja, ini design infografis gue dan Rere.” Abella datang membawa flashdisk coklat bermodel potongan kayu. Menyodrokannya pada Keiza sembari duduk di kursi depan. Seketika Keiza teringat amanah yang diberikan guru design. Menyerahkan softcopy tugas anak-anak kelas di dalam flashdisk hitam yang dipegang Keiza. Tidak bisa lewat email karena guru design meminta tugas itu dalam format mentah. Satu tugas tentu memakan memori yang cukup besar.
“Oh iya, aku nggak bawa laptop hari ini.” Keiza menghela nafas. Jadwal hari ini penuh pelajaran eksata, penuh hitung-hitungan manual. Tak terlalu butuh banyak alat elektronik.
“Mau coba pindahin di lab. komputer?”
“Emang boleh?” Keiza bertanya. Ingat beberapa gosip yang ia dengar ketika sedang bantu-bantu di laboratorium komputer.
“Masa nggak boleh?” Abella balik bertanya. Merasa heran dengan pertanyaan Keiza. Sedikit informasi yang Keiza tahu lab. komputer secara tak resmi sudah diklaim sebagai daerah kekuasaan anak Teknologi Komputer Jaringan.
Setiap istirahat siang, anak-anak dari jurusan itu pasti pergi ke lab. Komputer. Entah mau belajar, bermain game atau mengutak-atik perangkat keras. Secara kasat mata mereka memang membiarkan murid-murid yang lain untuk masuk juga. Namun rumor itu masih terdengar santer. Entah bagaimana cara mereka membuktikan klaim itu. Keiza tidak tahu. Namun karena sekarang mereka dalam kondisi terdesak, akhirnya Keiza mengiyakan saran Abella.
“Yaudah, ayo. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel.”
oOo
Akhirnya Keiza mengerti bagaimana cara anak TKJ mengklaim ruang komputer. Begitu flashdisk Abella tercolok ke CPU, muncul jendela dialog pemrograman yang tak mereka mengerti. Ekspresi kebingungan berubah panik ketika semua data yang ada di dalam flasdisk itu hilang total.
“Ja!” Abella yang ada di sampingnya histeris. Keiza sendiri mengedip-ngedipkan mata sembari ternganga. Ia coba lagi untuk merefresh, eject, lalu colok lagi. Berharap itu hanya eror tampilan atau bagaimana. Namun tetap semua data itu tak muncul. Tak menyerah, Keiza berpindah ke komputer lain, tapi data itu tetap hilang.
“Gimana nih! Tugas gue! Aah, tahu gitu minjem leptop aja sama anak kelas!” Abella merengek. Keiza sendiri terdiam panik. Lalu tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dan dibuka. Keiza dan Abella kompak menoleh, melihat sosok Andaru, berdiri memegang gagangan pintu dengan ekspresi penasaran, apa yang sedang terjadi?
“Kalian nggak masuk kelas, sebentar lagi bel.”
Keiza bangkit dari kursi laboratorium, menghampiri Andaru takut-takut. “Data kita… hilang, Kak.”
“Kita?” Andaru mengangkat sebelah alisnya. “Kalian kali.” Ralatnya dengan nada meledek, Keiza terkesiap, dialog sarkas ini membuatnya kena mental, rasanya jadi ingin menghilang ke dalam tanah. Meski begitu Andaru membuka sepatu dan masuk ke dalam laboraturium. Ia memberi kode pada keduanya untuk bergeser dan duduk di bilik komputer yang digunakan Keiza dan Abella untuk memindahkan data.
“Kalian balik aja ke kelas, saya coba periksa ini.”
“Tapi Kak,” Abella dengan muka khawatirnya bertambah khawatir. Takut kalau Andaru berhasil mengembalikan file itu, akan terlihat semua tugas-tugas yang selama ini ia kerjakan dalam bentuk JPEG. Malu bila karyanya dilihat senior.
“Balik aja ke kelas, sebentar lagi bel,” ucap Andaru dengan nada perintah. Menjadi peringatan bagi Abella dan Keiza untuk tidak membantah. Kedua anak itu akhirnya keluar dengan hati was-was. Bertaruh, apakah benar Andaru bisa menyelamatkan datanya. Jika iya... cowok itu benar-benar luar biasa.
oOo
“Keiza!” Panggil Abella keras, keduanya kini sedang berjalan menuju kelas mereka. Keiza langsung tersentak. Merasa bersalah karena ia tak mendengarkan apa yang dikatakan Abella barusan. Kepalanya masih berpikir tentang sarkasme Andaru, tugas Abella yang hilang dan soal perselisihannya dengan Radhi. Terlalu banyak sampai-sampai Keiza jadi kehilangan fokusnya sendiri.
“So-sori Bel, gimana?”
“Kak Andaru bener bisa balikin data kita?”
“Nggak tahu.” Keiza jujur. Dalam hati merasa, mungkin saja Andaru benar bisa. Yang jelas, mereka berdua harus mendapatkan file Abella kembali sebelum pulang sekolah.
“Omong-omong Ja, gue denger dari Kak Yulia lo didaulat jadi calon ketua ekstrakurikuler Jurnalistik?”
Keiza mengangkat kedua alisnya. Ia tahu gosip itu. Avis juga minta tolong padanya karena meyakini Yulia benar akan lengser cepat. Lagipula, walaupun Yulia sendiri belum mendeklarasikan keputusannya, ia sudah menyuruh-nyuruh Keiza ini-itu.
“Kamu yakin bisa ngelakuin itu, Ja? Kayaknya kamu harus mikir dulu deh. Maaf ya aku berkomentar gini, kamu kan anak beasiswa. Ada nilai yang mesti kamu kejar.” Abella melipat tangannya di depan dada.
“Mungkin, aku bakal lihat itu setelah lewat tengah semester.” Keiza menjawab, masih terlalu dini untuk mengukur nilai akademiknya sekarang. Keiza senang berorganisasi, ia suka ada di Ekstrakurikuler Jurnalistik. Berkarya dengan teman-temannya, membuat tulisan dan lain sebagainya. Walau benar kata Abella, ia masih punya tanggung jawab beasiswa supaya bisa bertahan di Teruna Angkasa.
“Oh iya Ja, kamu belum baikan sama Radhi?” Abella mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain.
“Belum. Nggak tahu nih, pusing aku.”
“Apa perlu kita, aku, kamu sama Rere minta maaf bareng?”
Keiza menggeleng. “Rere cuma khawatir.”
“Iya sih, lagian Radhi nggak perlu marah sampai segitunya nggak, sih? Ide manjat atap kan semula dari dia. Kadang, aku nggak ngerti sama temperamennya,” nada bicara Abella berubah menjadi keluhan. Keiza hanya diam sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
“Kalau dia terus-terusan bersikap kayak gini, justru akan membahayakan status beasiswa kamu, nggak sih Ja?”
“Nggak lah, Bel.” Keiza membalas cepat, entah kenapa ia tidak suka gagasan itu.
Abella langsung gelagapan, “maaf ya Ja, aku ngomong gini buat kebaikan kamu.” Ia menambahi dengan nada pengertian. Keiza menggelang singkat seraya berkata,
“Nggak apa, nanti aku akan coba cari waktu untuk ngobrol sama Radhi.”
oOo
Radhina berpikir sejenak, bagaimanapun Keiza adalah teman perempuan pertamanya di Teruna Angkasa. Tapi ya bagaimana, setiap ingat teringat ucapan Rere ia jadi kesal. Seolah-olah Radhina adalah biang masalah. Memang benar sih, dia biang masalahnya. Ide panjat atap itu jelas terlontar dari mulut Radhi. Namun justru karena itulah Radhi semakin merasa tidak enak. Setiap kali melihat Keiza, perutnya serasa dililit sesuatu.
Dhi, kamu masih marah?
Radhina membaca pesan di ponselnya, tertanggal kemarin, dikirim oleh Keiza. Radhina agak bimbang, memangnya dia berhak marah? Apalagi marah pada Keiza. Justru Radhi merasa bersalah! Setelah ditimbang-timbang, akhirnya Radhina memutuskan untuk membalas pesan Keiza. Hanya dalam hitungan detik Radhi refleks meletakkan ponselnya ke bawah meja, belum sempat menyentuh tombol kirim. Karena ia melihat Keiza dan Abella baru saja masuk ke dalam kelas. Saat Keiza duduk di kursinya, bel sekolah berdering nyaring.
Radhina ingin sekali bertanya Keiza habis darimana. Atau meminta maaf, tapi sekali lagi ada sesuatu dalam diri Radhi yang membuat lidahnya serasa kelu. Dua hari mendiamkan Keiza, bukannya perasaannya membaik, justru membuat Radhi benar-benar kehilangan kata-kata.
“Kalo kamu penasaran, aku habis dari lab. komputer, flashdisknya Abella blank kena virus.”
Otomatis Radhi menoleh, nyengir, untuk ukuran cewek yang biasanya mengutamakan logika, Keiza juga ternyata cukup baik hati untuk menegur duluan!
“Kok bisa? Emang kalian ngapain?” Radhi terdengar antusias, menyambar kesempatan melanjutkan obrolan.
Keiza memberi tatapan udah adem kamu, pada Radhi.
“Gue sebenernya pengen negor lo dari kemarin, tapi nggak tahu kenapa susah gitu.” Radhi mengklarifikasi dengan senyum jenakanya.
Keiza berdecak, “yaudah, nggak apa-apa. Yang penting nggak lebih dari tiga hari.”
Radhi hanya bisa nyengir bersalah. “Terus gimana flashdisk lo?” Ia lanjut bertanya.
“Flashdisk Abella. Hari ini tuh, aku dititipin tugas Bu Linda. Itu loh, yang bikin design infografis. Kan mesti dipindahin ke flashdisk ini,” Keiza menunjukkan sebuah flashdisk hitam. “Abella mau ngumpulin. Aku lagi nggak bawa laptop, akhirnya ki—” mendadak Keiza mengingat ucapan sarkas Andaru, “kami ke lab-kom, numpang mindahin. Eh, nggak tahunya itu lab dipasang virus, kayaknya.”
Seperti biasa, mata Radhi membelalak, tanda ingin mengomel. Untung saja Pak Riyanto, Guru Matematika datang dan segera memulai kelas. Sehingga Radhi harus menahan omelannya itu. Walau begitu, Radhina senang, setidaknya ia dan Keiza sudah kembali berbaikan.
oOo
Andaru made it!
Dia benar-benar bisa mengembalikan data yang hilang itu! Pertama-tama sosok Andaru yang muncul di ambang pintu kelas sudah membuat seisi DKV 1 terheran-heran. Ralat, bukan hanya DKV satu, tapi juga dua kelas yang mengapit kelas mereka. Keiza paham kenapa Andaru berhasil menarik pusat perhatian. Soalnya cowok itu betulan pintar.
Kedua, Andaru juga baik karena dengan sukarela membawa notebook agar Keiza dan Abella bisa mengkonfirmasi data-data mereka yang hilang benar sudah kembali lengkap.
“Iya Kak! Ini semua dataku! Udah lengkap.” Wajah Abella menunjukkan ekspresi antara senang dan ngeri. Senang datanya sudah kembali dan ingin segera mencabut flashdisk itu dari notebook Andaru. Negri karena overthinking, Andaru berpotensi melihat semua isi filenya.
“Oke.” Andaru hendak meng-eject, tetapi urung. Kemudian, mata abu-abu yang terbingkai kacamata bertulang tipis itu melihat pada Keiza. “Kamu bukannya mau pindahin data tugas?”
Keiza agak kaget. Cowok ini tahu darimana? Seingat cewek itu selama di lab-kom ia tak memberikan keterangan apa-apa soal tugas. Tapi alih-alih bertanya, Keiza langsung mengiyakan. Teringat amanah itu harus segera ia serahkan. Berhubung Andaru menawarkan, kenapa juga Keiza harus menolak, ya kan?
“Sebentar Kak, aku ambil flashdisk Bu Linda.” Keiza berlari ke kursinya. Melirik sebentar ke meja belakang, tempat Radhina bersembunyi. Ya, Radhi masih malas bertemu dengan Andaru, jadi cewek itu memilih duduk di lantai deret belakang sembari mengerjakan tugas dari Pak Riyanto.
Keiza kembali kepada Andaru dan menyerahkan flasdisk itu. Tentu saja Andaru mengcopy semuanya dengan lancar. Sedikit merapihkan folder lalu mengeject kedua flashdisk dan menyerahkan kepada Keiza dan Abella.
“Thanks, Kak.” Abella tersenyum. Ah—mendadak ia salah tingkah.
“Thanks, Kak.” Keiza tentu juga mengucapkan terima kasih. Ia juga menoleh pada Abella sembari nyengir tipis. Merasa lega karena semua tugas sudah lengkap. Sekarang tinggal diserahkan saja ke Bu Linda.
“Ini nggak gratis.” Ucap Andaru di luar dugaan, menunjukkan senyum teramah yang ia punya.
Serius nih? Keiza dan Abella saling pandang. Andaru tertawa renyah, membuat beberapa mata terpana.
“Bercanda. Yaudah, saya pergi dulu.” Kata cowok itu sembari berjalan pergi. Meninggalkan Keiza dan Abella dalam kebingungan antara tersentuh dan sebal.
oOo