Perlahan-lahan Café Memento Mori makin ramai oleh pengunjung. Yah, nggak rame-rame amat kayak café yang viral atau café yang pengunjungnya sampe waiting list berjam-jam sih… tapi lumayanlah, nggak terlalu sepi juga.
Mungkin karena café ini berdekatan sama sekolah dan ruko. Letak café ini juga dekat dengan jalan besar.
Beberapa strategi marketing sudah coba kujalankan untuk beberapa bulan belakangan ini, mulai dari konten organik, iklan, giveaway, riding the wave atau ikutan trend/challenge viral, sampai sewa beberapa Influencer atau KOL Nano (1000-10.000 followers).
Performa konten-konten sih naik turun ya, kadang coba kuteliti apa sebab naik dan turunnya. Ada beberapa yang copywriting hooknya memang lebih baik jadinya viewsnya bisa banyak, ada juga yang performanya bagus karena pakai sound viral. Tapi banyak juga yang malah menurun performanya.
Kayaknya selama ini beberapa pengunjung café datang karena lihat iklan di Instagram atau karena lagi ada promo khusus sekitar 20%-40% di minggu-minggu tertentu. Namun pagi ini dalam meeting mingguan, Dian memberitahuku bahwa ke depannya kita nggak bisa lagi pakai banyak promo dan iklan untuk berhemat.
Sore itu aku sedang membuka laptop di dekat meja kasir. Aku sedang brainstorming ide konten dan strategi marketing untuk sebulan ke depan. Pakai strategi apa lagi ya…? Semua strategi yang kupelajari di bootcamp hampir semuanya udah kupraktekkan. Ke depannya bakal jarang ada promo dan iklan lagi, jadi mungkin lebih banyak ke strategi organik…
Pintu café tiba-tiba terbuka, aku menyenggol Lala yang sedang main HP di meja kasir. Dia otomatis berdiri dan menyapa pengunjung.
“Selamat datang, Kak… bisa dilihat menunya.”
Pengunjung itu mendekati meja kasir. Aku masih fokus pada laptopku. Kadang aku juga menjaga meja kasir kalau Lala lagi ke toilet, istirahat atau sholat. Tapi karena saat ini ada Lala yang melayani pengunjung, aku bisa fokus pada pekerjaanku.
“Serius amat,” sebuah suara yang kukenal mengagetkanku.
Aku menoleh ke arah pengunjung itu. “Devan?!”
Devan hanya tersenyum tipis sambil membawa menu yang dilaminating ke salah satu meja di dekat jendela.
Kini gantian Lala yang menyenggolku. “Temenin, Teh!”
“Dih, kenapa harus nemenin dia? Aku masih kerja.”
“Udah jam setengah 7 Teh, udah bukan jam kerja Teteh.”
Aku melirik jam di laptopku. Iya juga ya… saking asiknya kerja sampai lupa waktu kalo udah pulang. Tapi staff-staff yang di dapur belum ada yang pulang juga, mungkin karena lembur ngerjain pesanan.
“Udah sana, sapa dulu…” Lala menggodaku lagi.
“Ih dia kan kesini nggak ngunjungin aku, tapi karena ini café kakaknya.”
“Tetep aja, Teh…”
Karena aku males dengerin kecerewetan Lala, aku akhirnya bangkit dari kursiku. Aku membereskan laptop dan semua barang-barangku ke tas.
Okay, aku akan menyapa Devan sebentar, habis itu langsung pulang. Aku pun melangkah ke arah Devan yang sedang asyik dengan laptopnya.
“Bingung pesen apa?” itu kalimat yang keluar dari mulutku daripada kata sapaan. Habis aku nggak pandai basa-basi, sih. Aku suka kagum sama orang-orang yang bisa deket sama orang dengan ngomongin cuaca lah, ngomongin konser, ngomongin diskon barang, dll.
Devan menengadahkan kepalanya ke depan, menatapku. “Udah pesen kok, kan pakai QR Menu.”
Oh… kalau gitu kenapa lu bawa menu fisiknya juga dari meja kasir, ingin rasanya aku bilang gitu. Tapi kan gak sopan hehe. Walaupun Devan mantan temen kerjaku, tetep aja dia adeknya owner dan pengunjung yang harus dihormatin.
“Kerjaan lo udah selesai, Ra? Duduk aja,” ujarnya. Aku pun menarik kursi dan duduk di depan Devan.
“Lo lembur?” tanyaku sambil melihat ke arah laptopnya yang terbuka.
“Nggak, ngecek saham aja,” jawabnya.
Seseorang kayak Devan emang udah hampir pasti main saham sih, atau punya investasi cadanganlah. Devan pernah bilang kan dia suka ekonomi, jadi mungkin dia punya penghasilan sampingan dari investasinya itu.
