Aku tak tahu pasti,
sejak kapan dadaku menjadi rumah bagi gelombang yang tak tenang.
Kecemasan datang seperti angin malam,
diam-diam, tapi dinginnya merayap sampai tulang.
Kadang ia berbisik, kadang berteriak,
mengganggu tidurku, merusak pagi yang seharusnya biasa.
Dan aku hanya bisa duduk, menggenggam lututku sendiri,
seolah tubuhku satu-satunya tempat aman dari dunia yang terlalu ramai.
Aku belum selesai bertarung,
belum benar-benar menang,
tapi aku masih di sini, masih bernapas, berjalan, meraba-raba arah.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
***
Selama berbulan-bulan Tara bekerja di sebuah rumah makan bernama Resto Cipta Rasa. Ia menyisihkan rupiah demi rupiah dari upah yang tak seberapa, menabung diam-diam demi satu tujuan yang telah ia peluk erat sejak kelulusan: kuliah. Bukan sekadar kuliah demi gelar atau gengsi, tetapi kuliah di jurusan yang membuat hatinya berdetak, jurusan Sastra dan Bahasa.
Ia telah mencatat semua. Biaya pendaftaran, harga almamater, formulir ujian, hingga rincian tagihan per semester. Bahkan ia sudah memilih kampus dengan jadwal kelas mingguan, di kampus yang terletak di Jakarta dan tidak jauh dari rumah, tempat yang cukup dekat dengan mimpinya.
Ketika tabungannya dirasa cukup, Tara pun duduk bersama kedua orang tuanya. Dengan suara bergetar namun penuh tekad, ia berkata,
"Mah, Yah… aku mau daftar kuliah bulan ini."
Mamah menoleh. Ayah mengangkat wajah dari layar ponsel. Mereka saling bertukar pandang sebelum Mamah berkata lembut,
"Boleh, Ra… Tapi pikirin lagi, ya. Yakin dulu. Jangan terburu-buru."
Tara tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mengintip di balik keberaniannya.
"Aku udah yakin, Mah. Aku udah pikirin ini lama."
Ayah mengangguk pelan. Tapi ketika Tara menyebut nama jurusannya, raut wajah itu berubah. Terlihat ragu. Terlihat kecewa.
"Sastra?" tanya Ayah, nyaris seperti mengulang kata asing.
"Iya, jurusan Sastra dan Bahasa. Aku suka nulis, Yah. Sejak lulus aku makin sering nulis. Makanya aku pengin kuliah di jurusan itu."
Ayah tertawa pendek, namun bukan tawa yang hangat. Lebih mirip garis tipis antara sinis dan bingung.
"Buat apa masuk sastra? Kamu kerja di kantor. Cari jurusan yang bisa kepake buat kerja. Yang bisa bantu kamu naik jabatan."
Tara masih berusaha tenang.
"Tapi ini keinginan aku. Ini tabungan aku juga. Aku udah siapin semua dari hasil kerja aku."
"Kamu kalau dibilangin jangan susah," tukas Ayah cepat.
Tara menatap Mamah, berharap ada suara kedua yang akan menjadi jembatan. Tapi Mamah diam. Hanya menatap lantai, seperti takut salah melangkah dalam medan perang yang tak ingin ia masuki.
Tara menahan napas, lalu berkata lirih,
"Aku mau Ayah tahu… kalau lewat tulisan, aku bisa jadi diri aku sendiri. Sama seperti Ayah cinta lukisan-lukisan Ayah, aku juga cinta sama tulisan-tulisan aku."
Ayah menggeleng. "Sastra? Emang jurusan sastra dibutuhin perusahaan? Kamu gak mikir masa depan? Gak mau naik jabatan?"
Dan di titik itu, suara Tara nyaris terpecah. Ia berkata pelan, nyaris seperti rintik pertama dari hujan yang menahan diri.
"Aku sendirian, Yah. Aku nangis di kantor, ketakutan… Ayah dan Mamah gak tahu. Tulisan-tulisan aku yang nolong aku bertahan."
Namun kata-kata itu tak meluluhkan hati Ayah. Justru membuatnya semakin keras.
"Itu karena pikiran kamu jelek. Kamu mikir yang aneh-aneh terus, makanya bisa kena serangan panik begitu."
Tara mengatup bibir. Dadanya sesak. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tak mau lagi diam. Ia menatap Ayah dengan mata berkaca-kaca.
"Pokoknya aku mau masuk Sastra!"
Lalu ia berdiri, meninggalkan ruang tamu seperti orang yang melarikan diri dari badai, menuju kamar yang menjadi tempatnya satu-satunya berlindung. Tangisnya pecah di sana. Tak tertahan. Seperti air bah yang selama ini tertahan bendungan harapan.
Dalam sunyi kamar itu, Tara mulai memahami sesuatu.
Dulu ia bertanya-tanya, kenapa jalan Kak Dira begitu mulus? Kenapa Sekar begitu mudah menggenggam mimpinya?
Dan, sekarang Tara tahu jawabannya.
Karena mereka punya jalan yang diratakan cinta.
Karena mereka membawa pilihan yang dipeluk hangat tanpa perlu perdebatan.
