Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Kadang cinta tak tumbuh untuk digenggam erat, tapi untuk diuji: seberapa kuat ia tetap ada, bahkan saat harus dilepas perlahan, seperti daun yang luruh, bukan karena berhenti mencintai rantingnya, tapi karena musim memintanya pergi.

**

Sudah tiga hari sejak aku terakhir bicara dengan Nata. Dan selama tiga hari itu juga, aku bangun dengan dada sesak, kepala berat, dan rasa bersalah yang tak kunjung reda. Aku tahu aku keterlaluan. Tapi aku juga tahu… aku hanya sedang berperang dengan diriku sendiri.

Pagi pertama setelah pertengkaran itu, aku terima voice note dari Nata. Suaranya pelan, seperti menahan tangis:

“Aku nggak ngerti sepenuhnya apa yang kamu rasain. Tapi aku pengen ngerti. Aku di sini, Ra. Beneran di sini. Aku nggak marah, aku cuma pengin kamu tahu… kamu nggak sendiri.”

Aku dengarkan diam-diam. Lalu kuhapus. Bukan karena benci, tapi karena terlalu menyakitkan mendengar seseorang begitu sabar mencintaiku, sementara aku bahkan tak yakin bisa mencintai diriku sendiri.

Hari kedua, aku mendengar suara gerbang depan terbuka. Mama yang membuka pintu. Beberapa menit kemudian, dia masuk ke kamarku sambil membawa plastik bening dari salah satu resto favoritku.

“Ada yang nitip ini lewat ojek,” kata Mama singkat. “Nama pengirimnya dari ‘Nata’.”

Aku hanya mengangguk dan menerima bungkus itu. Tumis kangkung, ayam lada hitam, dan nasi hangat, menu yang kutulis sebagai “comfort food” dalam survei iseng yang dulu pernah dia buat waktu kami baru dekat. Aku tak menyentuh makanannya malam itu. Tapi aku simpan. Di kulkas. Seolah menyimpan kebaikan itu supaya tidak cepat basi.

Hari ketiga, gantian yang datang adalah sebuah paket kecil berbungkus cokelat. Isinya: sketchbook bergambar desain gedung rancangan arsitek perempuan terkenal—yang pernah aku sebut sebagai role model saat kami mengobrol soal tugas kampus. Di bawahnya ada catatan kecil, dengan tulisan tangan khas Nata yang sedikit berantakan.

“Nggak ada yang lebih kuat dari orang yang tetap berkarya saat hatinya berantakan. Kamu salah satunya, Ra.”

Aku membaca pesan itu sambil terduduk di pinggir ranjang, tangaku gemetar. Rasanya seperti ditampar dan dipeluk dalam satu waktu.

Aku belum membalas pesan apa pun darinya. Belum berani. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak kami bertengkar, aku menatap layar ponsel cukup lama. Dan akhirnya, kutulis:

“Besok sore. Jam 5. Ketemuan di taman belakang kampus. Ada yang mau aku bicarakan.”

Besoknya, dia datang sepuluh menit lebih awal dari janji yang kubuat. Aku melihatnya dari jauh. Dia berdiri sambil sesekali melirik ke arah gerbang. Saat aku akhirnya melangkah mendekat, dia tersenyum. Pelan. Ragu. Seperti takut aku akan balik badan dan pergi.

“Aku kangen,” ucapnya.

Aku menatap matanya. Lalu menjawab, “Aku juga.”

Beberapa detik kemudian, kuhela napas dalam-dalam. “Maaf, Nat. Waktu itu… aku ngerasa semuanya runtuh sekaligus. Aku ngerasa… kamu bakal lebih baik tanpa aku.”

“Jangan bilang gitu lagi,” katanya. “Karena aku justru lebih baik kalau sama kamu. Meski kamu lagi nggak baik-baik aja.”

Kami duduk di bangku yang sama seperti biasa. Tidak ada tangan yang digenggam atau pelukan hangat. Tapi ada kesepakatan dalam diam: bahwa kami akan mulai dari awal.

Hubungan kami membaik, pelan-pelan. Seperti menyusun ulang puzzle yang sempat berserakan. Ada potongan yang sudah tak utuh lagi, tapi tetap bisa disatukan. Dengan sabar. Dengan cinta.

Aku mulai rutin ke psikolog. Dua minggu sekali. Kadang seminggu sekali kalau pikiranku terasa kusut. Kami mulai membahas akar-akar dari komplusiku, tentang perfeksionisme yang kubanggakan, tentang rasa takut yang selalu membisikkan “harus” dan “jangan” di kepalaku. Aku mulai belajar mengenal diriku. Menyadari bahwa bukan dunia yang terlalu kacau, tapi kacau itu tumbuh dari dalam kepalaku sendiri.

Dan selama itu, Nata… tetap ada. Dia selalu menemaniku terapi, meski sering bolos kuliah. Dia juga selalu mendengarkan semua ceritaku, dia selalu berusaha untuk selalu ada meski dia tak punya banyak waktu karena sedang menyiapkan pameran. Dia selalu bilang, “Nggak papa, aku bisa handle semuanya kok. Yang penting kamu nggak ngerasa sendiri.”

Awalnya, aku percaya. Sampai suatu sore, setelah sesi terapi yang cukup berat, aku menemukan Nata… tertidur di kursi ruang tunggu.  Tangannya memeluk sketchbook tugasnnya. Wajahnya terlihat sangat kelelahan, matanya juga sembab, sampai-sampai aku hampir tak tega membangunkannya.

“Nata?” bisikku pelan.

Dia langsung terlonjak bangun. “Eh, kamu udah selesai? Maaf, aku—aku tadi ngantuk banget.”

Aku hanya mengangguk. Tapi di dadaku, ada yang menegang. Perasaan tak nyaman yang belum bisa kutafsirkan.

Besoknya, aku mendengar dari Iwan, yang kadang bantu di galeri, kalau Nata belakangan sering datang terlambat. Lukisannya belum selesai dipasang. Padahal hari itu penting. Hari terakhir sebelum penilaian kurator.

“Dia kenapa, sih?” tanya Iwan pelan saat aku menunggu Nata keluar dari galerinya. “Biasanya dia yang paling on time.”

Aku tidak menjawab.

Malamnya, saat berselancar di media sosial, aku melihat unggahan dari akun galeri kampus. Salah satu fotonya membuatku terdiam: Nata, berdiri di depan kanvas yang belum selesai, dengan mata sembab, sama seperti yang kulihat di ruang tunggu kemarin.

Aku terdiam lama sebelum akhirnya mematikan layar ponsel. Tanpa sadar, air mataku jatuh. Bukan karena diriku sendiri, tapi karena seseorang yang kucintai diam-diam ikut memikul bebanku.

“Jangan-jangan,” bisikku pelan dalam gelap kamarku sendiri, “aku justru merusaknya.”

Bayangan wajah Nata terus mengisi pikiranku: senyum lelahnya, tatapan penuh pengertian yang kadang berubah jadi cemas, dan cara dia berusaha keras menyesuaikan diri dengan kekacauan yang aku bawa.

Aku tahu dia mencintaiku, sungguh. Tapi apakah cintanya cukup untuk menahan semuanya ini? Setiap kali aku melihat matanya yang mulai kehilangan cahaya, aku merasa seolah-olah aku menyedot kehidupan darinya. Dan itu membuatku takut. Takut kehilangan dia, dan lebih takut lagi kalau aku jadi alasan dia hancur perlahan.

Malam-malamku jadi penuh mimpi buruk, ada bayangan yang diikuti suara-suara yang memanggilku dengan nada menghakimi, mengingatkanku pada ketidakberdayaanku sendiri. Aku mencoba bertahan, mencoba untuk berubah, mencoba untuk sembuh. Tapi terkadang, aku bertanya pada diri sendiri, apakah usahaku ini benar-benar membuat perubahan? Atau aku hanya mengulur waktu sambil membawa seseorang untuk hancur bersama?

Hari-hari bergulir bagai arus sungai yang tak pernah berhenti. Dan aku mulai sering menemukan Nata tertidur di sembarang tempat: kadang di ruang tunggu terapi, kadang di galeri seni, kadang di studio gambar, bahkan di atas motornya ketika menungguku keluar kelas.

Aku juga mulai menyadari Nata mulai sering melamun, tatapannya kosong, seolah pikirannya tenggelam ke tempat yang jauh. Sering kali juga, dia datang atau pergi dengan langkah tergesa seperti sedang berpacu dengan waktu menuju kelasn setelah bertemu denganku. Tapi setiap kali aku bertanya ”Kamu kenapa, Nat?” Dia hanya tersenyum dan menjawab, “Nggak kenapa-napa, Ra.”

Aku tahu, Nata berusaha untuk tidak mengabaikanku. Dia terus berjuang, bahkan ketika tubuh dan pikirannya hampir menyerah. Aku melihat bagaimana dia menahan lelah demi tetap berada di sisiku. Itu membuatku merasa bersalah, sekaligus terharu.

Aku mulai memberi ruang, bukan untuk menjauh, tapi untuk meringankan beban di pundaknya. Aku ingin dia tahu, aku menghargai semua usahanya. Tapi semakin aku berusaha tidak merepotkannya, semakin aku menyadari bahwa cinta kami diuji oleh kelelahan yang tak terlihat oleh orang lain. Namun, di tengah semua itu, aku yakin satu hal: Nata tetap mencintaiku, dan aku masih sangat mencintainya. Kami berdua bertahan, perlahan—dengan luka yang belum sembuh sepenuhnya, tapi juga dengan harapan yang tak pernah benar-benar padam.

Di tengah keheningan itu, aku masih merasakan cintanya. Dalam tatapannya yang lelah, aku masih menemukan percikan kasih sayang yang tak pernah hilang. Dalam kata-katanya yang sederhana, ada doa dan harapan yang tak pernah surut. Namun, semakin aku mencoba memberi ruang, semakin aku merasakan jurang yang makin melebar di antara kami.

Setiap malam, aku bertanya pada diri sendiri: apakah aku sudah cukup baik untuk dia? Atau justru aku ini beban yang membuatnya terseret ke dalam kegelapan yang sama denganku?

Lambat laun, aku mulai menghindar saat dia mengajak bicara tentang masa depan, atau ketika dia mencoba menghapus kesedihanku dengan genggaman yang dulu selalu menenangkan. Aku takut kalau terus bersama, aku akan menghancurkan apa yang tersisa dari dirinya. Dan di antara semua kerumitan itu, hatiku tetap mencintainya. Tapi cinta saja tak cukup bila kami berdua sudah terlampau lelah.

Malam itu, aku menunggu Nata di depan rumah. Duduk di teras dengan hoodie kebesaran dan segelas air yang tak kusentuh. Sudah kubilang lewat pesan bahwa aku ingin bicara. Dan Nata langsung membalas: “Oke. Aku ke sana.”

Langkah kakinya terdengar pelan di jalanan depan rumah. Saat ia muncul, wajahnya sayu tapi tetap tersenyum. Seperti biasa. Selalu seperti itu.

“Udah makan?” tanyanya sambil duduk di sampingku.

Aku menggeleng. “Belum, nanti aja.”

Dia mengangguk pelan. Lalu hening. Beberapa detik, atau menit, entahlah. Lalu aku mulai bicara. Suaraku pelan, tapi tegas.

“Aku seneng kamu tetap di sini, Nat. Tapi belakangan ini, aku juga lihat kamu capek banget.”

Dia menggeleng cepat. “Nggak, aku—”

“Aku lihat kamu ketiduran di ruang tunggu. Telat ke galeri. Kamu makin kurus. Matamu… nggak bisa bohong.”

Wajah Nata mulai berubah. Aku tahu, ia ingin menyangkal, tapi aku melanjutkan sebelum dia sempat bicara.

“Aku ngerasa… kamu terlalu banyak ngorbanin hal buat aku. Dan aku nggak mau kamu habis, Nat. Gara-gara terus nemenin aku yang bahkan belum selesai menyusun ulang kepalaku sendiri.”

“Ra, dengerin aku—”

“Aku cinta kamu, Nat. Sungguh.” Suaraku gemetar. “Tapi justru karena aku cinta kamu… aku nggak mau kamu tumbuh dalam luka yang bukan milikmu.”

Nata mematung. Lalu berdiri perlahan. Napasnya berat. “Kamu mau… kita pisah?”

Aku mengangguk. “Iya. Untuk sekarang.”

Dia tertawa miris. “Kamu tahu nggak? Aku nyiapin kejutan buat kamu minggu depan. Mau ngajak kamu jalan ke suatu temat, yang tenang, biar kamu bisa napas sedikit. Tapi sekarang kamu malah nyuruh aku… mundur?”

“Aku nggak nyuruh kamu apa pun,” kataku pelan. “Aku cuma… minta kamu jaga dirimu juga. Mungkin kita butuh waktu. Mungkin… aku butuh waktu buat pulih, tanpa nyeret kamu ke dalam semua ini.”

Air mata menetes dari mataku. Dari matanya juga. Lama kami diam. Lalu Nata menarik napas panjang.  Kemudian menatapku dalam-dalam, wajahnya penuh dengan perasaan yang sulit aku baca. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, dia akhirnya berbicara dengan suara serak, “Ra… aku tahu kamu capek. Aku juga. Tapi aku nggak mau kita berakhir seperti ini.”

Dia menghela napas panjang, lalu menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “Aku nggak mau kamu pikir kamu harus bertarung sendiri, atau aku harus mundur. Aku di sini, dan aku nggak akan pergi. Tapi malam ini, aku pikir… kita terlalu lelah untuk mgebahas hal yang kayak gini. Kamu butuh istirahat, butuh waktu untuk nenangin diri, butuh berpikir dalam keadaan baik-baik aja."

Aku hanya diam, suara hatiku bergejolak tapi kata-katanya seperti pelipur sekaligus beban. “Nata… aku…” tapi suaraku tercekat.

Dia mengangkat tangannya, mengisyaratkan aku berhenti. “Nggak usah bilang apa-apa malam ini. Kita nggak harus ngebahas apa pun sekarang. Kita lanjutkan disaat kamu dan aku tenang, dan kita benar-benar siap. Kita masih punya banyak waktu Ra.”

Dia berdiri, tapi sebelum melangkah pergi, dia menoleh dan berkata dengan lembut, “Ra, aku mencintai kamu lebih dari aku mencintai diriku sendiri”

Aku tertegun sambil melihat motornya menjauh meninggalkan jejak-jejaknya di sini.

Dan setelah Nata pergi, aku tetap duduk di teras, menatap gelapnya malam. Hatiku berat, penuh dengan cinta dan rasa takut yang bercampur jadi satu. Dan di sana, di antara bisu yang menggantung, aku tahu, kisah kami belum selesai. Tapi untuk malam ini, kami berhenti sejenak, menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
No Life, No Love
1277      951     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2447      917     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Ikhlas Berbuah Cinta
1231      831     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
My Private Driver Is My Ex
447      294     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
I Found Myself
50      46     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Perjalanan Tanpa Peta
58      53     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Ameteur
93      82     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
71      62     1     
True Story
Glitch Mind
47      44     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
37      35     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...