“Kak Dian udah pulang, btw,” aku memberikannya info yang mungkin mau dia tanyakan.
“Udah tau, tadi gue wa dulu pas mau kesini. Gue emang pengen mampir aja.”
“Oh…”
Udah kali ya, basa-basinya? Sekarang mungkin waktunya gue pulang.
Baru aja mau bangkit dari tempat dudukku, handphoneku bergetar pertanda ada pesan Whatsapp yang masuk.
Tasya: Ra, gue main ke café lo sekarang kali ya? Udah otw nih!
Alis mataku terangkat seketika, mataku melebar. Tasya mau kesini? Sekarang?? Haduuh baru aja mau pulang.
Yah tapi Tasya emang baru kesini sekali sih… lagian dia kan udah on the way katanya, nggak enak kalo aku pulang duluan.
Therra: Yaudah buruan, gue tungguin ya! Ada tamu special nih!
Tasya: Siapa? Pak Jansen? Wkwkwk
Therra: Ada deehh, makanya buruan kesini.
Aku tersenyum membayangkan Tasya yang kaget melihat Deva di café. Aku emang belum sempet nyeritain tentang pertemuanku dengan Devan pas Grand Opening. Waktu awal-awal disini, curhatku ke Tasya seputar pekerjaan semua. Maklum, shock culture kerja di dunia F&B dari yang tadinya di Teknik.
“Kenapa lo ketawa sendiri?” Devan menatapku dengan bingung.
“Nggak apa-apa…” jawabku sambil menahan senyum.
“Aneh banget lo,” ujar Devan singkat.
Ini mungkin perasaanku aja, tapi walaupun baru ketemu lagi sama Devan sejak kunjungannya di cafe, aku merasa hubungan kami lebih cair sekarang. Kayaknya lagi ketemu sama temen lama, walaupun di kantor dulu kami cuma bicara masalah pekerjaan aja.
“Gimana, 3 bulan kerja disini?” tanya Devan. Kini dia sudah melipat laptopnya dan melipat tangannya di depan meja.
“Yah… seru, lumayan.”
“Mendingan Pak Jansen apa kakak gue?”
“Kak Dianlah, jauuuh!” jawabku sambil merentangkan tangan keatas, sebagai perbandingan perbedaan Dian dan Jansen. Kami berdua tertawa.
Pesanan Devan pun datang. Lala menghidangkan sebuah lemon tea dan macaroni schotel ke depannya.
“Pesen aja, Ra. It’s on me,” Devan menawarkan.
“Nggak, ah. Tadi sore baru nyemil cilok.”
“Ya udah, gue sambil makan ya,” ujar Jansen sambil mulai menyantap makanannya.
“Devan?!” seru seseorang yang baru membuka pintu. Kami menoleh ke arah Tasya yang menatap kami dengan terkejut. 3 orang pengunjung café lainnya ikut menengok ke arah kami.
Aku berdiri dan memberi gestur untuk menyuruh Tasya ke meja kami.
Tasya masih berdiri dengan melongo di samping meja.
Aku tidak bisa menyembunyikan tawaku. “Sumpah lo dramatis banget! Orang-orang bisa ngiranya lo lagi mergokin cowok lo yang selingkuh tau! Hahaha…!”
Tasya dan Devan pun ikutan tertawa mendengarkan teoriku. Kami pun duduk bertiga. Aku menceritakan tentang Devan yang datang di Grand Opening Café dan fakta bahwa Devan adalah adiknya Dian, owner Café ini.
“Lagian lo nggak pernah cerita apapun ke gue!” keluh Tasya setelah memesan menu. “Kaget gue, tiba-tiba disini ada Devan!”
“Iya, tadi baru kita ketemu di kantor ya,” timpal Devan.
“Tau! Tau gitu gue nebeng mobil lo kesininya!”
“Teh Therra!” tiba-tiba Lala memanggilku dari meja kasir. “Bu Dian telpon, katanya ada yang mau ditanyain terkait report marketing!”
“Oh, okay!” seruku. Aku pun pamit kepada Tasya dan Devan sambil bergegas ke meja kasir untuk mengangkat telepon dari Dian.
Ternyata Dian menanyaiku beberapa hal dalam report yang baru sempat diceknya sekarang. Tadi habis meeting emang Dian buru-buru pergi karena ada acara di sekolah anaknya. Enak banget ya jadi owner cafe, jam kerjanya suka-suka dia.
Sambil mendengarkan telepon dari Dian, pandanganku beralih pada Devan dan Tasya yang kini asik mengobrol di meja café. Mereka sesekali tertawa dan seolah melupakan dunia di sekitar mereka, tenggelam dalam topik obrolannya. Aku nggak pernah melihat mereka seakrab itu di kantor.
Ada sebuah perasaan aneh dan menggelitik yang kurasakan di dadaku. Kenapa ini ya…?