X DKV 1 benar-benar dijemur. Sudah masuk menit ke lima belas tetapi tak ada kakak kelas yang menjelaskan kenapa mereka harus berdiri, tetap dalam posisi siap dan tersiram sinar matahari yang semakin lama semakin terik. Keiza menarik nafas dalam-dalam. Keringat mulai menetes di sekitar pelipisnya. Matanya melirik pada dua kakak kelas yang sibuk berjaga. Berharap ada yang buka mulut, mau menjelaskan kenapa X DKV 1 tidak melanjutkan sesi meminta tanda tangan. Namun mereka semua diam. Hanya mondar-mandir tidak jelas sembari memperhatikan anak-anak X DKV 1 dengan mata semi tegas.
Panas matahari mulai terasa menghangatkan kain jilbab Keiza. Jika ia yang pakai jilbab saja bisa merasakan suhu semakin panas, apalagi mereka yang kulitnya terpapar sinar matahari langsung? Keiza bertekad, jika dalam waktu lima menit para senior ini tak mengatakan apapun juga, ia yang akan bertanya.
Tak sampai lima menit, ketika keringat Keiza mulai mengalir ke area hidung, si Ajudan Ketua Paskib muncul. Ia berjalan menyusuri barisan depan sembari menginstruksikan ke pemimpin komando untuk mengubah gerakan menjadi ‘istirahat di tempat’. Setelahnya ia berkata,“sudah lima belas menit. Apa yang kalian ambil dari lima belas menit yang terlewat ini?”
Tentu saja tak ada junior yang bisa menjawab. Kebanyakan dari mereka bahkan tak tahu kenapa harus berhenti seru-seruan meminta tanda tangan para senior kece. Kebanyakan dari mereka juga menahan gondok karena jadi bahan omongan peserta MPLS lain. Anak kelas lain yang masih asik dalam sesi hunting signature tapi sibuk mencuri-curi pandang ke area lapangan.
Si Ajudan Ketua Paskibra kemudian berjalan lagi, kali ini mengambil posisi berhadapan dengan Keiza. Feeling Keiza menguat, ini sepertinya benar soal hardikan tadi.
“Sebaiknya kalian semua belajar nerima perintah, belajar mendengarkan instruksi dengan benar.”
Keiza bisa melihat bet nama yang terjahit di seragam Si Ajudan, Annara Sukma.
“Keiza Mazaya,” panggil Anna saat melihat name tag peserta MPLS yang tergantung di tubuh depan Keiza. Tentu saja Anna ingat wajah anak yang sibuk mengemis tanda tangan ketua ekskulnya beberapa menit tadi. Walau sebenarnya ia tak yakin siapa yang berteriak kurang ajar. Keiza Mazaya, atau anak berambut pendek yang matanya sudah setajam elang memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
Anna bukan salah satu dari ketua ekskul. Namun ia diserahi tanggung jawab merancang formasi latihan untuk sesi Peraturan Baris-Berbaris. Menggantikan Ketua Paskibra yang sibuk mengurus formasi lomba dan persiapan untuk gebyar ekskul di hari ketiga MPLS. Karena peran itu, Anna lumayan punya koneksi dan berhasil mengumpulkan kelas X DKV 1 ke lapangan dengan alasan pemantapan latihan baris-berbaris. Namun tentu saja niat itu tidak tulus.
“Kamu itu contoh dari peribahasa nila setitik rusak susu sebelangga.”
Ujung alis Keiza mengerut. Jadi ini benar-benar soal hardikan Radhi tadi. Baiklah. Yang pertama, Keiza tahu jelas ini bukan salahnya. Walau memang ia kesal karena perilaku kakak kelas yang bernama Anna ini, tetapi eksekutor hardikan itu adalah Radhi! Memangnya telinga Anna ini susah membedakan suara orang? Terus, perlukah satu kelas dikumpulkan, dijemur tanpa alasan yang jelas begini? Padahal—okelah jika Keiza memang salah, ia dan Radhi jelas belum diberi kesempatan meminta maaf. Menjatuhkan hukuman sebelum klarifikasi kesalahan itu bukan tindakan yang masuk akal, ya kan!?
Keiza melepaskan posisi istirahatnya sejenak untuk bilang, “maaf Kak, saya paham maksud Kakak.” Lalu kembali menautkan tangannya lagi ke belakang punggung.
“Paham apa?” Anna tentu saja tak suka melihat targetnya bicara barang sekata dua kata. “Ini sesi baris berbaris khusus. Spesial dari kami tim Paskibra sekolah untuk meningkatkan kedisiplinan kalian! Kalian harusnya berterima kasih, karena ini adalah bentuk kepedulian senior!”
