Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Hujan

 

 

  Angin siang berembus menyentuh kulit. Dingin. Langit mulai menghitam, mendung menggantung berat, seakan bersiap meluruhkan hujan deras kapan saja. Padahal beberapa menit sebelumnya. Matahari masih menggantung di langit, terlihat menawan. Namun sekarang awan gelap menutupinya.

  Beberapa penduduk yang mereka lewati tampak sibuk, tergesa-gesa menarik jemuran, menggulung tikar, menutup jendela. Namun dua sosok di jalan setapak itu justru melambat. Naln tak lagi berlari. Langkahnya kini lebih pelan, tapi napasnya masih berat, dadanya sesak. Hatinya gelisah.

  Tangannya menggenggam erat tangan Lenard. Terlalu erat, hingga Lenard merasa sedikit kesakitan tapi tak berani mengadu. Ia menoleh beberapa kali ke kakaknya, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Naln. Namun wajah itu tetap diam. Menunduk. Rahangnya mengeras.

  Naln menatap jalan di hadapannya, tapi pikirannya tertinggal di belakang. Di lapangan bermain. Di kerumunan orang. Di tatapan ibu itu yang membeku, dan… kekuatan aneh yang muncul begitu saja dari dirinya. Ia tidak mengerti.

  "Apa yang telah kulakukan…?" Tangan yang menggenggam Lenard sempat bergetar.

   Lenard mendengar kakaknya mulai bergumam. Tapi ia hanya bisa diam. Mendengar gumaman lain keluar dari mulut sang kakak. Ia tidak berani bertanya.

   Lenard menatap langit. Awan-awan kelabu menggulung perlahan di atas kepala mereka, menutupi sinar matahari yang tersisa. Ia mengalihkan pandangannya ke wajah kakaknya. Raut itu tak juga berubah sejak mereka meninggalkan lapangan bermain, dingin, kosong.

   “Kakak…mau hujan.”  Mencoba mencairkan suasana, Lenard akhirnya berkata pelan, nyaris seperti bisikan, Suaranya lembut, penuh kehati-hatian, seperti melangkah di atas lantai retak. Ia tidak ingin membicarakan apa pun soal kejadian di TK tadi. Terlalu menyeramkan, terlalu asing.

   Naln menoleh sedikit, hanya cukup untuk melirik Lenard. Lalu ia mengangkat wajahnya ke langit yang mulai menitikkan gerimis. Rambutnya perlahan basah, begitu pula helaian putih yang kini tampak semakin kontras.

   "Iya," jawabnya singkat.

   "Kadang hujan bikin orang lupa sebentar..." Lenard tak mengerti maksud kalimat itu sepenuhnya, tapi ia tahu… kakaknya sedang mencoba menghibur dirinya sendiri.

   Mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah yang mulai becek. Tanpa payung. Waktu berlalu, percikan hujan mulai deras. Rambut Naln Perlahan mulai layu. Yang awalnya bervolume dan sedikit berantakan. Kini layu dan semakin berantakan.

   Tiba–tiba, Lenard melepas genggaman erat kakaknya. Naln diam sejenak. Tatapannya kini tertuju ke arah Lenard yang kini berlari di bawah gerimis, membiarkan kakinya menghentak genangan air dan cipratannya mengenai celana serta sendalnya.

   Rambut Lenard yang sejenis dengan Naln, kini juga mulai kehilangan bentuk, lepek dan menempel di dahinya. Tapi tak ada raut gelisah di wajah adiknya, yang ada hanya keceriaan polos seorang anak yang memanfaatkan hujan sebagai permainan.

   "Kakak! Ayo hujan-hujanan!" teriak Lenard sambil tertawa kecil.

   Naln terdiam sejenak, menatap tangan kosong yang sebelumnya menggenggam tangan adiknya. Untuk sesaat tadi ia mengira Lenard tak suka digenggam, bahwa ia menjauh. Tapi ternyata tidak. Lenard hanya ingin bermain.

   Seketika prasangka buruknya memudar. Ada perasaan hangat yang menjalar dari dada ke wajahnya. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum yang tulus.

  "Dasar bocah..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi nadanya penuh kasih sayang. Naln terkekeh.

  Langkah demi langkah, Naln mulai mengejar. Tawa kecil keluar dari mulutnya saat Lenard menoleh ke belakang dan menyipratkan air hujan ke arahnya. Sendal mereka menendang genangan air yang memantulkan langit mendung. Bau tanah basah, suara hujan, dan tawa menyelimuti mereka.

  "Mungkin dengan ini aku bisa melupakannya, walau sesaat," gumam Naln dalam hati.

  Sesaat…hanya sesaat, dunia kembali terasa seperti milik mereka berdua. Tanpa tatapan. Tanpa suara-suara pelan. Hanya hujan… dan tawa.

 

***

 

   Sesampainya di rumah, tawa mereka masih menggema. Lenard tertawa sambil menepuk-nepuk bajunya yang basah kuyup, sementara Naln menyandarkan tangan di lutut, menahan tawa dan napasnya yang masih tersengal setelah berlari.

   Tetes-tetes air menetes dari rambut mereka ke lantai kayu di teras, menciptakan jejak basah di belakang langkah kaki mereka. Untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, Naln benar-benar merasa ringan. Bebannya seolah larut bersama hujan.

   Namun…

  Ketika mereka berdiri di ambang pintu, tawa itu langsung terhenti. Di sana, di pintu rumah, berdiri sosok yang sangat mereka kenal, Tirell, Ibu mereka. Wajahnya terlihat dingin. Dingin seperti udara sebelum badai. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, dan pandangan matanya tajam, tertuju lurus pada Naln. Pandangan yang membuat tawa Naln tercekat di tenggorokan.

   Lenard melirik kakaknya, lalu pada sang Ibu. Ia merasa canggung, namun masih mencoba tersenyum kecil.

   "A-aku sama kakak cuma—"

   "Masuk." Suara Tirell terdengar datar, tapi tekanan nadanya membuat udara terasa menebal.

  Lenard menunduk, melangkah masuk lebih dulu. Namun Naln masih terpaku. Ia menatap Ibunya tanpa berkata apa-apa. Retakan di keningnya sedikit terlihat oleh rambut basah yang berantakan kemana-mana, dan Naln tahu…Ibu  pasti melihatnya.

   Tatapan Tirell yang sinis memperjelas segalanya. Seolah berkata “Aku tahu ada yang berubah. Dan itu membuatku semakin membencimu.”

   Naln menghela napas. Tetes air dari ujung dagunya jatuh ke lantai saat ia melangkah masuk, melewati sosok Ibunya yang masih diam mematung dengan ekspresi ketidaksetujuan yang tak disembunyikan.

   Kebahagiaan tadi benar-benar hanya sesaat…

 

***

 

   Naln masuk ke kamarnya dengan langkah pelan, hampir seperti orang yang tak ingin keberadaannya terdengar oleh siapa pun. Ia menutup pintu dengan perlahan, tak sampai berbunyi. Tak ada lagi tawa atau suara langkah kaki kecil Lenard di dekatnya. Dua kakak beradik itu kini kembali terpisah, bukan oleh jarak, tapi oleh sosok ibu yang melarang mereka untuk Bersatu.

   Udara kamar masih mengandung hawa lembap sisa hujan. Naln mengganti pakaian basahnya dengan pakaian kering. Dengan handuk kecil, ia mengeringkan rambutnya yang mulai menempel lepek di dahinya. Dalam diam, ia berharap hujan bisa datang lagi… agar ia dan Lenard bisa tertawa lagi… meski cuma sebentar.

  Pandangan Naln lalu tertuju pada cermin di depannya. Pantulan dirinya menatap balik, basah, berantakan, namun… lebih dari itu.

  Matanya tertuju pada retakan hitam di keningnya, retakan itu kini bercabang satu lagi. Cabang kecil, namun cukup jelas untuk dilihat. Naln mendekat ke cermin, memperhatikan detailnya. Ia mengangkat tangan, menyentuh bagian cabang baru itu dengan ujung jarinya.

  "Ini baru? Serius?" gumamnya dalam hati.

  Sensasi dingin langsung menjalar di ujung jari saat menyentuh retakan itu. Tak ada rasa sakit, tapi ada sesuatu yang aneh. Seolah retakan itu bukan bagian dari tubuhnya… tapi sesuatu yang hidup… tumbuh… menyatu bersamanya.

  "Kenapa bisa retakan ini mulai numbuh seiring waktu? Tapi kenapa baru-baru ini? Apa karena mimpi itu? Atau karena... Paman Thalen?"

   Nama itu…Paman Thalen, tiba-tiba muncul di pikirannya, bagaikan bisikan samar yang menyusup dari balik kabut ingatan. Ia belum tahu hubungannya, tapi Naln merasa pamannya tahu banyak tentang retakan hitam di keningnya. Mungkin tahu dengan siapa sosok pria berambut putih di dalam mimpnya.

  Naln mengusap wajahnya pelan. Kepalanya penuh pertanyaan, dan tidak satu pun memiliki jawaban. Tapi satu hal yang pasti, retakan itu terus tumbuh. Dan di saat yang bersamaan, tumbuh pula rasa takut dalam dirinya.

 

***

 

   Hari libur telah usai. Senin kembali datang, hari yang dikenal sebagai awal perjuangan bagi sebagian besar pelajar di Indonesia, dan entah bagaimana, juga menjadi hari favorit bagi sebagian lainnya. Entah karena alasan bertemu teman, guru favorit, atau sekadar rutinitas yang menyibukkan pikiran dari masalah di rumah.

   Pagi itu, Naln kembali melangkah ke sekolah bersama Lenard. Udara masih segar, sinar matahari belum terlalu menyengat. Sepanjang perjalanan, mereka hanya berbicara sedikit. Mungkin karena kemarin terlalu banyak hal  yang terjadi.

   Yang mengejutkan, ibu mereka tidak mengomel pagi ini. Hanya sebuah lirikan tajam yang menghantam dada Naln seperti cambuk sunyi. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut wanita itu. Entah lebih baik begitu atau justru lebih menyakitkan.

  Sesampainya di sekolah, mereka melewati gerbang dan batas wilayah sekolah. Hiruk-pikuk murid lain sudah terdengartawa, langkah kaki, suara panggilan guru, semuanya kembali seperti biasa. Seakan dunia terus berjalan, tak peduli pada perubahan yang terjadi dalam diri Naln.

  Di koridor, mereka berpisah. Jalur kelas mereka berbeda. Di titik perpisahan, Lenard menoleh sambil melambaikan tangan dan tersenyum cerah.

  Naln membalas lambaian itu, senyum kecil yang muncul dengan tulus. Bagi orang lain mungkin itu hanya gestur biasa, tapi bagi Naln...Itu adalah pengingat bahwa ia masih punya tempat yang disebut rumah.

   Bukan rumah secara bangunan… tapi sosok Lenard. Dalam kekacauan dan kebingungan yang memenuhi dirinya, satu hal yang masih membuatnya merasa hidup adalah adiknya itu. Sosok kecil yang begitu murni, yang entah bagaimana selalu tahu kapan harus hadir, kapan harus diam, dan kapan harus tersenyum.

   Naln menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik, melanjutkan langkah ke kelas. Ada banyak yang harus ia pikirkan, tapi pagi ini, ia memilih untuk menyimpan sejenak semua beban itu.

   Seperti biasa, Langkah Naln menyusuri koridor selalu diiringi bisik-bisik pelan yang kembali terdengar ke telinganya. Suara-suara yang samar namun terasa jelas. Seperti bisikan yang tak pernah benar-benar menghilang.

  "Itu dia anak yang punya retakan aneh di dahinya..."

  "Lihat deh, dia makin nutupin mukanya, ya?"

  "Seram, kayak kutukan..."

  Naln menunduk sedikit. Tangannya merapikan posisi topi yang selalu ia pakai sejak retakan itu muncul. Hari ini, retakan di keningnya terasa lebih gatal... atau panas? Entahlah.

  Topi itu tak cukup lagi. Bahkan dengan sedikit rambut yang sengaja ia jatuhkan ke depan wajahnya, Naln tahu, retakan itu makin sulit disembunyikan. Tapi meskipun begitu...

   Naln tetap berjalan. Dengan kepala sedikit tertunduk, langkah teguh, dan hati yang mulai Lelah, tapi tidak menyerah. Saat langkah kaki Naln menginjak lantai kelas, waktu seolah berhenti sejenak. Suara tawa dan obrolan ringan yang biasanya memenuhi ruangan, mendadak menghilang. Mata-mata itu... satu per satu tertuju padanya. Beberapa langsung saling melirik, dan tanpa menunggu lama, bibir mereka mendekat ke telinga teman di sebelahnya. Mulai membicarakan Naln.

   Kakinya tetap melangkah. Meski setiap langkah terasa seperti menembus kabut tebal yang penuh penilaian dan cibiran tak bersuara.

   Ia berjalan melewati barisan bangku, dan mereka tetap berbisik.
Beberapa menatap dengan rasa penasaran, yang lain dengan jijik, bahkan ada yang menertawakan secara halus, cukup pelan, tapi tajam.

   Namun Naln tetap menatap ke depan. Menolak tunduk. Menolak berhenti. Hingga akhirnya, ia berdiri tepat di samping bangku miliknya. Tangannya menyentuh permukaan meja, dingin seperti suasana yang menyambutnya pagi ini.

  Ia duduk. Menunduk sejenak. Bukan karena kalah, Tapi karena sedang mengumpulkan tenaganya, Untuk tetap bertahan.

  Bel sekolah berdentang. Suara nyaringnya menggema di seluruh penjuru gedung, menandakan dimulainya jam pelajaran pertama. Suasana kelas pun mulai tenang. Para siswa kembali ke posisi duduk masing-masing, dan beberapa suara berbisik perlahan menghilang begitu Bu Desi melangkah masuk ke dalam kelas.

   Dengan langkah mantap dan senyum yang selalu ia kenakan, Bu Guru berjalan menuju meja di depan kelas, meletakkan buku di atasnya. Ia menatap seluruh siswa yang kini menatap ke arahnya.

  "Oke, anak-anak," ucapnya ramah namun tegas.

  "Sebelum kita mulai pelajaran, Ibu ingin menyampaikan pengumuman dulu." Para  siswa saling melirik, beberapa bersikap antusias, sebagian hanya diam.

   “Hari Kamis dan Jumat minggu ini, sekolah akan mengadakan lomba.
Akan ada berbagai kegiatan seru, jadi yang mau ikut silakan mendaftar ke wali kelas saat jam istirahat nanti, ya."

   Terdengar gumaman kecil di antara murid-murid. Beberapa langsung bersemangat membahas lomba yang mungkin mereka ikuti, sementara Naln hanya duduk diam. Pikirannya masih sibuk bergulat dengan suara-suara lain yang tak berasal dari pengumuman tadi.

 

***

 

     Selama Pelajaran berlangsung. Mata Naln terus memperhatikan Bu Desi. Tetapi pikirannya melayang. Flashback ke kejadian kemarin di TK. Berkali-kali ia bertanya pada diri sndiri. Apa keadaan ibu itu skearang? Apakah efek yang entah terpengaruh oleh ku atau tidak sudah menghilang? Naln itu…Tubuh fokus. Namun pikirannya tidak fokus.

    Hari ini Naln sekolah penuh dengan pikiran. Bukan pikiran tentang buku Pelajaran. Tetapi pikirsan tentang kejadian di TK yang masih mengganggu pikirannya. Ia masih merasa sangat penasaran sekaligus takut, dan cemas.

  Tiba-tiba, bel istirahat berdentang nyaring. Menandakan Pelajaran pertama selesai. Kali ini, Naln memilih untuk tetap tinggal di dalam kelas. Sebagian besar murid sudah berhamburan keluar menuju kantin dengan obrolan riuh. Tapi tidak dengan Naln.

   Ia hanya duduk diam di tempatnya. Bukan karena lapar yang tak terasa, atau kantin yang terlalu jauh. Tapi karena satu alasan Lenard.

   Naln tahu adiknya itu bisa saja tiba-tiba muncul, seperti biasanya, dengan senyum cerah dan kecerobohan khas anak kecil. Naln juga tahu, atau lebih tepatnya, khawatir bagaimana murid-murid lain akan bersikap jika melihat mereka bersama. Dan ia tak mau Lenard menjadi bahan bisik-bisik… seperti dirinya.

  Naln menarik napas pelan. Ia bersandar ke meja, melipat tangan dan menyandarkan kepalanya di atas sana. Matanya perlahan terpejam. Bukan untuk tidur, mungkin hanya ingin terlepas sebentar. Dari dunia yang terlalu ramai. Dari pandangan yang terlalu tajam. Dari kata-kata yang tak pernah diucapkan langsung, tapi tetap bisa menyakitkan. Untuk sesaat saja… Biarkan dunia ini diam. 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sweet Punishment
170      105     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Me vs Skripsi
1852      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Kini Hidup Kembali
72      62     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Premonition
547      344     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1861      759     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Heavenly Project
506      350     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...
Layar Surya
1368      848     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Melihat Tanpamu
141      115     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...