Read More >>"> Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
MENU
About Us  

Langit cerah bernuansa biru muda dengan taburan awan disekelilingnya membuat matahari semangat bertugas. Angin menari-nari seolah mengiringi alunan melodi sang Mozart yang begitu menghanyutkan. Lambaian manis dedaunan seolah mengajakku berdansa. Ketiga unsur alam itu mungkin ingin menghiburku yang tengah bersandar pada batu nisan. Aku terisak. Butiran bening di kelopak mata terus menetes deras di pipi. Tubuhku bergetar hebat. Menangis, ya, saat kupandangi gundukan tanah basah yang baru saja digali. Sekejap inikah dia menemani hidupku? Meninggalkan aku yang masih sangat membutuhkannya? Lelaki kuat, tangguh, gagah berani, dan selalu menjagaku kini telah tidur dengan pulasnya. Selamanya. “Ayah, maafkan Kira. Maafkan Kira.” kataku –Kira- sambil terisak hebat. Di balik punggung, Ibu meraih pundakku dan mendekapku penuh kehangatan.

Pemakaman telah usai. Aku mengurung diri di dalam kamar. Nuansa merah muda sedikit menenangkan pikiranku. Kuambil selembar foto yang terselip di dalam album foto keluargaku. Aku memegangi foto lelaki tangguh itu dalam dekapanku. Kerap kali aku melirik ke arah foto kecil itu. Mataku memanas, tak dapat lagi aku membendung kristal hangat di kelopak mata ini. Menetes sedikit demi sedikit membasahi foto kecil itu. Kenangan indah yang selalu kuukir bersamanya kembali berputar dalam otak ini. Aku tersenyum tipis mengingatnya. Saat aku tumbuh sebagai gadis remaja –yang kata Ayahku sangat cantik, bahkan Princess Disney pun kalah- yang masih sedang mencari jati diri, Ayah sangat protektif terhadapku. Kala itu aku sedang diajak salah satu teman sekolahku, Galih –ehm mungkin semua orang bilang kencan- di salah satu café romantis di Bandung. Kami berdua menikmati alunan lagu romantis dari Diana Ross dan Lionel Richie, Endless Love, sambil mengobrol santai tentang kegiatan di sekolah. Obrolan berlanjut ke arah yang lebih serius. Galih menatap mataku dalam seakan mencari rahasia apa yang terpendam dalam hatiku. Kulihat ia menghembuskan nafas panjang dan menegapkan diri seolah mempersiapkan apa yang akan dikatakan. Dengan perlahan ia memegang tanganku dengan lembut, sampai tiba-tiba kursi di sebelah kami seperti digeser oleh seseorang. Konsentrasi kami buyar seketika. Aku mendapati Ayah sedang duduk di kursi sebelahku dan dengan santainya ia nyengir ke arahku. Aku melongo. Buru-buru Galih melepaskan genggamannya.

“Kebetulan sekali ternyata kamu disini juga, Ra. Wah siapa ini?” Tanya Ayahku dengan raut wajah yang masih sangat santai.

“Saya Galih, Om. Teman sekolah Kira. Salam kenal ya, Om.” Galih tersenyum canggung. Kecanggungan ini berlangsung sampai makanan yang dipesan telah habis terlahap. Tanpa rasa dosa, Ayah mengajakku pulang. Dengan rasa tidak enak hati, aku berpamitan kepada Galih dan meminta maaf karena ‘kekacauan’ yang terjadi gara-gara Ayah.

“Ayah suka anak itu. Dia sopan kepada Ayah, dan dia ganteng juga,” jawab Ayah terkekeh. Aku merengut dan memukul pelan pundak Ayah.

“Ayah nggak mau anak gadis cantik Ayah ini kenapa-kenapa. Kamu baru pertama kali ini kan diajak kencan sama cowok ganteng? Tapi tetep gantengan Ayah.” Dengan spontan aku tertawa –walaupun menurutku itu tidak lucu- dan langsung memeluk Ayah. Ayah membalas pelukanku dengan sangat erat seakan tidak rela kalau pelukan ini beralih kepada orang lain.

Aku tersenyum mengingat hal itu. Pelukan Ayah yang sangat hangat masih bisa kurasakan sampai sekarang. Aku kembali melihat foto Ayah yang masih dalam genggamanku. Kulihat matanya menyorotkan kebahagiaan. Senyumnya tersungging tanpa beban. Seakan tidak ada sakit yang sedang menghuni tubuh Ayah. Kuputar kembali memori itu. Saat aku pulang sekolah dengan raut wajah kusut. Hari itu adalah hari terakhir Ujian Nasional dengan Computer Based Test. Di ambang pintu rumah aku berteriak memanggil satu persatu penghuni rumah, Ibu, Ayah, dan Rendy –adikku. Namun tak ada sahutan.

“Ayah, Ibu.” jeritku memanggili mereka. Pintu kamar Ibu terbuka dan kudapati mata Ibu sembab seperti habis menangis. Aku diam menunggu  apa yang akan ia katakan.

“Kira, Ayah sekarang kritis,” ucap Ibu sedikit terbata. Mulutku ternganga lebar-lebar saat Ibu memberitahuku bahwa Ayah dinyatakan terserang stroke. “Apa?” batinku menjerit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Air mata lah yang mewakili perasaanku saat itu. Kakiku lemas. Rasanya gaya gravitasi yang diungkapkan oleh Newton semakin besar nilainya. Aku merangkul Ibu dan menangis di dekapannya. Aku dapat merasakan nafas Ibu memburu, sangat berat. Ini adalah serangan stroke Ayah yang kedua. Dengan sangat ketakutan aku semakin mengeratkan dekapanku. Namun Ibu segera membimbingku berdiri dan mengajakku untuk segera ke rumah sakit.

Aku memasuki ruang ICU sendirian. Kulihat Ayah berbaring lengkap dengan semua peralatan medis disekitarnya. Suasana ICU sangat sepi, hanya terdengar suara dari Elektrokardiogram yang memonitori detak jantung Ayah. Aku perlahan mendekati Ayah. Dengan sekuat tenaga aku menahan emosiku agar tidak menangis. Kuraih tangan Ayah dan kugenggam dengan kuat, seolah menyalurkan setiap kekuatan yang ada pada diriku. Aku mendekatkan bibirku di telinga Ayah agar Ayah bisa mendengar apa yang akan aku katakan.

“Ayah, hari ini hari terakhir aku ujian. Aku yakin bisa dapat nilai yang maksimal. Semuanya untuk Ayah. Aku berharap nanti di hari kelulusanku, Ayah sudah sehat dan bisa melihat aku memakai toga.” Aku tak tahan untuk tidak menangis. Air mataku jatuh di pipi Ayah.

“Kira akan nungguin Ayah sampai Ayah bangun. Ayah harus sehat lagi. Kira pasti akan masuk di Fakultas Kedokteran seperti apa yang Ayah mau. Ayah janji ya akan terus di samping Kira sampai Kira nanti sukses.” Aku mencium pipi Ayah dengan sangat lama, dan bergegas keluar dari ruangan ICU karena ingin menenangkan diri.

Sudah berminggu-minggu Ayah tak kunjung sadar. Setiap hari tanpa jeda aku menemani Ayah, bergantian dengan seluruh keluargaku. Tiap hari Ibu tak berhenti menangis, takut akan apa yang terjadi ke depan jika Ayah tak kunjung sadar. Aku dan Rendy juga bergantian menjaga dan menenangkan Ibu. Galih sesekali juga mengujungi Ayahku di ICU dan kerap menanyakan keadaan Ayah kepadaku ketika kami bertemu. Aku sudah menjalin hubungan dengan Galih dari saat kencan pertama –yang akhirnya gagal karena Ayah muncul di tengah-tengah kami. Dengan sangat sabar Galih menenangkanku, memelukku, dan mengusap pundakku ketika aku sudah tak kuat menceritakan kondisi Ayah yang tidak stabil.

“Kita serahkan semuanya kepada Tuhan ya, Ra. Tuhan lah yang akan menentukan jalan hidup setiap makhluknya.” Aku tersenyum kepada Galih dengan air mata masih memenuhi mataku. Dengan sangat lembut Galih mengusapnya dan kembali memelukku.

Sampai hari kelulusanku tiba. Suasana wisuda dipenuhi haru biru rasa bahagia. Setiap siswa didampingi oleh orang tuanya dan orang-orang terdekatnya. Aku tetap bahagia karena Ibu dan Rendy ikut menyaksikan kelulusanku. Aku pun juga merasakan kehadiran Ayah disini. Walaupun aku tidak meraih nilai UN tertinggi, setidaknya aku bisa menempati sepuluh besar nilai UN terbaik. Kabar yang tak kalah membuatku bahagia adalah, aku lolos seleksi di Pendidikan Dokter Universitas Padjadjaran. Aku tak sabar memberikan kabar bahagia ini kepada Ayahku. Keinginan Ayah agar aku bisa masuk di fakultas tersebut akhirnya tercapai.

“Selamat siang, Ayah. Ayah tau? Aku masuk sepuluh besar nilai UN terbaik dan aku lolos masuk di Pendidikan Dokter di Universitas Padjadjaran seperti yang Ayah minta. Ayah senang kan? Ayah cepat bangun dong! Aku ingin dengar ucapan selamat dari Ayah.” Aku sangat semangat bercerita, berharap Ayah akan bangun mendengarkan ceritaku dan memelukku dengan bahagia. Aku melihat sebulir air mata jatuh dari sudut mata Ayah. Dengan segera aku menghapusnya dan berbisik lagi di telinga Ayah.

“Yah, aku ingin nanti menjadi dokter yang bisa merawat Ayah kalau Ayah lagi sakit.” Kurasakan tubuh Ayah sedikit dingin. Elektrokardiogram menjunjukkan detak jantung Ayah semakin melemah. Tanpa berpikir lagi aku segera memanggil perawat yang siap siaga di ruangan ICU tersebut. Perawat-perawat segera memeriksa tanda-tanda vital Ayah. Aku bersandar di tembok dengan perasaan kalut dan menggigit bibir bawahku karena sangat cemas. Salah satu perawat menelpon dokter untuk memastikan kondisi Ayah. Perasaanku sangat kacau dan akhirnya aku berlari keluar ruang ICU.

“Bu, A..Ayah.” Aku tidak bisa menahan isakan tangisku. Aku sebenarnya tidak ingin membuat Ibu ikut cemas. Tapi perasaanku sangat kacau sampai sulit dikendalikan.

“Ayah kenapa, Ra?”

“Detak jantung Ayah melemah, Bu.” Ibu langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Rendy yang baru datang dari membeli makanan langsung bingung dengan apa yang terjadi.

“Kak, kenapa?”

“Detak jantung Ayah melemah, Ren.” Rendy kaget dan langsung terduduk di kursi di sebelahnya. Rendy menunduk dan memijat-mijat keningnya, berdoa agar tidak ada apa-apa dengan Ayah. Ibu semakin mengeratkan pelukannya kepadaku. Tiba-tiba dokter keluar dari ruang ICU dengan raut wajah yag menandakan keputus-asaan. Aku, Ibu, dan Rendy segera menghampiri Dokter dan berharap apa yang akan dikatakan Dokter adalah kabar baik. Ibu menggenggam tanganku sangat erat seperti ketakutan akan hal yang akan diutarakan oleh dokter.

“Dokter, bagaimana dengan Ayah?” Rendy memberanikan diri bertanya kepada Dokter. Dengan menghembuskan nafas berat, Dokter memberanikan diri untuk berkata.

“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Bapak sudah tiada, Bu.” Sang dokter sepertinya tidak tega mengatakan hal itu kepada Ibu. Dan inilah waktunya. Dia, lelaki yang sangat kusayangi, manusia berjiwa malaikat yang selalu menjagaku di segala suasana, telah memejamkan mata indahnya untuk selamanya. Aku tak percaya. Benarkah? Aku tertawa hambar. Haha jangan bercanda! Aku serasa tak bertenaga lagi setelah mendengar kenyataan itu. Kakiku bergetar. Aku bersimpuh di lantai, kutelungkupkan lututku, aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapan tanganku. Aku rapuh, lemas, tak berdaya dan bisa dibilang tak ada tenaga lagi yang kumiliki. “Tuhan, kenapa secepat ini? Aku bisa apa tanpa Ayah? Aku belum melakukan apapun untuk Ayah. Aku sangat menyayangi dia Tuhan. Aku belum bisa menjadi apa yang dia inginkan.” kataku sambil menjerit lemah. Pandanganku buram karena penuh dengan air mata. Tapi aku tak peduli. Air mata yang keluar ini tak sebanding dengan peluh dan keringat Ayahku selama ini.

Pikiranku kosong seperti melayang. Ibu langsung menangis sejadi-jadinya, mendekap tubuhku yang juga sangat kehabisan tenaga ini. Rendy juga bersimpuh di lantai rumah sakit dan menuduk dalam. Tanpa berlama-lama kami berlari ke dalam ruang ICU dan dengan sangat tidak tega melihat tubuh Ayah sudah ditutup dengan kain putih. Ibu berhambur memeluk tubuh Ayah yang sudah sangat dingin. Aku memeluk Rendy yang juga tak tahan untuk tidak menangis.

“Yah, kenapa? Kenapa Ayah meninggalkan Ibu sendiri disini? Ibu masih sangat membutuhkan Ayah. Apa jadinya Ibu tanpa Ayah?” Ibu menangis sejadi-jadinya. Aku segera meraih pundak Ibu dan menenangkannya. Penglihatanku buram karena air mata tidak bisa dikendalikan untuk tidak keluar dari mataku. Hatiku hancur. Hari ini aku membawa kabar bahagia untuk Ayah tapi dengan bersamaan aku menerima duka. Aku menarik badan Ibu perlahan karena Ayah harus segera dipindahkan di ruang jenazah. Aku menangis pilu. Aku harus bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini. Pikiranku melayang entah kemana. Kacau, hancur. Rasanya tulang-tulangku ini kehilangan fungsinya untuk menopang tubuhku.

            “Krek.” Suara pintu kamarku yang sangat menjengkelkan itu telah menyadarkanku dari lamunan-lamunan tentang Ayah. Dari saat Ayah masih berada disisiku tanpa jarak, sampai Ayah berpisah denganku dengan menyisakan jarak yang tak tergapai oleh apapun.

Ibu masuk ke dalam kamarku dan melihat selembar foto kecil yang sedang berada dalam genggamanku. Aku merasakan tubuh Ibu bergetar hebat. Melihat Ibu yang tidak bisa menahan tangisnya, aku pun kembali ikut meneteskan air mata. Dengan sangat terisak aku memeluk Ibu berusaha menyalurkan sisa-sisa energi yang aku punya. Aku berusaha menghapus air mata yang sudah tumpah ruah di pipi Ibu walaupun air mataku sendiri tak bisa kuhentikan. Rendy, adikku, tiba-tiba memasuki kamarku. Mungkin karena dialah satu-satunya anak laki-laki di rumah ini, ia harus menunjukkan ketegarannya walaupun sebenarnya ia juga sangat rapuh. Rendy pun memeluk kami.

 “Kehidupan dan kematian itu memang sebuah misteri yang seperti dibatasi kabut tipis yang tidak pernah tertembus oleh intelegensi apapun. Nggak akan ada yang tau, kapan kematian terjadi.” Rendy yang biasanya berperilaku tengil pun dengan tiba-tiba bisa berubah menjadi orang yang bijak. Rendy melepaskan pelukannya dan dengan berusaha tegas, ia menghapus air mataku dan air mata Ibu.

 “Disini kita masih bertiga, masih sangat kuat untuk bisa berjuang ke depan.”

***

            Pagi buta telah menyambutku saat mata ini terbuka. Burung-burung masih sibuk bercicit dalam sangkarnya. Namun suara ayam jago telah berkumandang merdu memenuhi penjuru desa. Aku keluar rumah untuk merasakan segarnya udara yang belum terkontaminasi karbon monoksida beserta kawan-kawannya. Kupandangi langit yang masih berwarna biru kehitaman. Hanya sedikit gurat sinar matahari yang masih sembunyi di balik gunung. Bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumah kelihatannya ingin sekali memancarkan senyumannya. Aku memang tidak sekuat langit, matahari, dan seluruh unsur alam lainya, karena aku bukan mereka. Tapi aku, Kira, akan sekuat Ayahku.

            Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di Universitas Padjadjaran. Mengikuti serangkaian masa pengenalan kampus, bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai penjuru negeri, dan aku disini karena Ayah. Aku menatap langit, berharap Ayah melihatku dari sana dengan perasaan bangga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Palette
4132      1641     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Semu, Nawasena
6652      2606     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Before I Go To War
578      411     5     
Short Story
Inilah detik-detik perpisahan seorang pejuang yang tak lama lagi akan berangkat menuju peperangan. \"Selamat tinggal gadis yang tengah asyik bersujud dimihrab yang usang\" -Mustafa-
Interaksi
370      259     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
Katamu
2747      1020     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
My LIttle Hangga
747      479     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
REMEMBER
4073      1230     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
Mistress
2048      1111     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
OF THE STRANGE
972      514     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1142      537     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...