Radhi tak tahan lagi. Ia hendak membuka mulut, tapi ia segera terpikir cara yang lebih baik. Radhi melemaskan badan dan menjatuhkan dirinya ke arah depan. Menubruk seseorang yang dengan sigap langsung menangkap tubuhnya. Sesuai perkiraan, keadaan langsung teralihkan. Walau bukan anak teater rupanya Radhi bisa juga berakting pingsan.
Anna tentu saja panik. Padahal menurutnya cuaca hari ini tidak terlalu panas, waktu juga belum sampai 30 menit. Ia memprediksi semuanya baik-baik saja. Namun kenapa masih ada anak lemah yang ambruk di tengah sesi pemberian hukuman darinya?
“Na! Kita balikin mereka ke kelas!” Salah satu penjaga barisan mengusulkan. Anna setuju, mengembalikan semua anak kelas X DKV 1 ke ruang kelas ber-AC. Radhi sendiri dibawa ke UKS.
Selama pura-pura pingsan, Radhi menahan kesal. Kenapa ia tak dibawa ke kelas saja? Setidaknya dia harus menjelaskan ke anak-anak kelas, kenapa dan siapa yang membuat Anna jadi menggila. Namun sayang, sependek pengetahuan Radhi, orang yang pingsan tidak bisa langsung sadar hanya dalam jeda sepersekian detik. Biarlah para kakak kelas yang rese ini panik dan menggotong badannya sampai ke UKS. Pokoknya, begitu badannya sudah merebah di tempat tidur—barang tiga detik saja, ia akan langsung menyadarkan diri supaya bisa cepat kembali ke kelas dan menyelamatkan Keiza.
oOo
Terlambat. Opini sudah terbentuk. Sekarang satu kelas menatap Keiza dengan pandangan curiga. Tampak jelas di lapangan tadi bagaimana cara Anna menatap Keiza. Tatapan yang sarat akan sorot permusuhan itu tentu membuat semua orang berpikir; pasti mereka berdua ada masalah. Masalah yang menjadi penyebab anak-anak X DKV 1 dijemur.
“Ja, lo ada masalah apaan sih sama Kak Anna?”
“Iya nih sampe kita dijemur segala.”
Awalnya mereka enggan bertanya karena belum terlalu kenal. Namun mereka juga terjebak dalam perasaan antara kepo dan takut bakal kena hukuman lagi. Jadi setidaknya mereka harus tahu alasannya dari si narasumber utama.
“Emang fatal banget apa, sampe kita semua kena hukuman juga?”
Suara-suara sumbang itu justru membuat Keiza terdiam. Walau tahu jelas apa yang terjadi, ia merasa enggan bicara. Ia ingin menunggu Radhina sebelum menjelaskan semuanya. Keiza sempat heran kenapa Radhi pingsan. Terakhir interaksi sih, kondisi cewek itu terlihat segar bugar. Apa sebenarnya Radhi mengidap penyakit? Apa itu yang menjadi penyebab Radhi berhenti main basket?
Ah. Keiza, sekarang bukan waktunya untuk penasaran soal itu. Keiza kembali memusatkan perhatiannya pada kerumunan kelas yang mulai memaksa meminta jawaban.
“Jelasin Ja! Biar kita tahu kalo-kalo nanti kita nggak dapet reward tanda tangan!”
“Iya Za, gimanapun kita ini satu kelas. Bakal bareng sampe lulus! Yah, kalo lo pada akhirnya nggak pindah sekolah atau jurusan, sih.”
Bukan seperti ini situasi yang Keiza inginkan. Ia ingin kehidupan sekolahnya baik-baik saja. Ia ingin bisa berteman dengan semua orang. Ia tak ingin membuat musuh. Tapi mau bagaimana? Kalau diam saja mungkin Keiza malah akan dicap pembuat masalah.
Apa gue cerita dulu soal minta tanda tangan yang dipersulit itu? Pikir Keiza. Ia akhirnya bangkit dan berjalan menuju ke depan kelas, berusaha meredakan jantung yang berdebar keras untuk menghadapi penghakiman dari kelasnya. Baru Keiza ingin mengucapkan sesuatu, pintu kelas terbuka lebar. Radhi sudah kembali dari perjuangannya berakting pingsan!
“Itu salah gue! Gue yang cari gara-gara sama Kak Anna,” katanya langsung. “Gue muak sama aturan ‘harus dapet tiga tanda tangan dulu’ baru bisa dapet tanda tangan Ketua Paskibra! Akhirnya gue bilang sama dia tentang senioritas… mm…” Radhi berusaha mengingat-ingat apa yang ia katakan.
“Mmh, eniwei! Itu semua bukan salah Keiza.”
Keiza ternganga. Bukannya beberapa menit yang lalu Radhi masih digotong-gotong ke UKS? Lagipula, tadi Keiza sempat berpikiran jelek. Ada kemungkinan Radhi akan bersembunyi tangan, tapi rupanya cewek itu menjelaskan semuanya dengan berani.
“Gue minta maaf karena bikin kalian semua dihukum. Karena ucapan gue yang ngasal itu. Tapi emang bener dia ngeselin banget sih, padahal bukan ketua ekskul.” Radhi agak mencibir sembari berjalan ke sisi Keiza. Begitu sampai ia langsung menepuk-nepuk pundak cewek berjilbab itu.
“Entah kenapa malah Keiza yang jadi inceran Kak Anna. Tapi yang jelas, ini semua bukan salah Keiza. Sekali lagi gue minta maaf sama kalian semua.” Suara Radhi agak bergetar, tetapi matanya tetap lurus menatap ke seluruh penjuru kelas.
Keiza terharu. Ia juga harus berkata sesuatu.
“Radhi dan gue belom sempet minta maaf sama Kak Anna. Kami belom dikasih kesempatan untuk minta maaf. Tapi kami udah bikin kalian dihukum tanpa alasan yang jelas. Kami…” tenggorokan Keiza mendadak tercekat.
“Gue minta maaf!” Radhi melanjutkan.
“Kita minta maaf,” Keiza juga ikut meminta maaf. Radhi sedikit menoleh pada Keiza untuk memberi cewek itu senyum miris.
Awalnya kelas hening. Sedikit kaget atas kejujuran dari dua anak yang baru mereka kenal ini. Sebagian anak kelas masih ada yang kesal karena harus kena slepetan panas matahari. Namun lebih banyak lagi yang memaklumi situasi Keiza dan Radhi. Lagipula, mengakui kesalahan itu bukan hal yang mudah. Tindakan dua teman mereka ini patut diberi apresiasi.
“Emang agak nyeselin sih, sesi tanda tangan ini,” celetuk salah seorang anak.
“Gue juga hampir kesel karena susah banget dapet tanda tangan beberapa kakak kelas.” Sahut yang lain.
“Ya tapi bukan berarti kita semua harus dihukum dong, kalian tetep harus minta maaf sama Kak Anna.”
“Nggak apa-apa Za, Radhi, kalian coba dulu aja minta maaf. Gue yakin—walau agak susah diajak omong, Kak Anna bakalan ngerti. Kalian yang semangat!” Cewek yang Keiza tahu bernama Abella sampai berdiri untuk memberi semangat.
Suara dukungan dan saran mulai ramai. Keiza dan Radhi menerima itu semua dengan hati berusaha dilapang-lapangin. Namun akhirnya mereka berdua tersenyum, setidaknya mereka berhasil melakukan hal yang benar. Tiba-tiba terdengar suara pintu kelas diketuk. Seisi kelas langsung diam. Takut yang masuk adalah senior berhati antagonis yang suka memberi hukuman semena-mena.
Ternyata bukan.
Saat pintu dibuka, semua anak menghembuskan nafas lega. Ternyata yang muncul adalah peserta MPLS juga, si Avissena Hussaibi Abdillah. Eh, tunggu dulu, untuk apa jagoan kelas RPL datang mengetuk kelas X DKV 1?
“Dhi,” Avis memberi kode pada Radhi untuk menghampirinya. “Sini, bawa buku catatan lo.” Cowok itu melanjutkan. Radhi hanya berjengit melihat keanehan teman kecilnya. Apalagi melihat respon beberapa anak cewek yang berbisik-bisik antara mengagumi Avis dan merancang gosip segar terbaru anak kelas satu.
“Cepetan.” Perintah Avis dengan suara rendah, tapi terasa galak. Kemudian matanya beralih pada Keiza. “Lo juga.”
Keiza dan Radhi akhirnya keluar dari kelas dengan muka lesu. Melihat Avis dengan pandangan; mau apa sih lo? Kita lagi disidang berjama’ah begini malah dipanggil-panggil. Tapi toh keduanya tak ada tenaga untuk mengatakan apa-apa.
Avis sendiri langsung mengambil buku catatan Radhi dan menuliskan sesuatu di halaman depannya. Radhi memincingkan mata, Keiza sebaliknya, merasa terkejut hingga kedua matanya terbelalak lebar. Keduanya lalu berkata dalam timing yang sama, hanya nada suaranya yang berbeda. Keiza dengan nada shock dan Radhi dengan nada skeptis.
“Kamu Ketua Ekskul Pemrograman!”
“Lo Ketua Ekskul Pemrograman?”
oOo