Hanya karena pancake ala-ala buatannya enak, Sekar langsung dapat restu dan dukungan untuk jadi chef.
Lalu bagaimana dengannya?
Ia juga punya mimpi. Ia juga punya cinta pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan logika.
Tapi kenapa justru mimpinya tak mendapat dukungan sama sekali?
***
Hari itu, kantor kembali lengang. Tak ada canda dari rekan kerja, tak ada suara panggilan telepon yang bersahutan. Hanya Tara, sendirian, duduk di balik meja dengan suara jam dinding yang berdominan. Kesunyian itu tak terasa nyaman, tapi setidaknya, tak ada yang memperhatikan getar pelan di tangannya.
Di layar laptop kantor, terbuka laman pendaftaran kuliah yang sejak lama ia simpan di bookmark. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat ketika kursor mulai mengisi formulir: Nama lengkap. Tanggal lahir. Alamat. Nomor telepon.
Semua berjalan otomatis, seperti tangan yang sudah terbiasa mengikuti perintah hati.
Namun, ketika sampai pada bagian pilihan jurusan, jarinya berhenti.
Satu kolom itu saja, kecil, tapi terasa berat. Ada sederet jurusan yang bisa dipilih. Bahasa dan Sastra Indonesia tertulis manis di sana, seolah menantinya dengan tangan terbuka. Tapi bayangan malam kemarin muncul begitu saja. Suara ayah yang meninggi, air matanya sendiri yang tertahan di pelupuk, dan mamah yang hanya diam, tak berpihak.
Tangannya mendadak kaku.
Ia ingin mencentang Sastra, namun ragu menusuknya dari berbagai arah.
"Ayah ingin aku memilih jurusan yang bisa dibawa kerja," batinnya pelan, getir.
Dan dengan satu tarikan napas yang terasa lebih seperti menahan sesak, Tara menggerakkan kursornya... dan mencentang kotak di samping tulisan 'Manajemen'.
Klik.
Sederhana. Tapi jiwanya terasa sedikit lebih jauh dari dirinya sendiri.
Tara menatap layar sejenak. Sunyi. Seperti ada bagian kecil dari dirinya yang terputus dan tak sempat ia selamatkan.
Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menyakinkan dirinya, "Menulis bisa aku pelajari sendiri. Dari buku, dari internet, dari hidup yang terus menumpuk cerita, dan dari pengalaman-pengalaman selama aku menulis."
Namun tetap saja, di kedalaman hatinya yang paling sunyi, ia tahu bahwa ia baru saja sekali lagi mengalah terhadap dunia. Dan itu bukan kemenangan.
Lagi dan lagi, Tara harus mengorbankan satu sisi dari dirinya sendiri. Bahkan untuk sekadar menuliskan apa yang paling ia cintai dalam formulir pendaftaran.
Klik.
Tanda formulis pendaftaran sudah terkirim belum lama terpasang, tapi efeknya begitu cepat merambat ke dada. Sebuah gelombang asing mengalir dari perutnya, naik perlahan ke dada lalu menjalar ke kepala. Panas. Sesak. Kacau.
Tara memejamkan mata sejenak, berharap rasa itu hilang. Tapi tubuhnya tak bisa bohong. Kakinya mulai bergerak-gerak cepat tanpa ia sadari, resah yang menguasai. Jantungnya berdegup tak beraturan, seperti mencoba melarikan diri dari sangkar yang ia kunci sendiri.
Sunyi begitu mencolok di antara meja-meja kosong. Dan entah kenapa, justru kesendirian itu terasa lebih menakutkan dibandingkan keramaian. Tak ada yang bisa ia panggil, tak ada yang bisa menenangkannya.
Tara berdiri dengan tubuh gemetar. Ia berjalan bolak-balik, mondar-mandir di ruang sempit itu sambil mencengkeram tangannya sendiri. Langkahnya tanpa arah, hanya mengikuti dorongan naluriah untuk bertahan dan untuk menunda runtuh.
Sampai akhirnya, ia berhenti di meja.
Matanya liar, mencari sesuatu. Bukan pertolongan, tapi mungkin… pelarian.
Dan saat itulah matanya tertumbuk pada liptint mungil yang ia bawa dari rumah. Tara mengingatnya jelas kalau liptint itu dibeli dari Mbak Susi kemarin, yang menjual koleksi kecilnya dari Guardian. Warna merah yang lembut, yang tadi pagi ia poles ke bibir sambil tersenyum kecil di depan kaca. Sebuah sentuhan kecil yang membuatnya merasa cantik… dan utuh.
Tapi kali ini, benda mungil itu tak lagi sekadar kosmetik.
Tara mengambil liptint itu dengan tangan gemetar, membuka tutupnya dengan buru-buru, lalu menumpahkannya begitu saja ke selembar kertas HVS yang tergeletak di meja. Cairan merah muda itu menetes seperti darah, membentuk noda-noda tak teratur.
Dengan ujung jarinya, Tara mulai menggores, menggambar, menciptakan. Tangannya penuh cairan merah, tapi ia tak peduli. Jemarinya menari liar, kacau, emosional. Di atas kertas itu, perlahan muncul sosok yang membungkuk di sudut tembok, memegang kepala, tubuhnya kecil dan terlipat, seperti ingin lenyap dari dunia.
Itu dirinya.
Tara menangis sambil terus menggores. Isakannya lirih, seperti suara dari hati yang tak pernah diberi ruang untuk bicara. Setiap guratan merah adalah jeritan yang tak terdengar. Setiap tetesan adalah pengakuan bahwa ia sedang terluka, sedang tak baik-baik saja.
Liptint itu rusak, hancur tak bisa dipakai lagi. Tapi untuk pertama kalinya, Tara merasa bisa sedikit bernapas dan keluar dari jebakan panik dengan caranya sendiri, tanpa bantuan orang, tanpa suara kehadiran seseorang yang menurutnya bisa meredakan. Tapi, dengan caranya sendiri.
Bukan karena ia sembuh, tapi karena ia akhirnya menumpahkan luka itu ke tempat yang bisa dimengerti oleh matanya sendiri.
Bukan kata-kata. Bukan pelukan. Bukan obat.
Hanya warna. Hanya coretan.
Dan air mata.
Tara menatap gambar itu, telapak tangannya yang penuh warna merah mengotori kertas dan dirinya. Itu adalah ekspresi yang tak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya tinta, hanya goresan, hanya imajinasi yang bisa mengartikannya.
Di antara isakannya yang mereda, Tara terdiam beberapa saat. Ia memandangi sosok dalam gambar yang semakin jelas, sosok itu seperti dirinya sendiri, kecil dan rapuh, terhimpit oleh kecemasan yang terus mendalam. Ada perasaan lega yang mulai mengalir, meskipun sedikit. Setidaknya, ia sudah menyampaikan sesuatu yang tak bisa ia katakan pada siapa pun.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tara mendengar suara pintu terbuka dari luar. Ia terkejut, reflek menutup gambar itu dengan cepat, seolah takut seseorang akan melihat kerentanannya yang tercurah begitu saja.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat, dan tak lama, Mbak Susi muncul di pintu ruangan dengan senyum ramah seperti biasa. Tara menarik napas dalam, berusaha mengatur dirinya kembali.
"Eh, Tara, kerja keras ya?" Mbak Susi menyapa sambil membawa segelas kopi, mungkin yang ia beli sebelum sampai di sini.
Tara hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan kekalutan di wajahnya. Ia mencoba tersenyum, walau rasanya senyum itu terasa hampa. "Iya, Mbak. Sedang banyak kerjaan, sih."
Mbak Susi duduk di kursi depan meja Tara, menatapnya sejenak. Sepertinya, Mbak Susi menangkap sesuatu yang tak beres, tapi ia memilih diam sejenak. Namun, Mbak Susi tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Tara, kamu baik-baik aja, kan? Aku lihat kamu kayak lagi… ada yang dipikirin."
Tara terdiam. Bibirnya terkatup rapat, menahan semua kata yang ingin keluar. Bagaimana menjelaskan rasa yang menyesakkan ini? Bagaimana menceritakan bahwa bahkan di dunia yang penuh orang, dia tetap merasa sendiri?
"Aku cuma… cuma merasa cemas aja, Mbak." Tara akhirnya mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, hampir terdengar seperti bisikan.
Mbak Susi mengangguk, seperti mengerti lebih banyak dari yang Tara ungkapkan. "Kamu tahu, kadang kita memang harus belajar menghadapi kecemasan itu, tapi… jangan terlalu keras pada diri sendiri. Nggak semua hal harus diselesaikan sekaligus."
Tara menunduk, meremas tangan yang masih berlumuran liptint merah. "Aku… kadang merasa kayak nggak bisa jadi diri sendiri. Bahkan untuk milih jurusan kuliah, aku harus mengorbankan apa yang aku mau demi apa yang mereka inginkan."
Mbak Susi menatapnya lebih dalam. "Pernah nggak, kamu coba untuk benar-benar mendengarkan diri sendiri? Apa yang kamu butuhkan, apa yang kamu mau… bukan hanya apa yang orang lain bilang."
Tara terdiam lama. Kata-kata itu terasa menusuk ke dalam hatinya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Selama ini, dia selalu berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, memenuhi harapan ayah dan ibunya. Tapi, apakah dia tahu apa yang dia ingin capai untuk dirinya sendiri?
"Mungkin aku belum tahu sepenuhnya, Mbak," jawab Tara dengan suara yang sedikit pecah. "Tapi… aku ingin mencoba."
Mbak Susi memberikan senyuman yang hangat. "Itu langkah pertama yang benar, Tara. Mulai dari diri sendiri, dan jangan takut untuk mendengarkan apa kata hati kamu."
Tara hanya mengangguk pelan, perasaan berat di dadanya sedikit lebih ringan. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa sedikit tenang. Ia sadar, bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatunya. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan untuk menemukan dirinya.
Dengan penuh kesadaran, Tara merasa ia harus melangkah ke depan, tidak lagi hanya mengikuti arus, tapi berusaha untuk menjadi dirinya sendiri.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik