"Dhira!" Aku menoleh saat Bang Adnan memanggilku.
"Kenapa, Bang?"
Dari raut wajahnya, sepertinya ada yang hendak dikatakan.
"Boleh kita ngobrol sebentar?" tanyanya kembali dan aku perlahan mengangguk, lalu duduk berhadapan di kursi teras toko.
Aku tidak bertanya apapun. Rasanya lebih nyaman menunggunya buka suara. Bang Adnan masih seperti yang dulu. Selalu gugup untuk berbicara kepada lawan jenisnya. Hal itu membuatku melupakan kejadian semalam kenapa dia menelpon Mawar.
"Dhira, ada yang mau kusampaikan," katanya lagi. Dengan suara yang masih gugup.
Kini rasa gugup itu berpindah ke tubuhku, khawatir dan was-was sekaligus sangat penasaran dengan apa yang hendak disampaikannya. Apalagi Bang Adnan sering menarik napas dalam-dalam.
"Begini, Dhira. Gimana kalau aku menjumpai keluargamu setelah adikmu wisuda?" tanyanya sambil sekilas memandangku.
Aku mengernyitkan dahi, kenapa dia tahu Mawar hendak wisuda?
"Kok Bang Adnan bisa tahu kalau adikku mau wisuda?" tanyaku hati-hati dengan penuh keheranan.
Bang Adnan tampak gelagapan, tapi dengan cepat berusaha menetralkan raut wajahnya.
"Seingatku kamu pernah bilang," jawabnya berusaha mencari alasan.
Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi karena banyaknya pikiran hingga aku lupa.
"Oh, iya. Ya udah Bang, gak apa-apa. Sekarang kita fokus kerja aja dulu," kataku yang disambut Bang Adnan dengan mengangguk.
"Oh, iya. bukannya dalam waktu dekat akan ada kunjungan dari tim pusat? Sepertinya kita harus fokus menyiapkan menu kita yang terbaru untuk kita sajikan demi menyambut mereka," ucap Bang Adnan memulai pembicaraan formal.
Sikapnya inilah yang selalu membuatku salut. Cara kerjanya selalu terlihat sempurna.
"Sepertinya kita perlu diskusi dengan semua karyawan, Bang," usulku.
"Kita rapat nanti sebelum pulang, walaupun masih lama, tetapi persiapannya harus lebih matang," jawabnya menyambut usulanku.
****
Aku merebahkan tubuh di sebuah kasur lusuh, di kamar kos yang jauh dari kata mewah. Ahh... lega sekali setelah pulang kerja karena bisa mengistirahatkan tubuh. Namun, saat hampir memejamkan mata, ponselku tiba-tiba berdering menandakan ada chat masuk. Dengan malas-malasan aku mengambil ponsel. Ternyata ada pesan baru dari Zahra. Dia sepertinya mengirimkan foto.
[Dhi, bukannya ini Bang Adnan, ya?]
Demikian pesan WA dari Zahra, sahabat setiaku. Orang yang sangat memahamiku.
Aku tersenyum melihat foto itu, tetapi chat yang Zahra kirim kembali membuatku memperhatikan foto itu lagi.
Kemudian aku membaca chat lanjutan dari Zahra
[Kok, Bang Adnan bersama Mawar?]
Setelah kuperhatikan benar-benar, aku baru sadar kalau di foto tadi ada Mawar yang tersenyum sangat manis menatap Bang Adnan dan Bang Adnan juga tersenyum. Aku berpikir, kenapa juga Bang Adnan tersenyum seperti itu.
[Kamu di mana?]
Aku kirim chat kepada Zahra dan langsung datang balasannya.
[Aku lagi di kafe bersama keluarga, gak sengaja lihat mereka]
Aku semakin curiga kenapa mereka bisa bertemu, lalu kukirim WA lagi ke Zahra.
[Terima kasih infonya, Ra]
Setelah mengirimkan chat itu aku memilih mematikan data, karena teramat capek. Aku memilih ingin tidur sekarang. Akan tetapi, serta-merta aku teringat kalau belum menunaikan Salat Isya.
Dengan agak malas aku pun bangkit menuju kamar mandi. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka di ruang tamu. Dari suaranya, tampaknya ada Ayah, Emak, Bang Munar dan Kak Nisa. Pembicaraan mereka membuatku menyimpulkan tentang kiriman foto dari Zahra dan sekarang aku yakin bahwa yang ada di foto itu memang benar-benar Mawar.
Akan tetapi kenapa Mawar bersama Bang Adnan? Muncul lagi pertanyaan itu dalam benakku.
****
Seperti peraturan baru kalau hari libur maka The Hans Bakery akan tutup. Begitu juga dengan hari ini sehingga aku bisa jalan-jalan bersama Zahra. Kami mampir ke sebuah kafe. Kali ini aku yang mentraktirnya, walaupun dia sempat menolak berkali-kali. Namun, aku tetap memaksa. Jadilah sekarang kami ada sebuah kafe yang lumayan ramai pengunjung. Kafe ini kalau tidak salah termasuk yang baru grand opening seminggu lalu.
Kebiasaan sekarang, kalau sedang libur atau pulang kerja aku memilih menghabiskan waktu bersama Zahra daripada hanya di rumah yang membuat emosi dan tensiku naik seketika. Seperti biasa kalau bertemu, kami pun saling bertukar cerita yang tidak ada habisnya. Walaupun sering berkomunikasi terkadang obrolan kami juga sangat ngawur sampai mengundang gelak tawa.
Akan tetapi, seketika Zahra menghentikan tawanya, lalu wajahnya mendadak pias. Aku tidak tahu penyebabnya. Kemudian, dia mendekatkan wajah ke arahku dan aku juga melakukan hal yang sama.
"Bang Adnan bersama Mawar ada di belakangmu," bisiknya hati-hati.
Aku membulatkan mata saking kagetnya. Aku hampir langsung menoleh kalau saja Zahra tidak memberikan kode agar jangan berisik.
Zahra memberi kode agar aku membuka ponsel. Ternyata, dia mengirimkan chat.
[Jangan gegabah. Santai saja. Kamu jangan sampai ketahuan]
Demikian isi chat dari Zahra.
Aku mengangguk dan bersikap seolah biasa saja agar mereka tidak curiga. Posisi Bang Adnan yang tepat di belakangku membuatku bisa mendengar jelas apa yang dia katakan. Ditambah lagi aku menggunakan alat bantu dengar. Tampak Zahra juga berusaha memasang telinga untuk mendengarkan obrolan mereka.
"Untuk apa kita kemari?" tanya Bang Adnan pelan.
"Cuma pengen jumpa Bang Adnan, aja," jawab Mawar dengan suara yang dibuat semanja mungkin.
Astaga Sampai segitunya tingkah Mawar untuk menarik perhatian Bang Adnan.
"Lain kali jangan gini lagi. Kamu itu calon adik iparku. Aku gak enak sama Dhira," ujar Bang Adnan terdengar dengan penuh penekanan.
Bang Adnan memang dikenal cuek dan pendiam, tetapi terkadang dia juga suka bicara penuh penekanan jika yang bicarakan itu sangat penting.
Mendengar perkataan Bang Adnan kepada Mawar, aku tersenyum lebar, bahkan Zahra juga. Jujur. Jantungku berdetak sangat kencang mendengar penuturan Bang Adnan tadi. Ternyata, dia bisa romantis juga padahal terlihat sangat cuek.
"Emang gak boleh, Bang?"
Kini suara Mawar terdengar nada marah. Loh, kenapa dia marah, coba? Pikirku lagi.
"Saya sangat keberatan, bahkan tadi kamu mengatakan butuh bantuan makanya saya datang. Bantuan apa?" tanya bang Adnan.
“Aku cuma pengen ketemu aja” terdengar jawaban Mawar semakin kecentilan.
"Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya pamit."
Aku menyadari kursi di belakangku bergeser, tetapi rupanya Bang Adnan kembali duduk karena perintah Mawar.
"Eh tunggu, Bang."
Bukan cuma aku, bahkan Zahra juga mengepalkan tangannya, terlihat emosi mendengar perkataan Mawar.
"Bang, lusa aku wisuda. Aku harap Bang Adnan datang, ya," bujuknya dengan penuh harap.
Bang Adnan tidak langsung menjawab. Berpikir sekian detik.
"Insya Allah." Akhirnya terdengar jawaban dari Bang Adnan.
Setelah itu aku tidak mendengar apa-apa lagi, Bang Adnan rupanya langsung pergi. Kini tinggal Mawar yang duduk di sana.
"Kenapa sih dia milih cewek itu, apa kelebihannya, coba? Bukannya aku yang lebih menarik dari dia." Aku mendengar perkataan Mawar yang jelas tampak kesal.
Sekilas aku juga melihat Mawar bangkit dari duduknya. Saat itu, mereka tidak memesan apapun.
Aku menghela napas. Entah apa maksudnya.
"Kok, kamu punya adik seperti Mawar? Mungkin kalau aku di posisi kamu, sudah kugiling sampai halus," kata Zahra jengkel.
Aku melihat wajah Zahra tampak marah sampai giginya bergemeretak sambil mengepalkan tangannya.
"Belum lagi make-up-nya yang menor, lebih cocok jadi tante-tante girang," tambah Zahra makin geram.
Aku tersenyum, setidaknya bukan cuma aku yang menganggap Mawar seperti itu.
"Kita makan saja biar kenyang. Mengumpat yang tidak jelas tidak akan membuat kenyang," ucapku mengakhiri pembicaraan. (*)