LAMPU kamar Arien masih menyala semalam ini. Suara lagu melankolis mengalun pelan
Dia menyalin ulang dokumen lama dari laptop lama OSIS. Bukan karena tugas, tapi karena penasaran.
Di folder itu, dia menemukan satu video lama—rekaman kampanye internal.
Dia menatap sosok yang muncul di layar, dia, Laras, Jasmine, Dwipa, Hannah. Mereka saling sindir, bercanda, kompak.
Tapi yang paling sering muncul di sebelahnya: Laras.
Arien menatap layar.
“Laras...”
Dia teringat pandangan kecewa Laras waktu terakhir mereka bicara.
Andai angin mengulang sebuah masa yang t'lah usang
'Kan kutelan isi bumi hanya untukmu
Terima bunga maafku, layu termakan egoku
Meski ku tahu tak bisa
Entah kenapa lagu karya 'The Lantis' seperti menamparnya
Keesokan harinya, saat Arien mau ke sekolah, suasana di gerbang ramai. Anak-anak berkerumun, berbisik-bisik.
Arien berhenti.
“Eh, lo denger? Laras kecelakaan.”
Arien langsung membeku.
“Laras?”
“Iya. Katanya pas naik motor pulang dari tempat les. Ditabrak mobil. Untung gak parah banget, tapi katanya sempat gak sadar di UGD.”
Arien langsung pergi ke rumah sakit.
Tak tahu kenapa, langkahnya cepat. Matanya panas.
Dia tak ingat kenapa dia peduli. Tapi rasa peduli itu nyata.
Di ruang tunggu rumah sakit, dia ketemu Hannah dan Jasmine. Mereka kaget, tapi tidak mengusirnya.
“Kamar 203,” bisik Jasmine.
Arien masuk pelan.
Laras masih tidur. Tangannya diperban. Wajahnya pucat, tapi damai.
Arien duduk di kursi.
Diam. Lama.
Lalu dia bicara pelan
“Aku tidak inget kenapa kamu penting buatki. Tapi waktu denger kamu kecelakaan... Aku ngerasa sesak.”
Dia menarik napas.
Ruangan rumah sakit sunyi. Bunyi mesin infus dan alat monitor berdetak pelan. Di ranjang, Laras terbaring lemah. Napasnya pelan, mata masih tertutup.
Arien duduk di kursi sebelah, tangan menggenggam ujung selimut.
Dia masih bingung kenapa datang. Masih bingung kenapa matanya berkaca-kaca.
Hening. Lalu...
Jari Laras bergerak.
Arien gak sadar.
“Aku gak inget hal-hal besar. Tapi tiap kali denger nama kamu, hati tuh kayak yang ditarik. Sakit. Tapi juga... hangat.”
Kelopak mata Laras bergetar.
Arien tunduk. Suaranya makin pelan.
“Aku tidak tau kau siapa... tapi kamu penting.”
“Lo... masih di situ, ya?” suara itu terdengar, lemah dan pelan
Arien langsung menatap ke arah Laras.
Matanya melebar.
“Laras?”
Laras pelan-pelan membuka mata. Dia menatap Arien samar-samar.
“Arien…” bisiknya.
Air mata jatuh dari mata Arien, tanpa sadar.
Dia pegang tangan Laras, pelan.
“Gue di sini.”
***
Ruang seni sore hari, sepi. Tapi kali ini ramai suara ketukan, lipatan kertas, dan tawa kecil. Mereka berlima—Arien, Laras, Jasmine, Hannah, Dwipa—lagi bikin mading edisi nostalgia organisasi.
Arien duduk di lantai, ngelipat kertas origami. Tangannya kaku, tapi dia senyum.
“Lo dulu paling jago lipat ini,” kata Hannah.
Arien cengar-cengir. “Sekarang kayak anak TK.”
“Tapi masih lucu,” timpal Jasmine.
Dwipa hanya mengangguk. Tapi di matanya ada ketenangan—kayak batu besar di pundaknya akhirnya bisa dia lepas.
Laras duduk di samping Arien, sesekali bantu nunjukin lipatan.
“Lo inget satu-satu?” tanya Arien pelan.
“Gak harus. Tapi kalau lo ngerasa cukup... itu udah cukup.”
Arien berhenti. Menatap mereka semua, satu-satu.
“Anehnya, tiap kali bareng kalian... rasanya kayak... rumah. Padahal otak gue nol. Tapi hati gue kayak bilang: ini tempat lo.”
Dia menghela napas, pelan.
“Gue emang gak inget, tapi gue percaya. Gue percaya sama rasa ini.”
Laras, pelan-pelan, genggam tangan Arien.
“Selamat datang pulang, Ri.”