"Maaf."
Sebuah susu kotak dengan mi cup yang mengepulkan asapnya diletak di hadapan Reina. Gadis yang tengah melahap roti isian cokelat itu menoleh seketika lalu melengos, kembali berkutat pada buku pelajaran.
Sakha tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Gadis yang penuh dengan energi itu pada akhirnya juga menyerah mencari dan mengejarnya hingga pulang sekolah. "Saya benar-benar lupa semalam, tapi sebagai gantinya, saya bawakan bahan-bahan referensinya. Ini, sudah saya rangkum juga, biar kamu mudah carinya."
Flashdisk digeser tepat di salah satu meja kombini. Begitu juga dengan makanan dan minum yang tidak disentuh oleh gadis itu. Padahal ini sudah jam pulang sekolah, di mana parkiran gang sekolah sudah terlihat ramai dan tentu saja kombini yang berada di seberang gang juga dikunjungi beberapa pembeli.
Reina tidak peduli.
"Rein," panggil Sakha, berusaha menggamit sebelah tangan yang memegang ujung buku, tapi tentu saja ditepis kuat oleh gadis itu. "Maaf, ya."
Reina menatap tajam. "Kalau lo nggak mau kerjasama dengan gue harusnya bilang dari awal. Lo tenang aja, gue juga nggak maksa. Syukur kalau datang, kalau nggak datang juga nggak apa. Diri lo juga nggak terlalu penting."
Sakha tersenyum kecil, berusaha menahan tawa. Lihatlah, ego setinggi langit yang dimiliki Reina. Herannya, meskipun nyelekit, tapi bagi Sakha itu lucu. Seperti anak kecil yang di dalam tubuh remaja, batin Sakha.
Ingin rasanya Sakha mendaratkan telapak tangannya ke puncak kepala gadis itu, tapi bagaimana pun juga di balik wajah menggemaskannya terdapat singa yang buas bila diganggu. Sungguh, Sakha tidak siap menjadi pusat perhatian bila saja gadis itu berteriak kesal padanya.
"Nggak kooperatif gimana, hm?" tanya Sakha lembut, menggeser kursi sebelah, duduk menyampingi gadis itu. Ya, dari depan langsung menghadap kaca dengan pemandangan jalan raya. "Ini lho saya udah kumpulkan berkasnya. Udah, kamu nggak perlu susah-susah lagi cari bahan. Lagian tampilan presentasinya juga sudah saya buat."
Bukan reaksi yang Sakha harapkan, dahi gadis itu semakin mengkerut begitu juga sorot wajahnya yang tidak terima. Sakha tergagap, takut-takut merusak suasana hati gadis itu lebih dalam. "T-tapi sepertinya masih ada yang kurang, kamu bisa cek. Desain tampilannya juga sepertinya agak--"
"Nanti gue cek." Langsung saja Reina menyambar flashdisk di hadapan, lalu memasukkannya ke dalam tas. "Makasih bantuannya."
"Dengan senang hati." Sakha menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya, lalu menyodorkan kembali makanan ke arah Reina. Gadis itu mendelik sinis, tapi sungguh Sakha tidak peduli. Buru-buru ia meluruskan garpu plastik lalu meniup mi. "Buruan dimakan, nggak enak kalau udah dingin."
Tanpa mengucap apa-apa, Reina ikut meuruskan garpu, mengunyah, sesekali menghirup kuah dari wadah sebelum uap panasnya mulai menghilang. Sakha melirik senang, tetapi secepat mungkin membuang wajah ke arah jalanan begitu Reina membalas tatapannya.
"Gila," umpat Reina pelan, padahal jelas terdengar oleh Sakha.
"Oke. Sudah selesai. Sini biar saya bersihkan." Buru-buru Sakha meraih wadah mi begitu juga plastik roti dan kotak susu di tangan Reina, lalu membuang ke tempat sampah. Reina tercengang, meskipun kerutan satu di dahinya jelas menunjukkan tanda tidak terima.
"Mau saya antarkan pulang?" tawar Sakha, mendorong pintu membiarkan gadis itu keluar terlebih dahulu. Setengah berlari Sakha menuju motor matic-nya, menyodorkan helm dari dalam jok sana. "Yuk!"
Reina menyipitkan kedua mata dengan senang begitu juga dengan kedua sudut bibirnya. Melihat Sakha yang nyaris di ambang keberhasilan untuk membujuknya, Reina tersenyum sinis, setengah mendorong helm kepada pemiliknya. "Lo nggak usah sok akrab dengan gue, paham? Gue bisa pulang sendiri."
Reina pergi begitu saja, gadis itu menjulurkan sebelah tangan, membuat ojek tanpa penumpang itu menghentikan kendaraan. Melihatnya, Sakha hanya bisa mengusap sebelah leher, mengamati seekor kucing kecil berbulu hitam yang berjalan sendirian, tampak kebingungan.
Ya, bagaimana pun juga, ia sudah berusaha, kan?
***
"Sakha! Apa yang kamu bawa!"
Sakha menyengir saja, mengabaikan suara meleking dari seseorang yang menyambut akan kepulangannya. Kardus yang tadi berada di pelukan, kini Sakha turunkan. Seekor kucing kecil yang tadi berjalan membuat Sakha ingin mengadopsinya.
Herannya ketika Sakha mendekat untuk mengelus, kucing itu mengeluarkan geraman dan seringaiannya. Namun, ketika Sakha menjauhkan telapak tangannya, kucing itu mengeong cepat seperti membentuk suara rengekkan.
Entahlah, rasa-rasanya Sakha mulai familiar menghadapi situasi seperti ini.
"Kucing, Ma. Kasihan dia, tadi jalan sendirian di halaman kombini. Mama tenang aja, kucing ini biar Sakha yang urus," bujuk Sakha, mengeluarkan beberapa makanan kucing dari tas, lalu menuju dapur bernuansa minimalis itu, mencari wadah plastik yang tiak terpakai.
"Uras urus, uras urus. Udah berapa kali Mama dengar, hm? Ujung-ujungnya apa? Mama yang urus. Mama nggak mau lagi, ya, ujung-ujungnya harus bagikan hewan peliharaan kamu ke teman-teman Mama."
Sakha yang berjongkok, sembari mengelus hewan berbulu sedang makan itu kini mendongak, memperhatikan Mama yang berkacak pinggang. "Bukan Sakha yang minta Mama bagikan setiap hewan peliharaan Sakha ke teman Mama. Sakha mau belajar mengurusnya, tapi apa? Belum sempat, semuanya udah hilang dari pandangan Sakha."
"Anak ini ...." Wanita paruh baya itu berdecak. Tidak habis pikir dengan anak laki-lakinya. "Pahamilah, Sakha. Siapa yang mengurus sementara tidak orang di rumah ini? Kamu harus sekolah dan Mama harus bekerja, bagaimana jika terjadi suatu hal? Barang-barang pecah, listrik konslet? Kamu memang bisa menanggung semuanya?"
Sakha tidak menjawab, memperhatikan kucing kecil itu dalam diam.
"Lagipula, kombini? Kamu mampir ke sana? Beli apa?" tanya wanita itu, mendorong bahu Sakha dengan jari telunjuknya. "Jawab Mama. Ingat, Mama selalu tau kapan kamu berbohong."
"Mi cup," jawab Sakha pelan.
"Astaga! Ya Tuhan!" Sakha semakin menunduk saja dibuatnya, entah berapa banyak lontaran kalimat, tapi yang pasti Sakha berhasil menulikan pendengarannya. Entahlah, kucing di hadapannya begitu lucu, kelakuannya mengingatkan Sakha akan seseorang.
"Sampai kapan kamu seperti ini Sakha! Belajar dewasa! Urus diri kamu! Peduli sama kesehatan kamu!" Mama terus meluncurkan ucapan, tetapi juga pada akhirnya melemparkan sehelai handuk pada Sakha, lalu melirik jam dinding. "Sekarang, mandi dulu. Istirahat. Jangan terlalu banyak kegiatan, Sakha. Cukup semalam Mama gelagapan cari kamu ternyata di perpustakaan."
Menanggapinya, Sakha hanya tertawa pelan, menyampirkan handuk di bahunya.