Aku bertemu dengannya di masa ketika hari-hari terasa hampa, dan kata “bahagia” sudah lama tak punya bentuk. Tapi dari cara ia memandang dunia, aku mulai melihat sesuatu yang lain—sesuatu yang asing, tapi tak sepenuhnya menakutkan.
**
Waktu terus berputar. Hari-hari berganti jadi minggu, lalu menyelinap menjadi bulan. Tanpa terasa, pameran lintas jurusan resmi dimulai. Hari itu, kampus terlalu ramai. Terlalu bising. Terlalu penuh. Lorong gedung arsitektur dipenuhi poster warna-warni, meja-meja dijejali kardus, kertas gambar, dan lem yang baunya menempel di hidung. Orang-orang berlalu-lalang membawa maket setengah jadi atau segelas kopi sambil tertawa. Seolah semua ini menyenangkan. Seolah mereka tidak kelelahan.
Aku berdiri memeluk folder layaknya tameng. Sudah dari tadi, tapi rasanya tidak benar-benar berdiri. Kepalaku sibuk menghitung ulang margin, palet warna, posisi logo sponsor. Berkali-kali. Padahal aku sudah mengeceknya tadi malam. Dan pagi tadi. Dan sebelum berangkat.
“Dek, kamu bagian layout, kan?” suara panitia laki-laki menyela pikiranku.
Aku hanya mengangguk.
“Meja desain di sana, ya. Sama kak Nata. Dia udah mulai kerja dari tadi kayaknya.” Jelasnnya sambil menunjuk ke arah lorong.
“Iya, makasih” jawabku singkat.
Aku menggerakkan kaki. Berat. Ujung sepatu seperti menyeret semua kekhawatiran yang belum selesai diredam. Di ujung lorong, meja panjang sudah penuh dengan kabel, laptop, dan coretan sketch marker.
Di sana ada seseorang yang sedang duduk tenang. Rambutnya agak berantakan, mengenakan jaket denim yang hanya disampirkan di pundaknya. Celananya jeans pudar, sedikit sobek di lutut. Sepatunya sneakers abu-abu polos, sedikit aus di bagian tumit, tapi masih terlihat bersih. Dan dia sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Map kertas di depannya setengah terbuka, tumpang tindih dengan charger yang melilit sembarangan. Pulpen tanpa tutup tergeletak di dekatnya. Semuanya tampak... tidak terurus. Tidak simetris. Tidak sejajar. Tidak tenang. Rasanya... mengganggu.
Tatapannya cuma sekilas saat melihatku. Lalu kembali ke layar laptopnya. “Desain juga?” tanyanya datar.
Aku mengangguk lagi dan duduk dua kursi darinya. Menjaga jarak. Berdekatan dengan orang asing saja sudah cukup membuatku tidak nyaman. Apalagi ruangan itu rasanya terlalu penuh oleh kekacauan. Debu melayang di udara, benda-benda terserak tanpa pola. Tak ada simetri, tak ada ketepatan. Semuanya salah. Napasku mulai pendek. Telapak tanganku basah. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, seolah bisa menahan segalanya agar tidak pecah keluar. Aku hanya ingin terlihat tenang—meski dalam diriku, semuanya kacau.
Di kursiku, aku membuka folder pelan-pelan, memastikan tidak ada lembaran yang terlipat. Tapi suara-suara di sekitarku terlalu banyak. Terlalu dekat. Dan entah kenapa, justru laki-laki ini terasa paling senyap di antara semua kebisingan.
“Aku Nata,” katanya tiba-tiba. “Oh ya, kalau butuh colokan, tinggal bilang. Kabelnya agak kusut, sorry.” Lanjutnya dengan suara ringan, nyaris tak peduli.
Aku tidak menjawab. Tapi untuk sesaat, aku tidak merasa terganggu. Itu saja sudah cukup.
“Kamu bagian layout, kan?” tanyanya lagi, dengan mata yang sudah kembali menatap laptop. “Soalnya yang kamu bikin kemarin, bagus. Tapi ada typo kecil. Di sponsor keempat. ‘Universiats’.”
Kepalaku langsung panas. Typo? Tidak mungkin. Aku buru-buru membuka laptop, mencarinya. Mataku menyapu cepat setiap baris teks. Dan di sana... ada. Universiats. Bukan Universitas. Rasanya seperti dijatuhkan. Aku sudah mengecek itu lima kali. Mungkin lebih. Bagaimana bisa lolos? Bagaimana bisa salah?
“Tenang aja,” katanya, masih dengan nada santai. “Aku udah kasih tahu bagian cetak buat pending. Masih bisa dibenerin.”
Aku menatapnya. Ada sedikit lega di ujung kalimat. Tak tahu harus merasa marah, kesal atau malu.
Dia hanya tersenyum tipis. “Aku juga suka typo. Tapi bukan karena perfeksionis. Lebih ke... buru-buru.”
Aku tidak membalas. Tanganku masih gemetar sedikit.
“Tapi kamu lagi gak buru-buru kan?” lanjutnya. “Cuman mungkin kelewatan aja kali ya?”
Pertanyaannya tidak menghakimi. Tidak sinis. Tapi seperti... menelanjangiku tanpa menyentuh. Dan entah kenapa, suaranya tidak berisik seperti yang lain.
Aku membenarkan posisi duduk, pura-pura sibuk mengeklik file lain. Sekadar agar tanganku berhenti gemetar. Tapi mataku tetap menangkap sesekali tatapannya ke arahku. Bukan tatapan yang menyebalkan. Bukan seperti orang-orang yang menatap hanya untuk menilai.
Ia tidak melihat mataku yang sayu, wajahku yang pucat, atau tubuhku yang terlalu diam. Tatapannya lebih pelan dari itu. Seperti seseorang yang sedang mencoba membaca gelombang air—bukan permukaannya, tapi riak-riak kecil yang hampir tak terlihat. Dan itu justru membuatku ingin sembunyi lebih dalam.
“Sorry kalau tadi langsung komentar soal typo,” katanya lagi. Kali ini nadanya lebih pelan. “Aku tau kadang orang perfeksionis bisa panik banget soal hal kecil.”
Aku mengangguk. Pelan. Karena dia benar. Dan aku benci itu.
“Bukan perfeksionis,” jawabku akhirnya, nyaris berbisik. “Cuma... kalau ada yang salah, rasanya kayak... ga tenang.”
Dia tidak langsung menjawab. Tapi aku melihat dari ujung mataku, dia berhenti mengetik. Lalu berkata, “Nggak tenang... hmm.. ya. Paham.”
Dan hanya bebetapa kata itu yang entah kenapa terdengar lebih realistis dari semua kalimat motivasi yang pernah aku baca.
Kami bekerja dalam diam setelahnya. Tapi itu bukan diam yang canggung. Hanya... tenang. Suara klik mouse, desis AC, dan gumaman orang-orang di kejauhan seperti mengambang saja di latar belakang. Tidak lagi mengusik.
Beberapa kali aku melirik ke arahnya. Tangan kirinya bertumpu di dagu, tangan kanan menyapu pad sentuh laptop dengan gerakan lambat dan pasti. Fokus. Rileks. Matanya sedikit menyipit, bibirnya bergerak tipis seolah sedang menghitung sesuatu di kepala. Aku tidak tahu kenapa aku memperhatikan sampai sedetail itu. Tapi mungkin... itu terasa menenangkan.
Waktu berlalu lebih cepat dari dugaanku. Seorang panitia datang membawa roti dan air mineral, lalu menyodorkannya begitu saja. Nata mengambil satu dan meletakkannya di meja di sampingku—tanpa sepatah kata pun. Hanya begitu. Tapi mataku langsung panas. Bukan karena rotinya. Tapi karena aku tidak ingat kapan terakhir kali ada orang yang memberiku sesuatu tanpa bertanya, “Kamu lapar nggak?” atau “Mau yang ini atau itu?” Karena seringkali aku juga tidak tahu jawabannya. Dan hari ini, ternyata diam bisa jadi bentuk perhatian yang tidak membuatku merasa bersalah.
Aku mengangkat roti itu tanpa benar-benar merasakan apapun. Rasanya hambar, seperti kertas kosong yang basah. Tanganku gemetar, tapi bukan karena takut atau gugup. Aku merasa seperti sedang menonton diriku sendiri dari jauh, ada tindakan yang terjadi, tapi tanpa emosi yang ikut terlibat.
Nata kembali tenggelam di layar laptopnya. Dia terlihat tenang, bebas dari gangguan barang-barang yang berserakan—kabel melintang, kertas yang terlipat, gulungan poster tergeletak tanpa arah. Rasanya seperti berdiri di tengah kekacauan yang menusuk mataku. Aku juga ingin merasa begitu. Bebas. Tapi aku hanya bisa diam, terkurung dengan pikiranku sendiri.
Suara-suara di sekitar kami juga terasa berlalu tanpa makna. Aku bisa mendengar tawa, gumaman, dan gesekan kertas, tapi semuanya terdengar jauh, seperti suara yang datang dari ruang lain.
Aku membuka file desainku, mencoba fokus, tapi pikiranku kosong. Seperti layar putih yang tidak memantulkan apa pun. Sesekali aku mencuri pandang ke Nata. Dia bergerak dengan santai, tanpa beban. Aku merasakan jarak antara kami, jarak yang tak hanya soal ruang, tapi juga soal sesuatu yang lebih dalam, yang aku tidak tahu bagaimana mengisinya.
Kami kembali diam. Tapi bukan diam yang nyaman. Lebih ke... jeda. Seperti habis membentur tembok dalam pikiran masing-masing. Nata masih sibuk di laptopnya, jari-jarinya mengetik pelan-pelan sambil menggoyang kaki. Sementara aku hanya menatap layarku. Sudah terbuka, tapi tidak tahu harus mengerjakan bagian mana.
“Capek, ya?” tanyanya tiba-tiba, tanpa berpaling.
Aku menoleh. “Enggak,” jawabku cepat. Terlalu cepat.
Dia tertawa kecil. “Jawaban paling capek dari yang pernah aku dengar.”
Aku tidak tahu harus balas apa.
“Aku nggak maksa ngobrol kok,” katanya, lebih pelan. “Kadang diem juga oke.”
Aku mengangguk. Entah karena setuju, atau karena memang tidak punya energi untuk berkata lain. Beberapa menit berlalu. Lalu dia bersuara lagi. Kali ini nadanya lebih serius.
“Kamu udah pernah ikut event pameran kayak gini sebelumnya?”
Aku menggeleng pelan.
“Wah,” katanya sambil meregangkan punggung. “Berarti ini pertama kali kamu handle proyek gede, ya? Tingkat nasional gini... pressure-nya lumayan.”
Aku menatap layar, lalu mengangguk lagi.
“Dulu aku juga pas awal-awal sempat hampir kabur. Nggak bohong. Panik, gak tidur, maket semalaman dibongkar pas jam terakhir, laptop nge-hang... classic.”
Aku sempat menoleh sedikit. Nada bicaranya terlalu santai untuk cerita sefrustrasi itu.
“Tapi kamu tetap lanjut?” tanyaku akhirnya.
Dia mengangkat bahu. “Ya, mau gimana lagi. Waktu itu mikirnya, ‘kalau aku nyerah, makin berantakan’. Jadi ya... gas aja, meski ngaco.”
Aku membayangkan diriku diposisinya. Tapi rasanya tidak mungkin bisa kulewati, ruangan yang kacau saja sudah membuatku frustasi, apalagi itu tentang pekerjaan yang selalu kutuntut sempurna.
“Proyek kali ini kamu pegang layout doang?” tanyanya lagi.
“Iya... sama bantu publikasi. Tapi cuma bagian caption dan desain promo digital,” jawabku pelan.
“Berarti kita bakal sering bareng. Soalnya aku pegang visual identity-nya. Nanti kalau ada file baru, warna template, urutan sponsor, semua mesti sinkron.” Dia menoleh padaku sebentar. “Kamu teliti. Dan aku butuh itu.”
Aku tidak yakin apakah itu pujian. Tapi entah kenapa, kalimat itu memberikan udara segar bagiku. Bukan karena senang, hanya... tidak biasa dianggap berguna.
“Besok briefing lagi jam sembilan. Kamu datang?”
Aku mengangguk.
“Oke. Nanti aku forward rundown-nya. No spam, santai aja.”
Dia berdiri. Meraih botol minumnya, lalu menyampirkan tas ke bahu.
“Aku duluan, ya. Jangan lupa makan.” Lalu berjalan pergi begitu saja.
Saat ia berjalan melewati meja-meja lain, beberapa orang menyapanya. Ada yang menepuk pundaknya sambil bercanda, ada yang melempar tawa dari kejauhan. Dan dia membalas semuanya dengan mudah: anggukan, lelucon ringan, atau senyum yang terasa tulus. Seolah dia sudah kenal semua orang di ruangan ini.
Aku mengenali beberapa wajah itu—mahasiswa tingkat atas, panitia senior, anak-anak yang biasanya hanya kulihat dari jauh di ruang studio. Mereka menyapanya tanpa ragu, seperti teman lama. Ternyata nama "Nata" bukan cuma satu nama di daftar tim desain. Dia… seseorang yang dikenal. Yang mudah didekati. Yang hidup di frekuensi yang terasa jauh lebih ringan dari milikku. Dan aku? Aku bahkan masih menghindari pandangan orang-orang yang terlalu lama tertuju ke arahku.
Aku menatap punggungnya sampai hilang di ujung lorong. Kemudian menunduk lagi. Jari-jariku masih dingin, tapi tidak gemetar seperti tadi. Masih ada yang berat, masih ada yang mengambang. Tapi hari ini terasa... tidak terlalu menusuk.
Langit sudah mulai gelap ketika aku sampai di rumah. Aku membuka pintu kamar pelan, memastikan letaknya kembali seperti tadi pagi: setengah terbuka, tidak terlalu lebar. Cukup untuk cahaya masuk, tapi tidak membiarkan bayangan asing merayap terlalu dalam.
Meja belajar masih rapi. Kabel charger melingkar sempurna. Buku disusun berdasarkan ukuran. Laptop kembali kuposisikan tegak lurus dengan pinggiran meja. Folder biru diletakkan di sisi kanan, menyentuh tepi dengan presisi. Tapi ada yang terasa miring. Entah di mana.
Aku duduk, lalu berdiri lagi. Membetulkan bantal, merapikan lipatan sprei, menyalakan lampu meja, lalu mematikannya lagi. Tanganku terasa gatal untuk mengulang. Padahal tadi pagi semua ini sudah kubuat sempurna.
Kukira... hari ini akan mengubah sesuatu. Tapi ternyata tetap sama. Tubuhku mungkin sempat tenang. Tapi di dalam, ada yang tetap mengambang. Hampa. Datar. Seperti berjalan di air tanpa pernah merasa basah.
Aku membuka laptop. Mencoba mengecek file desain yang tadi sempat disentuh. Memastikan typo itu sudah diperbaiki. Padahal sudah dibilang, sudah dibereskan. Tapi aku harus lihat sendiri. Harus ulang. Harus yakin.
Satu jam kemudian, aku masih duduk di tempat yang sama. Hanya layar yang berubah, pindah dari file ke folder, lalu kembali lagi. Tidak benar-benar bekerja. Tidak benar-benar istirahat. Dan ketika akhirnya kupaksakan tidur, rasanya seperti menutup mata dalam ruangan kosong. Tanpa suara. Tanpa rasa. Besok katanya briefing lagi. Tapi malam ini... hanya diam yang menemaniku.
ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...
Comment on chapter PROLOG