Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lepas SKS
MENU
About Us  

Ketika skor yang menyedihkan itu terucap, reaksi Natasha sangatlah tidak enak untuk dilihat. Dia seperti baru saja mendengar sesuatu yang baginya menjijikkan.

Aku ingat betul saat pertama kali Natasha mengajakku bertemu hanya demi meyakinkanku untuk menjadi salah satu talent di perusahaan manajemen talenta terkenal miliknya—Alpha Corp. Awalnya aku tidak berencana untuk bergabung dengan manajemen mana pun karena aku takut orang lain akan mengaturku, tapi melihat skor kredit sosialku yang kala itu sudah mencapai 800 dengan statusku yang masih dibilang merupakan influencer baru, Natasha mengatakan bahwa dia tidak ingin membuang peluang untukku menjadi influencer—lebih tepatnya beauty & fashion influencer—yang lebih terkenal lagi, memiliki kerja sama dengan banyak brand, hingga membawa namaku mencapai title influencer internasional. Diiming-imingi keuntungan semacam itu, jelas aku tidak mungkin menolak. Hingga akhirnya kontrak perusahaan turun padaku dan salah satu poinnya tertulis bahwa minimal level talent di Alpha Corp adalah level High, dengan skor kredit sosial minimal 800. Sementara level High sendiri merupakan level dengan skor kredit sosial sebesar 751-900. 

Lantas saat ini skor kredit sosialku berada pada angka 762, bagaimana aku tidak waswas? Di saat selama ini aku selalu berhasil menaikkan poin demi poin, berhasil menjaga ucapan serta tindakan, dan berhasil dikenal sebagai influencer terbaik. 

Kuku ibu jari senantiasa kugigit.

“Jadi gue harus apa, Nat?” tanyaku yang benar-benar sudah tidak bisa berpikir. Jujur ini seperti menjadi masalah terbesar selama 20 tahun aku hidup. “Nat!” panggilku lagi karena diabaikan. Tidak bisa dipungkiri juga kalau aku sungguh panik.

“Apa yang harus lo lakuin?” ulangnya sambil mengangguk-angguk dengan tangan kanan diposisikan pada pinggang dan tangan kiri menggenggam ponsel. Jemarinya bergerak lincah di sana. Kutebak sedang repot membalas ratusan chat yang menyerang di waktu bersamaan. Natasha tidak kidal, tapi masalah ini tampaknya menjadikan dia punya keahlian baru. 

Natasha akhirnya melepas matanya dari layar ponsel. Kulit wajahnya masih menegang. “Yang harus lo lakuin adalah tunggu aba-aba dari gue terkait apa yang harus lo lakuin.”

Itu memang Natasha. Segala sesuatu yang menyangkut manajemennya harus dipikirkan dengan matang. Bahkan sepertinya, selain membalas chat dari rekan bisnis yang menyalak, dia juga tengah merapatkan tindak lanjut dari masalahku ini secara online dan cepat.

“Tapi lo percaya kalau gue ngga mungkin lakuin itu kan?” desakku memastikan kembali. 

Aku mendapati mulut Natasha terbuka untuk mengatakan sesuatu padaku sewaktu ponsel di tangannya tiba-tiba berdering kembali. 

“Astaga orang-orang ini sangat-sangat-sangat ngga sabaran ….” gerutunya tak jadi bicara padaku. Natasha berbalik untuk mengangkat telepon. “Halo—ah, benar. Kami sangat minta maaf atas masalah yang ditimbulkan oleh salah satu talent kami ….” Natasha terus berujar halus selagi kedua kaki membawanya semakin jauh dariku. Melihatnya tak keruan seperti itu, tidak akan bosan aku mengingatkan diriku sendiri jika masalah ini memang benar-benar buruk. 

“Tapi untuk sementara, selagi kami mengurus masalah ini, apa mungkin bisa dialihkan ke talent lain?”

Eh. 

Aku yang masih berdiri di tempat, terpancing dengan pertanyaan tersebut. Natasha pun ikut menoleh padaku sesaat, kemudian dengan cepat berpaling. Meskipun dia bersedia mengurus segala komplain yang berdatangan, tapi sudah pasti dia tetap tidak mau rugi dengan masalah yang disebabkan olehku selaku salah satu talent-nya. Sebisa mungkin kerja sama harus terus berjalan. Menurut Natasha, masih banyak talent-nya yang lain yang bisa dan bersedia menggantikanku.

