Sejujurnya, kalau bukan karena Juni menertawakannya saat berlarian tadi, Soya takut untuk mengajak bicara duluan. Walau ditertawakan, setidaknya Soya merasa dirinya bisa maju untuk meminta maaf.
Ini karena Juni tidak kunjung meminta maaf, padahal sudah merekam Soya tanpa izin. Gara-gara itu, Soya jadi berpikir bahwa dirinya yang salah.
Saat rombongan kecil teater berjalan kembali ke sekolah, Soya menyejajari cewek itu dan berbisik, “Jun, aku mau gantiin harga casing hape kemarin. Aku ... aku minta maaf udah jatuhin hape kamu.”
Juni mengernyit. Sesaat, tak ada jawaban yang keluar, hingga ia membalas dengan canggung. “Nggak usah,” katanya. “Nggak papa. Aku ... yah, sori kemarin aku nggak minta izin buat ngerekam kamu.”
Soya merasa kehangatan mulai merebak di dadanya. “Beneran?”
Juni berdeham. “Tapi, kamu tuh harus kebiasaan direkam! Pak Sastra suka minta sesi latihannya direkam. Paham?”
Oh, tidak. Itu berita buruk. Walau Soya sudah mengira ini karena Juni selalu menyiapkan ponsel di tiap pertemuan teater, tetap saja ia tak senang mendengar kecurigaannya terverifikasi.
Tutupnya ruang serbaguna berarti mereka hanya bisa berkumpul di ruang-ruang terbuka. Sastra mengajak kelima remaja itu duduk di salah satu meja taman, berpayung cokelat berdebu yang tampaknya lupa dilap oleh petugas kebersihan. Awan-awan kelabu menghalangi sinar menyorot, mengembuskan angin dingin yang beraromakan hujan.
Sastra bersandar di tepi meja. “Karena lombanya dua bulan dan tiga minggu lagi, kita harus segera memikirkan ingin mementaskan apa. Kita butuh waktu menyusun naskah, sekalian membantu Soya dan Daru luwes dengan latihan dasar. Temanya cerita rakyat.”
Kaspian bergumam, “Berapa lama durasi pentasnya?”
“Maksimal 25 menit, termasuk menata dan membereskan properti.” Sastra mengelus dagu. “Lumayan. Tapi, karena kalian hanya berlima, itu berarti kita harus memaksimalkan peran dan waktu. Apalagi pembuatan properti.”
“Kita butuh drama dengan properti minimalis.” Nova bersedekap. “Maksimal tiap orang memerankan dua peran, kalau bisa pemain lama, biar Daru dan Soya nggak terbebani.”
“Kalau bisa dimaksimalkan dengan lima peran aja, kenapa mesti ganda? Jangan seenaknya bikin keputusan.”
“Aku cuma usul!” Nova beranjak, tangannya menggebrak meja. “Perkirakan kita butuh waktu lima sampai maksimal sepuluh menit untuk tata properti, berarti kita punya waktu lima belas menit. Lima belas menit dengan peran yang sama itu bosenin banget!”
Kaspian ikutan beranjak, telunjuknya terarah pada cewek berambut bergelombang itu. “Nadamu nggak kayak sekadar usul!”
“Sensi amat. Ketua kesenggol?”
“Itu ....” Daru mengangkat tangan ragu-ragu. “Menurutku, kalau beneran bakal ada peran ganda, berarti—“
“Diem!” Nova dan Kaspian refleks menudingnya bersamaan.
Saat Daru mengerjapkan mata, Nova menyambar, “Kamu anggota baru. Nggak usah ikut-ikutan.”
Soya terperangah. Kenapa tiba-tiba mereka berdebat? Namun, melihat Juni yang tetap bodoh amat dengan terus menggulir layar, tampaknya ini bukan kejadian pertama kali. Refleks Soya menatap ke arah sang guru.
Sastra pun baru bersuara setelah ditatap begitu. “Hus, jangan debatin hal nggak penting. Waktu kita tinggal satu jam, sebelum Soya harus pulang karena berbarengan dengan jam bubar bimbel.”
Walau ucapan Sastra memang berhasil melerai Kaspian dan Nova, Soya justru merasa sungkan. Sebenarnya, durasi kegiatan ekstrakurikuler memang berlangsung antara 120 hingga 150 menit, tetapi itu berlaku saat hari aktif sekolah. Sekarang masih musim liburan. Mestinya batasan waktu itu tak berlaku, tetapi pada akhirnya tetap berjalan karena situasi Soya yang khusus.
Soya mendesah. “Maaf ....”
“Nggak usah minta maaf.” Juni akhirnya bersuara. “Justru kalau waktunya terbatas gini, kita bisa fokus nyari ide daripada debat mulu.”
Nova mencemooh mendengar sindiran cewek itu. “Kamu aja main hape nggak berhenti-berhenti. Mending nyari ide!”
Juni menyengir. “Iya, iya. Nih, aku cariin ....”
Namun, Sastra menuding ponsel si cewek. “Eh, berhenti, berhenti. Nggak boleh pegang ponsel dulu. Kita pindah ke perpustakaan aja. Saya udah pinjam kunci sebanyak ini, masa nggak dimanfaatin?”
Maka bergeserlah kaki-kaki malas itu menuju perpustakaan. Walau sudah dikenyangkan dengan minuman dingin dan gorengan—dan mi ayam, khusus Daru—mereka justru mengantuk. Apalagi dibuai sejuknya angin yang berembus, menyusup ke koridor-koridor terbuka sekolah. Kicau burung dan desis pohon trembesi menambah damainya suasana SMA Surya Cendekia yang asri dan tak tersentuh riuhnya pusat kota.
Kala Sastra membuka pintu perpustakaan, keriut pintu jatinya membuat Soya lega. Sekolahnya memang syahdu, tetapi bagi seukuran cewek penakut seperti Soya, membuatnya tegang. Apalagi SMA ini memiliki gedung-gedung dari zaman Belanda yang—meski terawat baik—membuatnya merasa seperti diawasi.
Ini berkat lukisan-lukisan para kepala yayasan dan kepala sekolah yang rutin berganti tiap periode. Lukisan-lukisan itu tergantung di sepanjang lorong menuju perpustakaan. Apalagi satpam sekolah tidak berniat menyalakan semua lampu, terlebih-lebih jika bukan hari aktif dan masih siang bolong, kendati cuaca mendung. Rasanya mata-mata mati itu mengekorinya, mengikuti langkah Soya ke mana pun ....
Sehingga, ketika perpustakaan dibuka, Soya merasa lebih baik. Tegel kelabu dingin memantulkan cahaya hangat dari lampu-lampu fluoresens. Nyaris sekujur dinding putih tulang tertutup oleh lemari-lemari jati setinggi langit-langit. Berbeda dari perpustakaan sekolah negeri saat Soya masih SD dan SMP, perpustakaan SMA Surya Cendekia mengingatkannya pada rumah bangsawan Belanda yang gemar mengoleksi buku dan karya seni.
Sastra menghampiri meja pustakawan yang kosong, meraih vase berisi mawar yang mulai layu. “Pasti kelupaan.” Ia menggeleng, lantas mengayunkan tangan ke arah jajaran lemari buku. “Kalian cari referensi cerita-cerita rakyat dulu.”
Maka menyebarlah kelima anak itu dengan sukacita. Selagi perpustakaan tak diawasi, tak ada larangan untuk berbuat kegaduhan, apalagi berebut tangga beroda yang selalu jadi primadona untuk murid-murid bosan di perpustakaan—sampai-sampai ada larangan tertulis besar-besar di sisi tangga beroda: “JANGAN DIPAKAI SEMBARANGAN!”
“Aku! Aku mau naik!” seru Juni duluan saat Daru sudah mengunci roda tangga di rak buku-buku cerita fiksi.
Kali ini Daru mengalah. “Pelan-pelan.”
Soya sendiri merapat ke lemari di sisi seberang. Nova menyusul tak lama kemudian. “Nemu, nggak?”
Cewek itu menjawab dengan mengeluarkan buku yang diincarnya. Nova mengangguk puas dengan seringai jail. “Ambilin juga, dong. Sebelahnya sama-sama buku cerita rakyat, kan?”
“Ambil sendiri, 'napa.” Kaspian menimbrung. Dia kebetulan lewat. Satu buku tebal didekap di dada.
Paham bahwa mereka kemungkinan akan debat lagi, Soya buru-buru mengambilkan buku yang diinginkan Nova. Kata-kata yang siap dilemparkan cewek itu ke Kaspian pun sirna, terdorong masuk ke tenggorokan lagi saat menerima sodoran buku Soya.
Namun, ternyata perdebatan tetap meletus sekitar sepuluh menit kemudian, ketika mereka semua berkumpul di meja dan mendebatkan usulan masing-masing.
“Jangan! Itu butuh pemeran sembilan atau sepuluh orang!” seru Kaspian.
“Tapi perannya tuh ringan. Cuma muncul sebentar aja, jadi gampang kalau dikasih peran ganda!” Nova membalas.
Soya, yang duduk di antara mereka, menciut. Sejujurnya, kalau disuruh memilih, ia jelas menyetujui saran Kaspian. Ini akan menjadi pentas pertamanya. Yang benar saja kalau ia disuruh ambil peran ganda!
Juni pun ikut menimbrung. “Gini aja deh, yang setuju menanggung peran ganda, angkat tangan! Yang nggak angkat tangan, berarti mereka cukup diberi peran tunggal aja!”
Nova dan Daru mengangkat tangan. Pemandangan itu membuat semua mata tertuju pada si cowok yang terus mengunci mulut sejak disentak.
“Daru? Yakin?” Kaspian membeliak.
Nova menatapnya dengan tak percaya. “Emang kamu bisa?”
Daru mengangkat bahu. “Nggak akan tahu kalau nggak dicoba,” katanya.
“Jangan main-main!”
Sastra hanya senyum-senyum, seolah menikmati perdebatan para murid asuhannya. “Daru bener, loh.” Hanya itu yang ia ucapkan, efektif membungkam Nova yang kentara jengkelnya.
“Oke. Maksimal tujuh peran, dengan satu lagi yang merangkap sebagai narator.” Kaspian melipat tangan, jelas-jelas tak ingin ada yang mengambil keputusan final selain dirinya dan Sastra. “Ada cerita rakyat yang tokohnya sedikit dan nggak membutuhkan banyak properti?”
“Cindelaras.” Sastra menunjuk saran Juni yang belum mereka perdebatkan. “Peran utamanya hanya lima: Cindelaras, Raden Putra, permaisuri, istri muda, dan ... ayam jago.”
Kelima anak itu spontan bertukar tatap, lantas tawa pecah di antara mereka.
“ADA YANG BAKAL JADI AYAM JAGO!”
“Kukuruyuk!”
“Tenang, tenang.” Sastra menyeringai. “Nggak mesti berperan jadi ayam jago sungguhan. Karena peran ayam ini penting, ia yang membuka rahasia kepada Raden Putra tentang putranya Cindelaras. Jadi, peran ayam jago ini akan kita alihkan jadi manusia yang sama ikoniknya. Juni?”
Namun, Juni justru meringis. “Eh, Pak, kayaknya nggak bawa bolpoin, deh! Hari ini saya ganti tas. Lupa.”
Dengan takut-takut, Soya mengangkat tangan. “Saya ... saya bawa buku catatan.” Tentu saja. Karena berpura-pura mengunjungi les bimbel, Soya tetap membawa tas berisi buku catatan dan satu buku tebal latihan soal SBMPTN ke mana-mana.
Lagi pula, ia masih merasa bersalah karena waktu kumpul teater mereka hanya sebentar. Setidaknya ia merasa agak berguna dengan membantu mencatat, ketika Soya tak mampu bergabung dalam perdebatan kawan-kawannya.
Sastra mengayunkan tangan untuk mempersilakan. “Tolong, ya, Soya. Oke, kita lanjut membahas peran sampingan yang penting. Juni, bisa baca ulang ceritanya? Seingat saya ada dukun.”
“Dukun dan patih.” Daru bersuara lagi, penuh keyakinan walau suaranya pelan. Dan, sebelum Nova menatap dengan sangsi lagi, ia menambahkan. “Mbahku suka menceritakan dongeng pengantar tidur sampai aku lulus sekolah dasar. Ceritanya cuma sepuluh, diulang-ulang semua selama enam tahun. Termasuk Cindelaras. Aku hapal.”
Nova mendengus.
“Daru benar,” Juni menimpali. “Tapi, kayaknya kita juga butuh satu atau dua orang untuk mengisi peran sesaat sebagai bapak-bapak tukang sabung ayam.”
Ekspresi Kaspian mengeruh. “Jadi sembilan peran, dong?”
“Kubilang apa.” Nova melipat tangan.
Kala Kaspian memelotot kepadanya, Sastra mengacungkan jari. “Peran penyabung ayam itu hanya perlu muncul tiga detik. Siapa saja bisa jadi penyabung ayam itu tanpa ganti pakaian. Misalnya, yang jadi Raden Putra nanti bisa melepas mahkotanya sejenak dan pakai kaos longgar untuk menandakan penyabung ayam dari kelas menengah ke bawah.”
Suasana menghening, semata-mata karena jalan tengah dari Sastra yang membuat tenang. Barangkali hanya Soya yang kesetanan, karena tak pernah mencatat ide sebanyak itu dalam waktu begitu cepat, ketika banyak yang bersuara dan melontarkan ide.
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas