Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Tubuhku berjalan, tapi rasanya seperti diseret. Hari-hari terus datang tanpa jeda, dan aku terlalu sibuk membuktikan bahwa aku masih bisa, padahal nyatanya, aku sudah nyaris runtuh.

**

Langit di luar sudah mulai memudar, dihiasi semburat jingga dan merah yang perlahan memudar seiring waktu. Aku merapikan alat gambar dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya, tiap sentuhan penghapus di atas kertas terasa begitu berat. Suara langkah kaki yang menjauh dan kursi-kursi yang diseret ke sudut-sudut ruangan semakin samar, meninggalkanku sendirian dengan tumpukan sketsa yang belum sepenuhnya selesai. Tanganku terasa kaku, seperti enggan menggenggam pensil lebih lama lagi, tapi otakku tak menyuruhnya berhenti begitu saja.

Beberapa menit kemudian, setelah memastikan semua masuk ke dalam map, aku berdiri. Langit di luar jendela sudah mulai keunguan. Aku melewati koridor studio dengan langkah berat, tabung gambar tersampir di bahu, dan ransel menggantung di satu sisi. Angin sore menyapa wajahku saat keluar dari gedung, membawa aroma semen dan dedaunan kering.

Di halte depan kampus, aku menunggu angkot seperti biasa. Kepalaku bersandar ke tiang rambu, mata terpejam sebentar. Begitu kendaraan datang, aku naik, duduk di sisi dekat jendela, menatap keluar tapi tak benar-benar melihat. Langit mulai gelap saat aku turun di ujung gang rumahku. Suasana kompleks perumahan tenang, hanya suara jangkrik dan anjing tetangga sesekali terdengar.

Derit pagar menyambut langkahku saat tiba di rumah. Aku mendorongnya pelan, berharap tak menimbulkan suara yang terlalu keras, tapi tetap saja bunyinya menggema samar ke dalam. Lampu teras sudah menyala. Dari balik jendela ruang tamu, kulihat bayangan cahaya televisi yang menyala tanpa ada yang benar-benar menontonnya.

“Nara pulang,” ucapku pelan, kebiasaan lama yang masih kubiasakan. Tak ada jawaban, tapi itu bukan hal aneh. Mama mungkin di dapur. Papa bisa saja di kamar kerja, atau malah tak ingin diganggu.

Aku membuka sepatu perlahan, gerakanku nyaris lambat seperti sedang menjaga keseimbangan di atas tali rapuh. Ransel di punggungku berat, tapi yang paling terasa berat justru bahu kiriku, yang sejak siang terasa tegang karena terlalu lama menunduk di meja gambar.

Langkahku menuju kamar seperti langkah seseorang yang tahu masih ada hal yang harus diselesaikan, tapi tubuhnya sudah memberontak. Begitu pintu kamar tertutup, aku duduk di lantai. Punggungku bersandar ke sisi ranjang yang sudah kurapikan sejak pagi. Aku menunduk, menggosok pelipis dengan gerakan lambat. Mataku panas. Leherku kaku. Punggungku pegal. Dan tanganku… masih terasa ingin menggambar sesuatu. Tapi kali ini tubuhku lebih keras kepala daripada pikiranku.

Kuberanikan diri membuka ritsleting tas, mengeluarkan map gambar setengah jalan, lalu membiarkannya tergeletak di meja. Kuberanjak setengah berdiri, ingin mengambil penggaris, tapi kepalaku berputar. Aku terdorong duduk kembali.

“Kenapa… lemas banget, sih…”

Tanganku menyentuh perut. Baru sadar, terakhir makan cuma sepotong roti isi saat istirahat studio. Itupun sambil terus menggambar. Aku berbaring sejenak di lantai. Pandanganku mengarah ke langit-langit temaram. Nafasku berat, tapi tak tergesa. Hanya… terlalu padat. Terlalu penuh.

Ponselku berbunyi sekali, pesan dari grup kelas. Aku melihatnya sekilas, lalu menjauhkan ponsel ke sisi ranjang, menjauhi jangkauan.

“Kepalaku rasanya mau pecah…” ucapku setengah meringis.

Tapi saat kudengar langkah kaki di luar kamar, aku buru-buru duduk, bersila, menarik map ke pangkuan. Pintu tidak terbuka. Tapi kalau pun terbuka, mereka takkan melihat betapa tanganku tadi sempat gemetar, atau betapa mataku mulai berkabut karena terlalu lelah. Yang mereka lihat hanya aku: si anak rajin, si anak pintar, si anak yang baik-baik saja.

Perutku kembali mengeluarkan bunyi pelan, seperti mengingatkan bahwa tubuhku belum benar-benar diberi jeda. Akhirnya aku bangkit perlahan, membuka pintu, dan menyelinap ke dapur. Lampu di sana sudah dimatikan, tapi di atas meja ada sepiring nasi dan telur dadar yang ditutup tudung saji. Masih hangat. Aku menghela napas pendek. Tersentuh, dengan sedikit perhatian Mama yang selama ini hanya tercurah kepada Bara.

Sambil duduk dan mulai makan perlahan, Mama muncul dari arah ruang tengah, membawa gelas kosong.

“Kamu baru makan?” tanya Mama pelan. Nadanya biasa saja.

“Iya, tadi buru-buru langsung ngerjain tugas. Lupa,” jawabku sambil tersenyum tipis.

Mama hanya mengangguk. Tak bertanya lebih jauh.

Setelah makan tiga suap, aku berhenti. Perutku menolak cepat-cepat, tapi kupaksa sedikit lagi. Setelah mencuci piring sendiri, aku membuka laci dapur dan mengambil satu kaplet paracetamol. Kuminum dengan segelas air putih yang dinginnya menyegarkan tenggorokanku.

Sebelum kembali ke kamar, aku sempat berkata singkat, “Makasih ya, Ma, udah nyiapin makanannya.”

Mama menoleh dan mengangguk pelan. “Iya, istirahat yang cukup, ya.”

“Iya…”

Tapi aku tahu, aku belum bisa benar-benar istirahat. Begitu pintu kamar tertutup kembali, aku menghela napas dalam, mematikan lampu utama, lalu duduk di depan meja belajar. Dan malam itu, aku kembali menyalakan lampu meja, membuka halaman kosong, dan menatapnya lama. Bukan karena aku tidak tahu harus menggambar apa. Tapi karena tubuhku ingin beristirahat, sementara pikiranku belum bisa diam.

Besok paginya, aku bangun dengan kepala berat. Bukan pusing, bukan sakit. Hanya... seperti ada beban yang menggantung di pelipis dan tengkuk. Aku duduk lama di pinggir ranjang, membiarkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk dari sela gorden.

Udara pagi menyentuh kulitku, tapi tak membangkitkan semangat apa pun. Aku membuka buku catatan yang tergeletak di meja, hanya untuk memastikan sticky note-nya masih rapi. Tidak ada yang berubah dari semalam. Tapi tetap saja, aku menyentuhnya lagi, merapikannya lagi.

Sarapan hanya sekadar rutinitas, tanpa rasa. Aku menjawab pertanyaan Mama dengan suara pelan, seadanya. Di luar, suara kendaraan dan ayam tetangga bertumpuk jadi latar yang tak kupedulikan. Yang penting, aku harus siap. Harus terlihat siap.

Kuliah pagi berjalan seperti biasa. Aku duduk di studio, menggambar sesuai instruksi dosen. Tanganku bergerak, tapi terasa lambat. Setiap goresan terasa seperti pekerjaan dua kali lipat dari biasanya. Otot jari-jariku kaku, dan punggung cepat pegal meski baru setengah jam duduk.

Saat istirahat, teman-temanku tertawa soal meme di grup kelas, tapi aku hanya tersenyum kecil. Bukan karena tak lucu, hanya karena rasanya tidak ada energi untuk ikut menanggapi.

“Nara, kamu nggak apa-apa?” Dita menoleh ke arahku, menyodorkan botol minumnya. “Dari tadi diem banget.”

Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Cuma kecapekan dikit.”

Dita mengernyit, tapi tak banyak bertanya lagi. Aku bersyukur, bukan karena ingin menyembunyikan apa-apa, tapi karena menjelaskan pun rasanya melelahkan.

Sepulang kuliah, aku sempat tertidur di dalam angkot. Saat turun di depan gang rumah, kakiku terasa lebih berat dari biasanya. Bahu kiriku nyeri seperti tertarik, dan aku harus dua kali menghela napas sebelum mendorong pintu pagar.

Di kamar, aku membuka jaket perlahan dan duduk di lantai sebentar. Bukan karena malas, tapi karena tubuhku seperti perlu jeda di setiap gerakan. Baru setelah beberapa menit, aku berdiri dan menaruh tas di dekat meja.

Malam itu, aku makan agak lambat. Bukan karena tak enak, hanya karena tubuhku terasa melambat semuanya—dari mengunyah sampai menelan. Mama sempat lewat dan bertanya singkat, “Kamu baik-baik aja?”

“Iya, Ma. Lelah aja.”

“Tidur lebih cepat, ya,” katanya.

Aku mengangguk.

Setelah makan, aku sempat kembali ke kamar. Kupikir akan langsung rebah, tapi map gambar di atas meja seolah memanggil. Aku membukanya setengah hati, lalu menatap lembar kosong di dalamnya. Tanganku mengangkat pensil, tapi baru menyentuh kertas, pergelangan terasa ngilu. Akhirnya aku hanya duduk di kursi. Punggungku menyandar, mata menatap halaman putih itu lama. Bukan karena aku kehilangan ide. Bukan juga karena tidak ingin mengerjakan. Tapi karena tubuhku benar-benar minta istirahat. Dan untuk malam ini, mungkin itu saja dulu.

Saat aku menutup map gambar dan bersiap naik ke ranjang, kudengar suara langkah di luar kamar. Pintu diketuk pelan.

“Nara?” suara Mama.

“Iya, Ma.”

Pintunya terbuka sedikit. Mama masuk, membawa segelas air putih dan sebutir obat.

“Kamu kelihatan lesu. Coba minum ini. Siapa tahu masuk angin.”

Aku tersenyum tipis. “Makasih, Ma.”

Mama duduk sebentar di pinggir ranjang. Tangannya mengusap punggungku pelan.

“Papa tadi bilang kamu harus kurangi begadang. Katanya, kamu makin kurus.”

Aku menahan tawa kecil. “Papa ngomong kayak gitu?”

Mama mengangguk, senyumnya samar. “Iya. Walau dia ngomongnya sambil marah-marah, sih. Tapi maksudnya tetap perhatian.”

Aku tak menjawab. Hanya menatap gelas di tanganku. Hangatnya pelan-pelan mengusir dingin di ujung jari.

Mama berdiri lagi, menepuk bahuku pelan. “Tidur ya, jangan diterusin kerjaannya malam-malam. Nanti tambah sakit.”

“Iya, Ma. Aku tidur habis ini.”

Setelah Mama keluar, aku duduk sebentar menatap pintu yang tertutup. Baru kusadari, ada bagian kecil dari diriku yang lega, karena ternyata masih ada yang memperhatikan, meski tidak tahu persis apa yang sedang terjadi.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku memilih tidak membuka pensil lagi. Tidak memaksakan diri untuk menggambar. Tidak menyalakan lampu meja. Aku hanya berbaring. Memeluk bantal kecil. Menunggu kantuk datang, meski mata masih terbuka. Mungkin tubuhku memang butuh istirahat. Mungkin aku hanya terlalu lelah.

Di luar kamar, rumah perlahan tenggelam dalam keheningan. Lampu-lampu dimatikan satu per satu, menyisakan cahaya temaram dari jendela depan. Suara jam dinding terdengar jelas, berdetak seperti mengingatkan waktu yang terus berjalan, entah menuju apa.

Aku memejamkan mata sambil menarik napas dalam. Tidak ada suara, tidak ada tugas, tidak ada gambar yang harus diselesaikan malam ini. Hanya tubuhku yang terasa berat, dan kepalaku yang seperti dipenuhi kapas lembut—tidak menyakitkan, tapi membuat segalanya terasa agak jauh. Mungkin ini cuma kelelahan biasa. Mungkin besok pagi semuanya akan lebih baik. Tapi malam ini, aku hanya ingin diam. Dan tidur.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1372      900     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
FaraDigma
1370      681     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Metafora Dunia Djemima
101      83     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Jalan Menuju Braga
478      362     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Layar Surya
1749      1012     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
262      169     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Je te Vois
812      540     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Wilted Flower
347      265     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Manusia Air Mata
1188      712     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...