Aku tidak berencana mendengar lebih lanjut perbincangan antara Natasha dan seseorang-entah-siapa. Digerayangi rasa kesal, aku berbalik pergi. Menimbang-nimbang apakah aku sudah kembali siap melihat beratus-ratus notifikasi SKS Mobile yang menunggu untuk dibuka. Melihat dan membaca berbagai macam kata-kata negatif memenuhi kolom komentar pada video yang terunggah.

Paling tidak, adanya notifikasi missed call dari Jamie memberi semacam angin segar di tengah hari yang begitu panas. Setelah sebelumnya tidak bisa dihubungi, Jamie pasti khawatir dengan keadaanku. Aku mencoba menelepon balik saat kakiku menaiki anak tangga. 

Sayangnya, lelaki itu tidak lagi mengangkat teleponnya. 

Come on, Jamie,” keluhku kembali terdengar frustasi. Saat ini aku sungguh butuh seseorang yang bisa menjadi teman bicara. Aku butuh seseorang yang percaya dan berkata dengan yakin bahwa aku tidak seperti yang ada pada video tersebut. Jadi, aku beralih menelepon Tiffany.

Cukup lama aku menunggu telepon terangkat. Dari sejak kakiku menapak di lantai dua rumah, melangkah gontai menuju kamar, membuka pintu dan menutupnya. Berharap jangan lagi satu-satunya orang terdekatku ini ikut mengabaikanku.

“Julie!” 

Aku terkejut sendiri. “Thank God.” Hanya saja, suara yang keluar terdengar menyedihkan.

“Maaf gue ngga sempat telepon, ketemu, atau—”

“Tiff …” Aku menyela, tapi hanya itu yang kukatakan. Wajahku terbenam pada satu telapak tangan di kala aku terduduk lemas di atas tempat tidur. 

“Ya? Julie … lo pasti syok,” ujar Tiffany memelankan suara. Entah dia sedang berada di mana, sebab sekitarnya terdengar ramai. 

Aku masih nyaman dengan posisiku. “Lo percaya kalau gue ngga bakal begitu, kan?” tanyaku langsung memastikan. 

“Ya iyalah,” jawab Tiffany dan kalimat sesederhana itu hebatnya bisa membuatku sangat lega. Rasa-rasanya seperti udara yang tadinya terperangkap di dada hingga menjadikanku sesak, akhirnya berhasil keluar dan menyisakan sedikit ruang untuk bernapas. “Gue kenal seorang Julienne dari lama dan lo sama sekali ngga pernah mabuk. Mau dibayar berapa pun juga lo ngga akan mau. Gue tau lo, okay?

Tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi Tiffany benar—kurang lebih benar. Aku pernah minum. Satu kali dan kutegaskan itu adalah yang terakhir kalinya juga. Tidak sampai mabuk, hanya mual dan tubuhku terasa sangat tidak enak sampai beberapa hari ke depan. Oleh karena itulah, aku tidak pernah mau lagi berurusan dengan itu. Dan fakta terkait itu, sampai detik ini memang hanya aku dan Natasha yang tahu, karena saat itu aku tidak minum dengan siapa pun dan belum terlalu dikenal oleh siapa pun. Benar-benar murni karena rasa ingin tahu yang berlebihan. Bodoh sekali ketika aku kembali mengingatnya.

“Julie?”

Mataku mengerjap. Rupanya aku melamun.

“Ya ampun. Lo pasti jadi ngga fokus, kan? Sekarang lo ada di mana?”

Aku mendesah untuk kesekian kali. “Gue di rumah. Tanpa sadar, tadi pagi gue udah di rumah,” jelasku memijit pelan dahi.

Maksudnya? Semalam lo jadi pergi ke pesta Becca?”

Tiffany tahu jika aku berniat pergi ke sana. Dia pun juga tahu betapa inginnya aku datang ke pesta Becca. Mengingat hanya orang-orang terpilih dengan minimal level High di atas 850 yang dapat ikut serta dan aku termasuk ke dalam orang-orang terpilih itu. Membuatku berkesempatan bertemu dan menjalin relasi dengan orang yang selevel atau mungkin di atasnya—level Excellent. Level yang paling maksimal, tertinggi, diagung-agungkan, dan memiliki privilese dalam segala aspek kehidupan, dengan skor kredit sosial sebesar 901-1000. Skor yang bisa saja kucapai dalam beberapa waktu dekat apabila masalah ini tidak datang padaku. 

“Semalam gue ngga datang ke mana pun,” kataku bangkit dari duduk. “Oh, yang pasti datang ke bar,” lanjutku merevisi lebih ke arah meledek diri sendiri.

“Gue ngga paham.”

“Gue mau datang ke pesta Becca. Gue udah nyiapin semuanya semaksimal mungkin,” jelasku sambil melihat pantulan diri pada cermin. Bertanya-tanya berapa banyak yang telah aku keluarkan untuk membuatku menjadi orang yang pantas datang ke pesta itu dan diakui keberadaannya. Dari atas kepala hingga ujung kaki. Semua kupastikan adalah barang-barang branded. Lantas, semua yang telah kulakukan itu justru berakhir sia-sia. “Tapi di tengah jalan mobil gue tiba-tiba mogok, berharap ada seseorang yang datang bantu gue, dan ya … seseorang memang datang, tapi bukan untuk bantu—gue rasa, tapi untuk kasih gue masalah,” geramku melepas paksa gelang yang masih terpasang di pergelangan tangan, kemudian kulemparkan ke lantai.

Ada jeda cukup panjang, tapi keramaian yang sebelumnya terdengar di sekitar Tiffany sudah menghilang.

“Lo ngga ingat apa pun?”

“Ngga,” tegasku cepat.

“Siapa orangnya, lo dibawa ke mana setelahnya, lo juga ngga ingat?”

“Mungkin kalau gue ngga mabuk, gue bisa ingat,” ledekku menyedihkan sambil menyeka kasar lipstik merah terang yang masih menghiasi bibir. Aku tidak cocok memakai lipstik warna itu dan sangat bertolak belakang sekali dengan gayaku, tapi karena tema pesta adalah sesuatu yang bold, jadi aku terpaksa menyeimbanginya.

“Maaf. Gue cuma mau coba bantu sebisa gue.” 

Wajah polos Tiffany yang tengah menunduk terbayang di kepalaku. “Maaf juga. Gue cuma capek. Rasa-rasanya orang-orang terus bertanya apa gue ingat atau ngga soal apa yang terjadi di video itu, tanpa mereka tau kalau tanpa mereka tanya dan minta pun, di setiap detiknya gue selalu coba untuk ingat.”

“Julie ….”

“Dan sekarang gue masih belum tau apa yang harus gue lakuin,” desahku lagi menggulung rambut panjang bergelombangku ke belakang. “Natasha masih minta gue untuk ngga lakuin apa pun.”

“Apa ngga terlalu lama? SKS Mobile udah terlalu ramai. Video lo udah kesebar ke mana-mana. Komentar orang-orang juga makin beringas.” Aku tau meski aku belum mengeceknya secara langsung. “Apa gue boleh kasih saran?”

Sepertinya, tidak ada salahnya untuk didengar. “Saran apa?”

“Gimana kalau lo langsung klarifikasi sendiri aja?”

Kepalaku refleks menggeleng. “Ngga mungkin, Tiff. Ini terlalu mendadak. Jangankan live, buat video konten sehari-hari gue aja harus udah pakai script hasil review dari Natasha. Gue ngga bisa kalau tanpa script.”

“Tapi ini urgen. Lo paham situasi lo sekarang, kan?”

Oh, God

***

Tripod sudah terpasang. Berlanjut memosisikan ponsel ke tempat di mana aku akan beraksi, dengan kamera yang sudah dalam keadaan menyala. Segala sesuatu yang tertangkap di kamera terlihat cukup baik. Aku juga telah mengganti pakaian pestaku dan menghapus riasan. Kini aku lebih tampak seperti orang awam yang hendak mencoba live pertama kalinya dan kenyataannya untuk kali ini aku memang merasa grogi. Tidak seperti seorang influencer yang pekerjaannya tak pernah bisa jauh dari kamera. Lagi pula, bagaimana aku tidak grogi? Live ini akan berjalan tanpa skrip! 

Aku duduk bersila di atas karpet yang terbentang di lantai kamar. Sekali lagi memastikan penampilan yang terekam di layar ponsel. Ya ampun. Tidak pernah terbayang olehku akan menampakkan wajah pucat tanpa riasan ke banyak orang, di saat selama ini aku selalu tampil dengan penampilan terbaikku. Beruntung tidak ada jerawat atau sesuatu lainnya yang mengganggu. Dan, mungkin ada baiknya rambutku tidak terlalu tertata rapi agar terlihat betapa kacaunya aku. Jadi, aku mengacaknya sedikit. Mungkin aku juga bisa menambahkan sedikit bedak di bibir agar terlihat pucat, karena masalah ini membuatku kepikiran hingga jatuh sakit—tidak, itu terlalu berlebihan. Aku akan menampilkan apa adanya, karena yang terpenting adalah apa yang akan aku katakan, bukan apa yang kuperlihatkan.

Here we go … ayo lo bisa, Julie,” kataku diikuti tarikan napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat.

Tanpa berpikir dua kali, dengan yakin jariku menekan tombol live pada SKS Mobile.

Sedetik setelahnya yang kudengar hanyalah degup jantungku sendiri. Aku akan menunggu sampai setidaknya beberapa orang mengikuti live-ku, jadi aku tidak akan merasa sedang bermonolog dan mereka pun juga tidak akan melewatkan kata demi kata yang kuucapkan.

Satu, lima, sepuluh, dua puluh, lima puluh, seratus lebih orang bergabung hanya kurang dari lima detik. Terus-menerus bertambah dan tanpa diduga seseorang melempar poop padaku. Cukup membuatku syok karena biasanya yang kudapatkan adalah gift yang nantinya bisa kutukarkan dengan poin untuk menambah skor kredit sosial. Namun sebaliknya, kali ini justru poop? Memang tidak akan membuat skor kredit sosialku turun, hanya saja aku sakit hati. 

Poop sepertinya hanyalah merupakan salam pembuka, sebab komentar-komentar yang datang mengikuti, jauh lebih menyakitkan.

 

Influencer murahan!

Gunakan jempol kalian semua untuk report akun ini ke validator guyss!

Orang-orang kayak dia harus ngerasain masuk ke dalam level Poor! Benar-benar ngga bersyukur!

Buat apa dia live? Pasti mau menyangkal kalau itu bukan dia. Jangan percaya!

Dari awal udah kelihatan muka-muka perempuan nackal.

Unfollowww cuihhh.

Julie kapan ke bar lagi? Nanti minum sama om yaa cantik.

Ngakunya introvert. Introvert apaan ganas kayak gini.

Ternyata lo ngga sebaik yang gue pikir.

Sifat kalem dan baiknya dia selama ini cuma topeng guys.

 

Apa mereka serius mengetik semua kata-kata itu? Aku bahkan belum bicara apa pun. Ditambah lagi usai melihat ini semua, aku jadi tidak yakin akan melanjutkan live ini atau tidak. Alih-alih bisa memperbaiki keadaan dengan melakukan klarifikasi, yang ada malah memperburuk. 

Aku hanya duduk terpaku di tempat dengan mata terus tertuju pada komentar-komentar yang berdatangan tanpa henti. Saling berebut untuk muncul dan menimpa satu sama lain. Satu ribu orang. Sebagian besarnya benar-benar menggunakan jari-jarinya untuk semakin menjatuhkanku.

 

Lo kelihatan bodoh di situ haha. Akhiri aja live-nya daripada makin buat malu.

Loh dia kan memang udah ngga punya malu!

 

Tanpa sadar tanganku mengepal di atas pangkuan dan itu tidak terlihat oleh kamera. Segeram-geramnya aku, mereka tidak boleh tahu.

 

Ayo bicara, Cantik.

Hi, Julie sexy.

Ayo Julie nari lagi dong.

 

Bagaimana aku bisa tahan dengan ini semua?

 

Please biarin dia bicara dulu.

 

Tiffany. Akun bernamakan @tiffany.soraya ikut muncul di tengah gempuran dan meminta orang-orang ini untuk menghentikan jari-jari mereka sejenak. Meski komentarnya langsung hilang termakan oleh sekian banyak komentar di bawahnya, tapi sempat tertangkap oleh mataku. Sejauh ini, kurasa hanya Tiffany yang muncul tanpa membawa komentar negatif. 

Aku menelan ludah yang terasa pekat di tenggorokan. Mulutku yang terbiasa lancar berucap di depan kamera, mendadak seperti kehilangan kosakata yang membuatku tidak tahu ingin  berkata apa. Ragu. Takut salah bicara dan malah mengantar situasi menjadi semakin runyam.

“Hi,” sapaku pelan dengan tetap memberikan senyuman tipis—karena para followers-ku selama ini menyebutku dengan sebutan smiling angel, yang selalu tersenyum saat menghadapi situasi apa pun. Setelah berdeham, aku lanjut berkata, “Sebelumnya aku mohon maaf atas keramaian yang aku perbuat.”

 

Jangan sok lemas. Semalam lo nari semangat banget!

Please deh. Gue ngikutin lo karena pembawaan lo yang cantik, kalem, sopan, kenapa jadi begini sih!

 

Aku menggigit bibir. Kedua tangan kembali mengepal kencang. Ingin aku bangkit dari duduk, menyambar ponsel, mematikan siaran live, dan berteriak memaki. Pasti rasanya menyenangkan juga melegakan. Kalau saja aku tidak memikirkan kelangsungan hidupku apabila masalah ini tidak selesai dengan baik, aku pasti sudah melakukannya. 

“Aku …,” wajahku menunduk, “aku akui kalau yang ada di video itu benar aku,” lanjutku mengangkat wajah tepat di saat beberapa orang lagi-lagi melemparkan poop secara bersamaan. Refleks wajahku tersentak ke belakang diikuti dengan mata yang tertutuþ. Tampak begitu menghayati lemparan poop yang dilakukan secara virtual.

“Tapi masalahnya adalah aku sama sekali ngga tau bagaimana bisa aku melakukan hal itu,” kataku tanpa sedikit pun mengubah situasi. Orang-orang masih setia memaki. 

Selama berkecimpung dalam dunia influencer, aku hafal betul berapa banyak pengikut live-ku di setiap waktu—lebih tepatnya adalah aku memiliki catatannya—agar aku tahu pada bahasan apa orang-orang begitu tertarik dan pada bahasan apa orang-orang tidak menghiraukanku. Lucunya, ini adalah pertama kalinya aku mampu mengumpulkan kurang lebih tiga ribu pengikut live, tapi aku sama sekali tidak senang. Jika saja situasi yang terjadi adalah kebalikannya, entah berapa banyak poin melalui gift yang dapat ditukarkan dengan pengikut live sebanyak itu.

Sampai bosan aku selalu menjelaskan hal yang serupa.

“Jadi singkatnya adalah semalam aku berniat pergi ke acara Becca’s Party. Kalian tau kan betapa pentingnya acara itu karena hanya orang-orang terpilih yang bisa datang.”

 

Ngga begitu penting.

Dia memang sombong.

Kesombongan akhirnya menghukum lo!

 

Mulutku menganga tak percaya. “Bukan begitu maksudku,” elakku mulai sedikit bergerak dari posisi. Apa aku baru saja salah bicara? “Aku cuma mau mencoba menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Niatku memang ingin pergi ke acara itu, tapi di tengah jalan mobilku mogok. Lalu seseorang datang dan setelahnya aku ngga ingat apa pun. Tiba-tiba hari sudah pagi. Aku bangun dalam keadaan pusing di dalam mobilku sendiri.”

Di saat aku berpikir penjelasan singkat itu cukup untuk membuat mereka berhenti berpikir buruk tentangku, beberapa emotikon tertawa, marah, kesal, hingga ingin muntah pun dilemparkan sebagai bentuk reaksi dari klarifikasiku. Bahkan lemparan poop sudah tidak lagi asing bermunculan selama live kali ini. Bola mataku terus bergerak cepat dari sisi lemparan emotikon ke sisi komentar. 

 

Apa dia ngga malu bicara bohong begitu?

Apa dia pikir kita bakal percaya?

 

Astaga. Aku tidak berbohong.

 

Jelas lo bakal pusing kalau minum sebanyak itu.

Dia pasti diam-diam peminum.

Gue rasa selama ini dia bohong. Dia pernah bilang di salah satu live-nya kalau dia ngga berani minum, tapi nyatanya? Dia malah kelihatan happy waktu mabuk.

 

Pergerakan mataku terhenti. Itu adalah live berdasarkan skrip dari Natasha. Haruskah aku beri tahu yang sebenarnya saat ini? Tapi apakah aku tidak semakin dicap pembohong? Padahal aku tidak berniat untuk berbohong, aku hanya menjalankan skrip terbaik dari manajerku. 

 

Ayo bilang sesuatu. Bela terus diri lo yang jelas-jelas udah ketangkap basah.

 

Mulutku terbuka tanpa adanya suara yang dikeluarkan. Di mana Tiffany? Apa dia tidak berniat muncul lagi untuk membelaku? Tanganku hendak kembali pada kebiasaannya—menggigit kuku ibu jari setiap kali aku merasa panik. Namun, kutarik kembali tanganku. Natasha tidak suka jika aku melakukan itu di depan banyak orang. Baginya, itu tampak buruk.

“Sebenarnya aku—”

Kalimat pengakuanku nyaris terucap kalau saja pintu kamar tidak tiba-tiba terbuka kencang. Tidak sampai membentur tembok, tapi dilihat dari wajah yang tegang serta dahi yang berkerut saat menemukanku duduk di depan tripod, sepertinya Natasha memang berniat menggebrak pintu. 

“Apa-apaan lo, Julie?” tanyanya berbisik, mendesis, dan menekan, sambil berjalan bersungut-sungut mendekati tripod. 

Sedetik setelah paham apa yang akan dilakukan Natasha, sontak aku berdiri dan mencoba meraih ponsel yang masih melakukan live. “Nat—” Tapi aku kalah cepat.

Natasha masih berkutat dengan ponselku. Setelah dirasa usai, dilemparnya ke atas tempat tidur dengan seenak hatinya. Barulah dia berdiri menghadapku dengan tatapan mematikan yang dipancarkan oleh mata hitam pekatnya. 

“Apa yang gue bilang tadi soal apa yang harus lo lakuin?” tanya Natasha dengan tekanan demi tekanan di tiap katanya. Bibirnya membentuk lengkungan senyum di akhir pertanyaan, tapi bukan jenis senyum yang menyenangkan. 

“Gue rasa gue harus segera lakuin sesuatu.”

No! Lo tau bukan itu.” Natasha mendelik. Alisnya terangkat menagih jawaban.

Aku memutar bola mata dan menghela napas berat. “Okay, iya. Tunggu aba-aba dari lo.”

“Terus kenapa lo justru buat live yang bodoh itu?” tanyanya mulai menggeram. “Lo lihat gimana respons mereka semua? Kalau udah gue bilang tunggu gue, ya tunggu gue. Lo itu masih di bawah manajemen gue. Apa yang lo ucap, lo lakuin, nantinya bakal berimbas juga ke orang-orang terdekat lo, termasuk gue, perusahaan, dan talent lain,” gertaknya dan di sepanjang perkataannya, tidak ada yang lebih menarik perhatianku selain kata bodoh yang dia ucapkan di awal.

Aku mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Mengibas-ngibaskan tangan di area wajah dan leher, karena entah kenapa kamarku mendadak panas.

“Bodoh lo bilang?” tanyaku dimana Natasha mengerjap bingung. Bibirnya terkatup sesaat. “Gue tau lo panik, Nat. Gue pun juga. Tapi seenggaknya gue lebih cepat mutusin apa yang harus gue lakuin.”

Natasha setengah tertawa. Bergeleng pelan selagi dia menertawakan kata-kataku.

“Lalu … apa yang lo lakuin itu berhasil memperbaiki masalah lo? Justru nambah masalah, kan? Orang-orang semakin nyerang lo. Orang-orang lempar poop saat live lo. Orang-orang kasih—”

“Cukup, Nat,” sergahku bertambah kesal, tapi sudah terlalu malas melawan omong kosong. “Kalau begitu apa hasilnya? Sejak tadi, gue lihat lo justru sibuk mengalihkan ke talent lain semua kontrak kerja sama milik gue yang nyaris batal. Sampai kapan gue harus nunggu aba-aba dari lo tentang solusi dari masalah ini?”

Mungkin aku berhasil kembali membungkam Natasha, sebab dia hanya berdiri memalingkan wajah.

“Padahal lo bisa aja nenangin gue lebih dulu,” kataku bersedekap. “Lo bisa bilang kalau lo bakal coba cari tau kejadian yang sebenarnya, lo bisa bilang kalau lo bakal coba lobi lagi kontrak kerja sama yang memang pada awalnya adalah milik gue, atau yang paling penting … lo bisa bilang kalau lo percaya gue.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Surat yang Tak Kunjung Usai
454      300     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
fall
4488      1344     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Jalan Tuhan
537      377     3     
Short Story
Percayalah kalau Tuhan selalu memberi jalan terbaik untuk kita jejaki. Aku Fiona Darmawan, biasa dipanggil fia, mahasiswi kedokteran di salah satu universitas terkemuka. Dan dia, lelaki tampan dengan tubuh tinggi dan atletis adalah Ray, pacar yang terkadang menjengkelkan, dia selalu menyuruhku untuk menonton dirinya bermain futsal padahal dia tahu, aku sangat tidak suka menonton sepak bola ata...
Only One
550      391     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu...
It Takes Two to Tango
460      337     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Monokrom
71      61     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Smitten Ghost
144      117     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Cinta tanpa kepercayaan
505      381     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
When the Winter Comes
59130      8131     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
Last October
1869      741     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::