Reina bersalah.
Tidak! Mungkin lebih tepatnya Reina mengetahui ada perasaan bersalah yang menyelimuti hatinya. Bola mata bulat di balik kacamata yang jarang ia kenakan itu terus bergerak kiri kanan sembari mencoret lembaran literatur dan jurnal yang telah dicetaknya.
Suara guliran mouse terus terdengar, sesekali menekan dengan kesal saat lagi-lagi egonya harus terluka melihat bahan presentasi yang telah dibuat Sakha. Sempurna, Reina rasanya benci untuk mengakuinya.
Mulai dari metode akar pohon untuk penjelasan silsilah kerajaan, lalu metode 5W dan 1H untuk menjelaskan kejadian penting, dan juga menampilkan beberapa perbedaan sudut pandang yang bisa dijadikan bahan diskusi nanti. Seperti ... entahlah, kita tidak pernah tau seperti apa peristiwa yang terjadi, tetapi bukankah sejarah ditulis dengan sudut pandang tertentu?
Antagonis, protagonis, peran pendukung. Rasa-rasanya Reina sedang masuk ke dalam cerita yang bukan pada masanya. Ah, mungkinkah di beberapa tahun ke depan nanti ia juga termasuk bagian dari sejarah? Ya, contohnya saja barangkali di berapa abad ke depan manusia akan dilihat sebagai fosil atau makhluk hidup yang berada di zaman tertentu seperti dinosaurus?
"Fokus, Rein. Fokus." Reina setengah menampar pipinya dengan pelan, lalu kembali fokus pada teks yang tampil di layar laptopnya. Berapa bukti foto peninggalan kerajaan ditampilkan, begitu dengan beberapa video yang menjelaskan bentuk candi meskipun tidak semuanya dapat ditampilkan.
Ya, selain orang tertentu yang hanya boleh memasuki wilayah khusus, maka sudah bisa dijelaskan juga bahwa tidak semua dokumentasi dapat disebar secara luas. Ada yang namanya privasi di dunia ini, tetapi meskipun privasi, akan ada orang-orang tertentu yang diberi hak untuk memasuki wilayah itu.
"Seperti meminta orang-orang untuk meninggalkannya, tetapi sejujurnya ia tidak ingin ditinggalkan, hm?" tanya Reina, mengangkat sebelah alis, berbicara pada dirinya sendiri. "Egois."
Ponsel bergetar. Reina memejamkan mata, mengembus napas kasar. Fokusnya diambil alih oleh pesan dari seseorang. Ingin rasanya Reina mengabaikan, tetapi semakin ia coba mengabaikan maka semakin mengganggu pikirannya.
Sakha: Gimana, Rein? Ada yang perlu saya perbaiki?
Reina: Tidak. Cuma beberapa warna dan bentuk tampilannya mau gue ubah.
Hanya perlu beberapa detik saja, pesan Sakha kembali tampil di notifikasi. Setengah hati Reina meraih ponselnya.
Sakha : Kalau ada yang perlu dibantu, kabari saya saja, ya?
Sakha: Dan juga sepertinya kamu kurang istirahat. Cekungan mata kamu seperti kucing saya.
Sebuah foto dikirim, sontak saja Reina langsung meraih cermin kecil, memperhatikan kantung matanya. Bisa dibilang mirip dengan kucing hitam yang Sakha kirim padanya, anak kucing kecil yang lucunya memiliki kantung seperti aegyosal.
Reina tersenyum kecil, berbanding terbalik dengan emoji datar yang akan ia kirimkan kepada orang seberang. Sakha menyebalkan, pikirnya sembari menghadap kembali layar, fokus menemukan warna dan elemen desain yang sesuai untuk ditampilkan.
Rasanya, untuk orang seperti Sakha benar-benar tidak cocok bila harus terlibat dengan manusia egois sepertinya, bukan?
***
"Pa, sepertinya sudah ada kemajuan." Sakha tersenyum tipis, duduk di kursi belajarnya. Ia memutarkan pena dengan sela-sela jarinya sembari memperhatikan foto seorang pria yang foto bersama dengan dua anggota keluarganya.
Bentuk rahang dan wajah bundar yang diwariskan kepada Sakha, begitu pula barangkali dengan sifat yang sederhana dan santai menurun padanya.
"Dulu saya selalu bertanya, kapan Papa pulang? Kapan kita bisa bertemu, meskipun saya sudah tau jawabannya." Sakha menunduk sejenak, memperhatikan lembar tugas yang baru saja usai ia kerjakan. "Tapi sekarang saya selalu ingin bertanya kepada Papa. Pa, kapan saya dewasa? Apakah saya benar-benar terlihat payah?"
Sakha menelan ludah, menekan ujung pena. "Di satu sisi saya ingin menjadi diri saya seperti apa adanya, tetapi di sisi lain sepertinya ada banyak hal yang harus saya ubah. Saya masih ingin menyalahkan keadaan, ingin menyalahkan diri sendiri, tapi kenapa waktu tidak berbaik hati?"
"Diminta menjadi dewasa, tanpa ada contoh menjadi dewasa itu seperti apa rasa-rasanya melelahkan. Apakah tidak boleh berbuat kesalahan? Apakah harus meraih sesuatu dan diakui oleh orang sekeliling? Sungguh, saya tidak mengerti." Sakha menggeleng pelan, menundum. "Tapi sejujurnya saya menemukan orang seperti itu. Anehnya, dia seperti bercahaya."
"Saya tertarik dengan cahayanya," gumam Sakha, tersenyum simpul. "Tapi untuk mendekati cahaya juga susah, Pa. Kadang menyilaukan, menyakitkan. Herannya, saya yang dulu selalu membuat marah Papa karena jarang mau berusaha ini, malah sekarang sebaliknya. Apa saya boleh mendekatinya?"
Sakha tau seberapa banyak pertanyaan yang ia lontarkan, maka ia tidak akan menemukan jawabannya dari Papa. Padahal sudah berapa tahun lalu Papa meninggalkannya, tapi Sakha sampai sekarang masih saja menganggap kehadiran pria itu masih ada di sisinya.
"Papa tenang saja. Meskipun saya sering membuat Mama cemas, tapi saya akan menjaga Mama. Dan juga izinkan saya mengenal seseorang, Pa." Sakha menatap jam dinding, lalu pada kucing kecil yang kini tidur meringkuk di keranjang kecil berisi kain, lalh beralih kepada obrolan pesan seseorang yang tadi ia kirim.
"Namanya Reina. Tolong perhatikan dan jaga kami semua dari sana."