Pagi datang dengan cahaya yang lembut menyusup ke sela tirai jendela. Tara menggeliat perlahan di atas ranjang, tubuhnya masih terasa sedikit pegal setelah beberapa hari ini ia cukup disibukan oleh pekerjaannya. Tapi begitu Tara ingat hari ini adalah hari pertamanya menghadiri OSPEK dari calon kampusnya, semangatnya langsung bangkit.
Ia bangkit dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk ke kamar mandi dengan wajah setengah mengantuk, setengah bersemangat. Setelah bersih dan segar, Tara mengenakan kemeja putih polos dan celana kain hitam, sesuai arahan dari email panitia kampus. Rambutnya ia kepang satu bermodel kepangan daun kebelakang, sederhana tapi tetap rapi.
Sambil menyantap roti dan telur orak-arik buatan sang Mamah, Tara memandangi pesan undangan yang kembali ia buka di ponsel. OSPEK untuk mahasiswi kelas mingguan, kelas yang diadakan setiap Sabtu dan Minggu, khusus untuk mereka yang bekerja atau memiliki jadwal fleksibel. Tara merasa ini langkah besar, dan ia ingin menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Setelah berpamitan, Tara berangkat menggunakan ojek online. Sepanjang perjalanan, ia menyibukkan diri dengan membaca ulang brosur kampus dan mencoba mengingat nama-nama dosen yang disebut. Ia ingin tampil siap, meski dalam hatinya ada sedikit rasa gugup.
Begitu tiba di kampus, suasana sudah ramai. Aula tengah dipenuhi oleh ratusan calon mahasiswa dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Ada yang datang dengan seragam kerja, ada juga yang seperti Tara, berpenampilan kasual dan rapi.
Tara melangkah masuk dengan sedikit ragu, namun tak lama seseorang menepuk bahunya dari samping.
"Hai, kamu juga kelas mingguan?"
Tara menoleh. Seorang perempuan berkacamata dengan jilbab berwarna sage green menyapanya dengan ramah.
"Iya," jawab Tara sambil tersenyum.
"Aku Nisa," ujarnya memperkenalkan diri.
"Tara."
Tak lama, dua orang lagi bergabung. Seorang pria bertubuh kurus tinggi bernama Aldi, dan seorang perempuan cerewet tapi lucu bernama Dita. Mereka saling memperkenalkan diri, membicarakan alasan memilih kelas mingguan, dan ternyata hampir semuanya sambil bekerja.
Dalam hitungan menit, Tara sudah merasa seperti menemukan tempat barunya. Ada yang bekerja sebagai barista, ada yang freelance desain, bahkan ada juga yang ibu rumah tangga tapi ingin kembali kuliah.
Selama OSPEK, mereka diajak berkeliling kampus, diberi pengarahan akademik, dan mengikuti beberapa sesi pengenalan. Tara sesekali mencatat poin penting, sesekali tertawa karena celotehan Dita yang tidak ada habisnya.
Ketika jam makan siang tiba, keempatnya duduk bersama di kantin kecil kampus, berbagi cerita sambil menyantap nasi kotak yang dibagikan panitia. Tara merasa hangat—meski ini baru hari pertama, tapi suasananya sudah begitu akrab.
Hari itu ditutup dengan foto bersama dan sesi berbagi harapan. Tara menuliskan satu kalimat kecil di secarik kertas yang diminta dikumpulkan:
"Semoga ini jadi awal yang baik, untuk belajar, bertumbuh, dan menemukan versi terbaik dari diriku."
Namun saat ia menyerahkan kertas itu, matanya sempat melirik tulisan dari mahasiswa lain di barisan sebelah. Ada yang menulis, "Akhirnya kuliah di jurusan impian: Sastra!" dan yang lain, "Bismillah jadi penulis profesional dari jurusan Sastra."
Tara menelan ludah. Sejenak ia terdiam.
Ia memutar pandangannya ke sekeliling aula. Semua wajah tampak bersemangat, begitu yakin berada di tempat yang mereka pilih. Dan di sanalah ia berdiri, seorang mahasiswi Manajemen, jurusan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bukan karena ia tak suka. Tapi bukan itu yang membuat hatinya menyala.
Tara menarik napas pelan. Ada yang terasa seperti kosong dalam dadanya, seperti ia berdiri di tempat yang seharusnya bukan miliknya. Ia memperhatikan sekali lagi mahasiswa dan mahasiswi sastra berkumpul di gedung sebelah.
Kenapa aku di sini? Kenapa bukan ikut mereka ke gedung Sastra? Kenapa bukan belajar tentang puisi, novel, dan kata-kata?
Ia kembali duduk bersama teman-temannya. Nisa sedang bercerita tentang pengalaman kerjanya di kantor pemasaran. Aldi sedang membahas teori bisnis yang pernah ia baca. Dita malah sibuk membagikan camilan. Tara tersenyum, ikut tertawa, tapi hatinya menggantung.
Tiba-tiba bayangan tulisan indah yang semalam ia kerjakan terlintas di pikirannya. Karakter-karakter di novel itu terasa lebih nyata daripada grafik SWOT dan laporan keuangan yang akan ia pelajari nanti.
Namun di tengah kegundahan itu, ia juga ingat satu hal: ia bisa tetap menulis. Ia masih bisa menciptakan dunia imajinasinya sendiri, walau ia sedang berjalan di jalur yang tak sepenuhnya ia pilih.
Ia menghembuskan napas pelan, lalu berkata dalam hati:
"Mungkin jalan menuju mimpi itu enggak selalu lurus. Tapi kalau aku terus jalan, siapa tahu bisa sampai juga."
***
Langit mulai berubah menjadi abu, dan senja menggantung malu-malu di antara gedung-gedung tinggi. Tara berjalan menyusuri trotoar, melangkah pelan sambil menenteng totebag berisi modul OSPEK. Kepalanya terasa sedikit berat, mungkin karena seharian beradaptasi dengan suasana baru.
Ia menatap ke arah ujung jalan, berharap angkot jurusan rumahnya segera datang.
Namun tiba-tiba, langkahnya goyah.
Napasnya mendadak sesak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Pandangannya berkunang. Dunia seolah bergerak lebih cepat dari biasanya. Tangannya bergetar, kakinya melemas. Ia mencari tempat duduk atau pegangan, tapi trotoar itu kosong.
Serangan panik itu datang begitu saja. Membekuknya di tengah keramaian jalan.
"Tolong, jangan di sini…," batinnya lirih.
Namun ia teringat sesuatu. Artikel yang pernah ia baca, sebuah pemahaman tentang anxiety dan panic attack di tengah malam saat tak bisa tidur. Tentang teknik sederhana bernama grounding. Ia mencoba menerapkannya, perlahan.
Yang pertama. Lihat: Ia membuka mata, meski buram, dan menyebut lima benda yang bisa ia lihat dalam hati, Tiang listrik di pinggir jalan, becak kosong yang terparkir, payung biru di tangan ibu-ibu, lampu toko kelontong, dan daun kering di dekat kakinya.
Lalu yang kedua. Rasa: Ia menyentuh permukaan tasnya—tebal dan sedikit kasar. Ia meraba celana jeans yang ia kenakan, kaku dan agak hangat karena matahari sore. Ia menekan jemari ke permukaan trotoar yang kasar dan dingin. Ia merasa ujung kuku yang sedikit menggigit telapak tangan saat menggenggam terlalu erat.
Lalu ia juga masih mengingat poin ketiga. Dengar: Ia mulai fokus mendengar: suara klakson bersahutan, suara penjual minum memanggil pembeli, deru mesin mobil, langkah sepatu orang yang melintas, dan suara anak kecil menangis dari kejauhan.
Dan poin terakhir. Hirup: Tara membuka resleting kecil di tasnya, mengeluarkan sebotol kecil aromaterapi beraroma lavender yang biasa ia bawa. Ia membuka tutupnya, menghirup dalam-dalam… sekali, dua kali, tiga kali.
Perlahan, detaknya melambat. Napasnya mulai teratur kembali.
Panik itu surut. Ia tak menang, tapi juga tak kalah.
Tara menghapus sudut matanya yang basah, berdiri kembali, dan menatap ke jalanan yang mulai terang oleh lampu-lampu kendaraan.
Angkotnya datang. Ia naik dengan langkah lebih tenang dari sebelumnya.
Hari ini, ia berhasil melewati satu badai kecil yang tak terlihat siapa pun tapi baginya, artinya sangat besar.
***
Di dalam angkot yang bergoyang pelan, Tara duduk di sudut dekat jendela. Sisa rasa panik tadi masih membekas, seperti riak kecil di permukaan air yang baru saja dilempar batu. Tapi setidaknya kini ia bisa bernapas lebih lega.
Di luar jendela, malam mulai turun perlahan. Cahaya lampu jalan memantul samar di kaca, membentuk bayangan wajahnya sendiri yang lelah namun tetap mencoba kuat.
Tara menyandarkan kepala di kaca, dan membiarkan pikirannya melayang. Tentang hari ini. Tentang rasa gugup, perkenalan baru, tentang kenyataan bahwa ia bukan berada di kelas sastra seperti yang selalu ia impikan… dan tentang dirinya sendiri yang masih terus belajar menerima.
Ia sadar, dunia ini tidak selalu memberi jalan yang lurus dan terang. Kadang berbelok tajam, kadang gelap sebentar. Tapi tidak apa-apa, pikir Tara. Karena toh, ia masih bisa melangkah, meski tertatih. Masih bisa bertahan, meski sesak.
Dan hari ini, ia belajar satu hal penting: bahwa rasa takut tidak akan membunuhmu, selama kamu tidak menyerah melawannya.
Angkot berhenti. Tara turun perlahan, membayar ongkos, dan melangkah pulang dengan kaki yang mulai terasa lebih ringan. Malam ini, langit tampak lebih jujur. Gelap, tapi tidak menakutkan. Seperti dirinya.
"Kadang yang paling sunyi dan mencekam bukanlah tempat menyeramkan…tapi pertempuran di kepala sendiri. Dan aku belajar, bahwa menyelamatkan diri, adalah bentuk cinta yang paling diam-diam namun berarti."
Tara mengetik kalimat-kalimat itu di aplikasi twitternya yang di gembok.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik