Hari semakin sore. Setelah bel terakhir berbunyi, aku tetap duduk di bangkuku. Anak-anak lain sudah mulai sibuk membereskan buku, beberapa bahkan telah keluar kelas, tertawa sambil bercanda, melangkah ringan menuju gerbang.
Tapi aku belum juga bergerak.
Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang menahan di dada. Bukan nyeri, bukan sesak... hanya berat. Mungkin karena percakapan singkat pagi tadi. Mungkin juga karena aku mulai merasakan sesuatu sedang berubah—perlahan, diam-diam, dan aku belum tahu apakah aku siap menyambutnya.
Nube datang menghampiri tanpa banyak basa-basi. Ia membawa dua kotak susu dari kantin, lalu menyodorkan salah satunya kepadaku.
“Minum ini biar energimu bertambah,” katanya singkat.
Aku menerimanya. “Makasih,” jawabku pelan.
Ia duduk di sampingku, menatap ke arah papan tulis yang sudah mulai kosong. “Aku lihat kamu dibantu Kenan tadi pagi. Nggak nyangka juga ya... dia bisa sepeduli itu. Padahal biasanya... ya gitu.”
Aku tersenyum kecil. “Mungkin dia cuma nggak suka ribut. Tapi sebenarnya... peka.”
Nube membuka sedotannya. Bunyi plastik yang terlipat sejenak mengisi keheningan di antara kami.
“Kamu tahu nggak?” ujarnya pelan. “Katanya dulu dia pernah ikut lomba pidato tingkat kota. Juara satu malah.”
Aku menoleh cepat. “Serius?”
Dia mengangguk. “Guru Bahasa Indonesia kita yang cerita. Dulu dia anak paling aktif. Makanya pada heran... kok sekarang berubah total.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati aku merasa... mungkin aku bisa sedikit mengerti.
Kadang, luka yang tak terlihat justru yang paling mengubah seseorang.
Langit di luar jendela mulai menggelap. Suasana kelas yang tadinya penuh suara kini tinggal gema sepatu dan suara pintu yang sesekali dibuka. Aku dan Nube akhirnya beranjak, berjalan pelan melewati lorong sekolah yang lengang.
Di luar, langit sore menggantung awan kelabu. Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah lebih dulu datang. Kami berjalan perlahan, melewati taman kecil dan tangga pintu gerbang.
Saat di depan pagar sekolah, kami berpisah. Rumah kami berbeda arah.
Aku berjalan sendiri, lagi-lagi ditemani tongkat yang kini terasa seperti perpanjangan dari diriku—bukan hanya alat bantu, tapi juga simbol bahwa aku masih melangkah, walau tertatih.
Setiap langkah membawa pikiranku ke tempat-tempat yang sebelumnya tak ingin kusentuh. Tentang Kenan. Tentang Noah. Tentang diriku sendiri... yang akhirnya mulai membuka pintu yang selama ini kukunci rapat dari dalam.
Saat melewati taman kecil dekat rumah, aku berhenti sejenak. Ada bangku kayu tua di sana—catnya mulai mengelupas, tapi justru itu yang membuatnya terlihat jujur.
Aku duduk. Diam. Hanya ditemani angin sore yang berhembus pelan.
Langit di atas mulai berwarna jingga keabu-abuan. Cahaya matahari yang tersisa memantul samar di permukaan dedaunan.
Lalu, satu kalimat muncul begitu saja di benakku:
Kalau aku tidak bisa menjadi seperti mereka, mungkin... aku bisa menjadi seperti diriku sendiri. Dengan caraku sendiri.
Aku memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan.
Untuk pertama kalinya, dalam waktu yang sangat lama... aku tidak merasa takut menghadapi hari esok.
***
Keesokan harinya, suasana sekolah tampak biasa saja. Anak-anak masih datang dengan langkah tergesa, obrolan ringan masih terdengar dari arah kantin, dan bel masuk tetap berbunyi pada waktunya.
Namun entah mengapa, langkahku terasa lebih ringan pagi ini. Mungkin karena percakapan-percakapan yang pelan tapi bermakna kemarin. Mungkin juga karena hati ini perlahan mulai belajar menerima kehadiran—baik rasa maupun orang lain.
Aku kembali duduk di bangkuku, semenjak kakiku sakit aku memilih duduk di dekat jendela. Dari sini, aku bisa melihat halaman belakang sekolah. Tempat yang sering ramai oleh siswa-siswa ekskul, tapi pagi ini masih kosong dan tenang.
Tak lama, Nube datang dengan langkah cepat. Ia membawa sebuah kotak makanan kecil yang dibungkus kain motif garis.
“Ini buat kamu,” katanya sambil meletakkannya di atas mejaku. “Ibuku masak lebih. Jadi aku bawa juga buat kamu.”
Aku sempat terdiam. Lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Nube...”
“Jangan bilang siapa-siapa ya. Nanti dikira aku perhatian,” ujarnya sambil menyengir.
Aku tertawa kecil. “Santai aja. Rahasia aman.” menyambut candaannya.
Kami sempat berbicara sebentar, membahas hal-hal ringan, sebelum bel masuk berbunyi dan suasana kelas kembali tertib.
Tapi pikiranku melayang. Entah kenapa, fokusku terus terganggu. Ada perasaan yang sulit dijelaskan—seperti sedang berjalan dalam kabut tipis. Tidak menyesatkan, tapi juga belum sepenuhnya terang.
Saat istirahat, aku memilih keluar lebih dulu. Kakiku sudah lebih baik. Masih terasa ngilu saat dipaksa terlalu cepat, tapi setidaknya aku bisa berjalan sendiri tanpa terlalu mengandalkan tongkat.
Aku berniat ke perpustakaan. Mencari ruang sunyi, sekadar merapikan isi kepala. Tapi langkahku terhenti saat melihat Noah berdiri di depan deretan loker. Sendirian.
Dia tidak melihat ke arahku. Tapi saat aku melintas, suaranya terdengar:
“Hei!.”
Aku berhenti.
“Apa?” jawabku pelan.
Dia menatapku. Serius. “Kamu yang naruh surat itu?”
Aku terdiam. Nafasku tertahan sebentar.
Dia tidak mengulang. Tidak memaksa. Hanya menunggu.
Akhirnya, aku berkata pelan, “Kenapa tiba-tiba menuduhku?”
Dia mengangkat bahu sedikit. “Hanya penasaran. Tulisan tangannya... agak familiar. Tulisanmu?”
Aku menunduk. Genggaman tanganku mengepal pelan.
“Aku cuma penasaran. Gitu aja,” katanya lagi. Tapi terdengar nada menuduh.
Aku tidak menjawab. Dan dia tidak menekan lebih jauh.
Setelah beberapa detik, dia mengangguk kecil. “Kalau bukan kamu, ya sudah.”
Lalu pergi. Begitu saja. Meninggalkanku di koridor yang kembali sunyi.
Aku berdiri lama. Rasanya jantungku berdetak tidak karuan. Bukan karena takut ketahuan. Tapi... karena aku merasa terlihat. Meski samar.
Mungkin dia tahu. Atau mungkin juga tidak.
Mungkin dia sekadar bertanya. Atau... sedang menunggu aku jujur.
Tapi aku pun belum sepenuhnya yakin, apakah aku sudah siap mengaku—atau bahkan siap menerima jawaban.
***
Saat aku kembali ke kelas, kulihat Kenan sedang berbicara dengan Bu Mari di luar pintu. Wajahnya tetap datar, tapi gerak tubuhnya... berbeda. Seperti sedang menyimpan beban yang belum ia bagi.
Beberapa menit kemudian, dia kembali ke bangkunya. Duduk. Menatap papan tulis. Tapi matanya tidak mengikuti pelajaran.
“Ada apa?” tanyaku pelan, setelah lama diam.
Dia menoleh sedikit. “Nggak apa-apa.”
Aku mencoba lagi. Kali ini dengan suara lebih tenang. “Kenan?”
Ia menoleh penuh. Tatapannya kosong, tapi tidak dingin. Lebih seperti... lelah.
“Aku harus pulang lebih awal. Ada urusan di rumah.”
Aku mengangguk. Tidak bertanya lebih. Tapi dalam hati, aku tahu: ada sesuatu yang sedang dia bawa sendiri. Sesuatu yang belum siap ia bagi.
Dan... untuk pertama kalinya, aku ingin tahu.
Bukan karena penasaran. Tapi karena aku mengenali sunyi itu.
Sunyi yang sama seperti yang sering kudekap malam-malam sebelumnya.
***
Besoknya, Kenan tidak masuk. Tidak ada pemberitahuan dari guru. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.
Aku duduk di bangkuku, menatap kursinya yang kosong cukup lama.
Ada perasaan ganjil. Seperti ada halaman yang belum selesai ditulis. Seperti ada simpul yang belum sempat diikat.
Hari itu terasa panjang. Pelajaran masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Tidak ada yang benar-benar tinggal di kepala.
Sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Aku duduk sebentar di taman kecil belakang sekolah. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah sisa gerimis di pulau yang sedang memasuki musim penghujan ini. Suasana itu... membuatku ingin diam sedikit lebih lama.
Aku membuka buku catatanku. Di halaman paling belakang, kutemukan tulisan yang kutulis semalam:
"Aku tidak tahu ke mana arah langkah ini. Tapi aku ingin terus berjalan. Tidak peduli berapa kali aku terjatuh. Asalkan aku bisa bangkit, aku akan terus mencoba."
Tiba-tiba aku ingin bicara dengan seseorang. Tapi bukan Nube. Bukan juga Noah.
Aku membuka ponsel, masuk ke draf pesan yang belum pernah kukirim.
Pesan untuk Kenan.
Halo. Aku nggak tahu kamu ada di mana. Tapi semoga kamu baik-baik saja.
Terima kasih sudah membantuku kemarin. Aku belum sempat bilang langsung.
Kalau suatu hari kamu ingin bicara, aku di sini. Aku nggak akan nanya banyak.
Cukup duduk di sebelahmu. Seperti kata—kadang orang keras kepala cuma butuh teman yang duduk diam di sampingnya.
Aku tidak langsung mengirimnya. Tapi... melihat tulisan itu saja sudah membuatku sedikit lebih tenang.
Malamnya, aku bermimpi. Di dermaga kayu. Angin laut berembus pelan. Aku duduk di ujung papan, memandangi permukaan air yang tenang.
Seseorang duduk di sebelahku. Diam. Tidak mengatakan apa-apa.
Tapi kehadirannya cukup membuatku tidak merasa sendiri.
***
Esok paginya, Kenan belum juga kembali.
Tapi kali ini, langkahku menuju sekolah tidak disertai rasa kehilangan. Aku membawa sesuatu yang berbeda—bukan jawaban, tapi keteguhan.
Bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Entah kapan. Entah di mana.
Aku masuk ke kelas dengan senyum kecil. Bukan karena semua baik-baik saja. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku tahu...
Aku sedang memulai sesuatu.
Memulai hidupku sendiri.
Memulai keberanian untuk bermimpi.
Dan memulai untuk mempercayai... bahwa aku pun pantas punya tempat di dunia ini.