Harum gersang tanah yang teraba air hujan menenangkan hati Dion. Apalagi ia sekarang ditemani sang kekasih, uuh... sebuah ketrentaman jiwa yang tiada tara. Hanya sebuah senyuman yang mampu menempel pada mukanya. Tiada gelisah apalagi tangis.
Sempurna. Sungguh sempurna kehidupan Dion. Ia anak orang kaya, kekasihnya cantik nan baik hati, teman-temannya banyak, dan ia pun anak yang pandai di kelas. Kurang apalagi coba? Inilah kehidupan yang didamba-dambakan setiap manusia. Namun, sudah menjadi suratan takdir kalau hidup di atas pasti akan merasakan bawah. Itu pun karena kelalaian manusia itu sendiri.
***
Hari ini adalah hari ulang tahun Dion. Ia sangat berharap dapat hadiah HP baru yang di iklan baru-baru ini. Yap bisa ditebak karena ia orang kaya, ia mendapat apa yang ia inginkan.
Tak perlu waktu lama untuk mempelajari HP itu, Dion telah mahir. Semua media sosial telah ia instal. Apa yang dulu ia tak tahu, kini telah menjarahi kehidupannya. Kini keasikan menyelimuti dirinya. Keasikan bermain kotak pintar itu.
“Dion, bantu Mama sini!”
“Bentar Ma, lagi sibuk.”
“Ya sudah kalau begitu.”
Di kamar tak terhiraukan lagi karena perhatian penghuninya telah terjun dalam dunia yang tak lagi nyata. Dion asik bermain dengan kotak pintarnya. Tak hirau waktu tak hirau pula keadaan kamarnya.
Viona datang dengan sungging senyumnya yang khas. Wajahnya berseri menawarkan keramahan.
“Tante.” ucap Viona saat masuk.
“Eh Viona. Apa kabar?”
“Baik Tan. Dion mana Tan?”
“Dari tadi pagi cuma di kamar. Coba kamu ajak dia keluar sana. Masa satu hari penuh di kamar terus.”
“Ok Tante.”
Viona naik menuju kamar Dion. Ditemukannya kamar yang kumuh nan bau. Baju berserakan dimana-mana. Lusuh tercampakkan.
“Kamu sejak kapan jorok kaya ini?” tanya Viona.
Dion hanya diam asik main HP barunya. Jarinya menari-nari tiada henti di atas layar HP.
“Di, ayo keluar!” ajak Viona.
“Lah gak mau. Ini lagi asik.”
Viona menggulung muka. Dilihatnya game yang dimainkan oleh kekasihnya. Dalam sekejap game itu telah merebut perhatian sang kekasih. Eh, namun sekarang bukan saatnya nyerah. Viona menarik dagu Dion meminta perhatian penuh.
“Ayo Di. Kata Mamamu, kamu di kamar terus seharian ini.”
Ketika layar HP tertulis game over pandangan Dion langsung berubah. Mukanya menyunggingkan senyuman manis.
“Ya udah lah. Ayo!”
“Bentar, Aku kabari teman-teman dulu.”
Seperti sebuah semut yang berkumpul. Hitam pekat tak sisakan pandangan untuk melihat tanah. Ditemukanlah keadaan seperti ini di cafe. Dimana setiap kalangan muda berkumpul berbagi keceriaan.
Ramai, namun sendu. Terjun sendiri dalam angan-angan menatap sang kekasih yang hanyut dalam dunia maya. Itulah Viona. Hanya wajahnya saja yang terlihat sumringah, tapi dalam hatinya kalut. Tak secercah kebahagiaan pun hinggap di sana.
“Vin, Aku ke toilet dulu ya!” pamit Dion.
Viona mengangguk.
"Kamu nggak apa-apa Vin, dikacangin kaya begini?” tanya Irfan.
“Ia tuh. Gara-gara HP canggihnya itu, sekarang Dion berubah. Dia malah enak tak-tek-tak-tek di layar HP-nya.” tambah yang lain.
“Aku nggak apa-apa kok. Mungkin ini hanya sebentar, nanti dia juga akan perhatian lagi kayak dulu.”
Tapi harapan itu hanya seperti angin lewat. Sangat menyejukkan di awal, setelah itu pergi entah kemana. Lambat laun, Dion makin asik sendiri. Entah di sekolah atau di rumah. Orang tuanya yang sibuk bekerja tak dapat mengontrolnya.
Hingga suatu hari, roda kehidupan itu benar-benar berjalan. Membawa Dion untuk meniti kembali dan menengok ke belakang. Nilai akademik Dion turun bagai meteor membuat Dion beralih ke bukunya. Tapi ketika ia membaca, HP canggih itu berdering seakan-akan berkata,
“Cek Aku! Cek Aku!”
Membuat Dion melihat HP dan ketika ia sadar akan bukunya kembali, jam sudah lelah menemani. Ia pun tidur.
***
Pagi yang indah nan ramai. Hari ini serentak di semua sekolah SMA sedang kedatangan wali murid untuk mengambil laporan hasil belajar anak mereka. Mungkin sudah suratan takdir. Di setiap waktu yang indah pasti ada saja yang bersedih.
Viona menghampiri Dion yang tengah duduk sendiri di gazebo sekolahnya. Ia masih saja menyendiri bertemankan HP canggihnya.
“Di, Aku mau ngomong sesuatu.”
“Hm, bisa nggak entar aja. Sedang asik nih.”
Viona menguatkan dirinya. Ia kumpulkan segenap keberaniannya. “Aku mau putus."
Pergerakan Dion terhenti. Wajahnya yang tadi sumringah, kini kelam. Tenggelam dalam kata Viona tadi. Dunia game yang tadi begitu asyik, kini dipandangnya sebagai pengganggu.
“Tapi... tapi kenapa Vin?”
“Kamu berubah. Kamu sekarang sudah gak peduli lagi sama Aku. Yang kamu pikirkan cuma HP, HP, HP. Aku cape Di.”
Viona pergi. Dion hendak menyusulnya, namun seseorang mencegahnya.
“Papa?!”
“Kamu harus ikut Papa sekarang.”
“Tapi Viona Pa!”
Sendu mulai menyapa beriringan dengan mendung yang menyelimuti bumi. Mendung itu membawa angin yang menerpa mencoba menyabarkan seseorang yang tengah terbakar amarahnya.
“Tahu gak Di, Papa pagi malam bekerja demi menyekolahkan kamu. Seharusnya kamu bisa membalasnya dengan prestasi yang lebih tinggi. Tapi kenapa prestasimu anjlok kaya gini?”
“Maaf Pa.”
“Tahu nggak, Papa membelikan HP itu bukan untuk sekedar mainan, tapi untuk mencari sumber belajar yang lebih luas."
Papa Dion mendebrak pintu dan beranjak pergi ke kantor. Sementara Mama Dion membelai halus rambut anaknya mencoba mengusir ketegangan yang barusan terjadi.
Amarah yang masih membara dan kebingungan karena melihat nilai anaknya anjlok membuat Papa Dion tak fokus berkendara. Naas ada sepeda motor yang menyebrang tanpa memandang kiri dan kanan membuat Papa Dion kaget dan membanting setirnya. Mobilnya oleng dan menabrak sebuah warung milik warga.
***
Titik-titik air mata terus menghiasi mata Dion yang tengah menatap Papa. Beliau terkapar tak sadarkan diri dengan perban membalut sebagian kepalanya. Mama Dion menghampiri lalu menyentuh pundaknya halus.
“Sudahlah Di, Papa akan baik-baik saja. Kamu istirahat dulu dari tadi siang belum makan kan?”
Dion menggeleng. Ia mengklaim bahwa semua kejadian ini mutlak kesalahannya.
Sempurna lah sekarang kesedihan yang merangkul hatinya. Kini tiada teman yang menghibur, tiada Viona yang selalu membuatnya bangkit, dan sekarang pangkat juara kelas telah direnggut darinya. Ia sadar semua ini terjadi, karena perbuatannya. Maka ia sediri yang harus menyelesaikannya.
Sesungging senyum menghampiri wajah Dion yang telah kusut. Mungkin ini satu-satunya jalan untuk membuat semuanya kembali utuh. Menyatukan semuanya yang telah pupus nan tercabik hanya gara-gara kotak pintar. Kali ini Dion ditunjuk oleh sekolah untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja bersama Viona dan Irfan teman baiknya yang tercampak.
Sudah dapat ditebak expresi Viona dan Irfan adalah sendu. Tak nampak secercah sinar pun hinggap di expresi itu ketika mereka bertemu.
“Fan, Vin tolong tunggu Aku! Aku mau ngomong sesuatu.”
Irfan dan Viona menghentikan langkah kakinya. Mereka malas melempar pandangan ke Dion.
“Please Vin, Fan maafkan Aku. Aku memang bodoh mencampakan kebersamaan kita yang sungguh berarati. Jujur Aku merindukan semua kebersamaan kita. Tolong maafkan Aku!” pinta Dion.
Irfan tersenyum, ia sadar kesalahan itu bukanah kesalahan besar. Dengan lapang dada, ia uluran tangan memaafkan kesalahan temannya ini. Tapi tidak bagi Viona. Dia lah diantara semua teman Dion yang paling tersakiti. Ia kembali menghadapkan badannya membelakangi Dion. Hatinya kian berat untuk dapat memaafkan sang mantan. Semua keacuhan itu, keangkuhan itu, kesendirian itu, kembali menggelayut di otaknya. Air matanya menitik lalu ia lari.
“Vin!” teiak Irfan.
“Biar Aku saja yang mengejarnya Fan.”
Dion langsung mengejar Viona.
“Vin, tunggu Vin!”
Viona berhenti.
“Aku tahu kamu sulit untuk memaafkanku, tapi untuk kali ini saja lupakan apa yang sudah terjadi. Demi nama baik sekolah kita Vin dan demi kesuksesan kita bersama dalam lomba kali ini.”
***
Dion memang mentari sekarang yang menerangi jalan timnya untuk melakukan riset karya ilmiah karena mereka mengambil karya ilmiah sains. Setelah melakukan percobaan pada kulit nangka yang mereka jadikan briket, mereka menulis karya ilmiah tersebut sesuai kaidah penulisannya.
BAB 1 terdiri dari judul, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran. Setelah itu selesai masuk ke BAB 2 adalah isi yang mengutarakan tentang landasan teori, metodologi, serta pembahasan hasil. Dan yang terakhir BAB 3 sebagai penutup.
Memang Dion sebagai mentari, namun tak pernah lagi menghangati hati Viona. Mentari itu kian terang ketika naskah mereka lolos sehingga mereka diundang untuk presentasi ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tapi mentari itu tetap tak bisa menggapai hati Viona lagi. Tak bisa untuk mencairkan es yang ada di sana.
Saat perjalanan ke Yogya, Dion memberanikan diri menghampiri Viona.
“Kamu masih marah sama Aku Vin?”
“Sudah enggak kok Di. Aku sudah memaafkanmu.”
Dion dapat bernapas lega kali ini. Semua permasalahannya satu per satu dapat ditumbangkan. Papanya telah sembuh dan dapat tersenyum kembali melihat anaknya maju ke perlombaan tingkat nasional. Viona telah memafkannya begitu juga dengan semua teman-temannya. Sekarang hanya tinggal dua, memenangkan perlombaan ini dan mengajak Viona balikan.
“Kini telah ditemukan bermacam-macam bahan bakar alternatif seperti biogas dan briket. Briket sendiri adalah bahan bakar ramah lingkungan pengganti batu bara. Briket kami ini terbuat dari kulit nangka. Yang mana selain mengurangi limbah kulit tersebut, kita juga dapat membuatnya sebagai bahan bakar alternatif.”
Dion berpresentasi dengan mantap. HP canggih itu kali ini ia benar-benar menggunakannya sebagai pembuka wawasan bukan sekedar main game dan medsos. Sementara Dion berpresentasi, Viona dan Irfan praktik cara membuat dan menggunkannya.
Setelah mentari mulai bergerak ke arah barat, mereka selesai. Expresi puas menyelimuti tim Dion.
Sekarang mereka hanya tinggal menunggu pengumuman. Sembari menunggu itu, inilah kesempatan Dion mengutarakan isi hatinya kepada Viona.
“Vin, Aku mau balikan sama kamu.”
Viona menyunggingkan senyumnya “Maaf Di, kamu harus belajar melupakanku. Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi.”
“Tapi Vin,..”
“Aku sudah berusaha untuk bersabar saat itu. Namun sekarang Aku tak bisa menerimamu lagi.”
“Beri Aku kesempatan lagi Vin.”
“Berkali-kali Di, Aku beri kesempatan, namun dulu kau selalu fokus dengan HP.”
Irfan dan guru pendamping menghampiri Dion. Mereka mengabarkan bahwa tim mereka mendapat juara tiga. Senang memang, tapi kesenduan tetap ada di hati Dion. Dion sudah benar-benar jera. Tak akan lagi menghiaraukan perhatian dari orang-orang di sekitarnya.