Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Hari-hariku setelah perpisahan terasa lebih sunyi. Bukan sunyi yang menakutkan seperti dulu, tapi semacam ruang kosong yang harus kuisi sendiri. Tanpa suara motor di depan gerbang. Tanpa suara Nata yang sering melempar lelucon aneh atau pujian ganjil. Tanpa pelukan di jaketnya. Rindu itu tak hilang. Ia berubah bentuk—menjadi doa, menjadi kekuatan untuk menyambut pagi.

Aku belajar mengenali suara-suara di dadaku, bukan untuk ditekan, tapi untuk dipahami. Aku tak lagi menghitung langkah dari gerbang menuju kelas. Aku bahkan berani memutar jalur, melewati galeri seni hanya untuk menoleh sekilas. Mencari sosok yang dulu selalu menemaniku. Tapi dia tak pernah terlihat. Nata benar-benar menghilang dari kampus dan dari hari-hariku. Namun, karena itu justru membuatku belajar menerima dan perlahan memeluk diriku sendiri.

Beberapa kehilangan memang tak perlu diganti. Cukup diakui. Cukup dihormati. Cukup dirindukan. Aku belum sembuh. Tapi aku mulai tenang. Pikiran yang melompat dan kompulsif masih datang, tapi kini aku menyapanya pelan, seperti berbisik kepada diri sendiri “Aku tahu kamu datang, tapi aku bisa hidup bersamamu.”

Aku kembali ke klinik, duduk di ruang tunggu yang kini terasa sepenuhnya milikku. Kursi di seberang yang dulu diisi Nata, kini kosong. Hanya ada bayangannya yang samar, tertinggal menemaniku di sana. Saat psikologku bertanya, “Rasanya gimana sekarang?” Aku menjawab, “Masih takut. Tapi nggak setakut dulu.” Dan itu cukup.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Tak ada kabar dari Nata. Tak ada pesan, tak ada like, tak ada jejak. Awalnya aku menunggu. Lalu perlahan… aku berhenti berharap.  Sore itu, aku menggambar di teras. Bukan tugas kampus. Bukan sesuatu yang harus dipresentasikan atau dinilai. Hanya… menggambar. Untuk diriku sendiri. Garisnya tak sempurna, perspektifnya sedikit miring, tapi aku membiarkannya. Aku membiarkan sesuatu menjadi nyata tanpa harus sempurna—seperti diriku.

Dan seperti banyak sore sebelumnya, aku tidak berharap apa-apa. Tapi entah kenapa, ketika suara motor berhenti di depan pagar, jantungku melonjak lebih dulu, bahkan sebelum aku melihat siapa yang datang. Tapi bukan Nata. Hanya tukang paket.

Aku berjalan ke pagar, berusaha menenangkan degup yang terlalu cepat untuk harapan yang terlalu kecil.

“Mbak, ini untuk Nara,” katanya.

Sebuah paket kecil. Tak ada nama pengirim. Tapi saat kubuka, aku tahu itu dari Nata. Sebuah lukisan dengan goresan yang sangat familiar. Langit senja yang pernah kami lihat dari tebing terakhir. Tanpa sosok manusia. Hanya langit dan sunyi yang manis. Di belakang kanvas, selembar surat diselipkan.

Untuk Nara,

Aku tahu surat ini akan sampai padamu. Tapi tetap saja, menuliskannya membuatku merasa seolah kita sedang berbicara—meski hanya lewat warna dan kata.

Nara, setelah kamu pergi, aku belajar bahwa beberapa hal tidak bisa dipaksakan. Bahkan cinta sebesar apapun, kalau akhirnya bikin salah satu dari kita kehilangan diri… ya harus dilepas.

Tapi bukan berarti aku berhenti peduli. Aku masih sering kepikiran kamu, terutama saat hal-hal kecil muncul, seperti gambar perspektif yang meleset, senja di jendela bus, dan lagu yang pernah kita dengar sambil diam-diam saling pandang.

Kamu mungkin sekarang sedang mencoba berdiri sendiri. Dan aku tahu, itu nggak mudah. Tapi aku percaya kamu bisa. Karena kamu selalu berani, bahkan saat kamu sendiri merasa takut.

Ra, lewat tulisan ini, aku ingin kamu tahu kalau aku bersyukur dan nggak pernah menyesal pernah jadi bagian dari dirimu. Kamu ingat kan, dulu aku pernah bilang, aku ingin jadi langit buat kamu—yang selalu ada untuk selalu kamu lihat.

Jadi kalau suatu hari kamu menatap langit dan merasa sedikit lebih tenang… mungkin itu artinya aku masih di situ. Menunggu. Diam-diam menjaga dari jauh.

Jaga dirimu, Nara. Dengan semua luka dan keindahan yang kamu punya.

—Nata

Tanganku gemetar saat membacanya . Tapi kali ini, aku tidak menangis karena kehilangan. Aku hanya diam. Mengizinkan dadaku penuh oleh rasa yang dulu menyakitkan, kini meneduhkan.

Beberapa minggu kemudian, aku membuka buku harianku. Surat dari Nata kuselipkan di dalamnya. Di jendela, senja merayap masuk pelan. Aku menulis, bukan sebagai catatan, tapi sebagai percakapan diam-diam untuk seseorang yang pernah begitu berarti.

Hai, Nata.

Aku baik. Mungkin belum sepenuhnya, tapi cukup untuk hidup tanpa merasa mati.

Aku masih menoleh saat melewati galeri. Masih ingin meminjam jaketmu saat angin dingin. Tapi aku tidak sedih lagi. Karena aku belajar bahwa kenangan yang menenangkan tak perlu disesali. Cukup dikenang—seperti senja yang tak sempat difoto tapi tak pernah hilang.

Terima kasih sudah datang. Terima kasih karena pernah tinggal. Dan lebih dari itu, terima kasih karena pergi dengan cara yang membuatku belajar tinggal di diriku sendiri.

Aku tak lagi menunggumu. Aku berjalan bukan untuk mengejar siapa-siapa. Aku sedang kembali padaku. Menyembuhkan luka yang selama ini tersembunyi, dan belajar mencintai diri sendiri lebih dari sebelumnya.

Jika suatu hari kita bertemu lagi, aku harap kamu melihatku sebagai seseorang yang telah utuh kembali—meski dengan bekas retak yang kupeluk sendiri.

Terima kasih, Nata. Untuk segalanya. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa diucapkan, dan meski kita tak lagi berjalan bersama, kenangan ini akan selalu jadi bagian terindah dalam hidupku.

—Nara

Dan begitulah, aku menutup buku harian ini dengan hati yang lebih ringan. Kisah kami bukan tentang selamanya. Tapi tentang bagaimana aku belajar menemukan diriku—di tengah perpisahan, di sela rindu yang tak bisa kembali, dan dalam sakit yang tak langsung sembuh.

Aku sempat berpikir bahwa yang menyelamatkanku adalah cinta. Tapi ternyata, yang paling menyembuhkan... adalah keberanianku untuk tinggal. Tinggal di tubuhku sendiri. Di pikiranku sendiri. Di luka yang tak kutolak lagi.

Kini aku tahu: menemukan diri sendiri bukan soal kembali menjadi seperti dulu. Tapi tentang menerima siapa dirimu sekarang—retak, rumit, tapi tetap layak dicintai. Dan meski perjalanan ini panjang, meski aku belum sepenuhnya utuh, aku masih tetap melangkah, bukan untuk mencari siapa pun… Tapi untuk pulang—pada diriku sendiri.

Karena mungkin, menjadi utuh bukan soal tak pernah patah. Tapi soal bagaimana kamu memilih untuk hidup, meski pernah hancur. Dan aku memilih untuk hidup. Hari ini, besok, dan seterusnya. Meski masih terjebak dalam waktu mati, aku tetap memilih merasa dan terus berjalan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Unexpectedly Survived
119      105     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Batas Sunyi
1989      902     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Perjalanan Tanpa Peta
58      53     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Winter Elegy
652      442     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Hideaway Space
115      94     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
132      108     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Melihat Tanpamu
165      129     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lainβ€”pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Wilted Flower
347      265     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...