Saat itu liburan kelulusan sekolah menengah pertamaku belum selesai, tapi cuti ibuk sudah habis. Ya, gara-gara aku sih. Kemarin aku minta hadiah ulang tahun lebih awal buat ajak ibuk liburan ke Jogja, padahal ulang tahunku masih tiga hari lagi. Kalau sudah begini, ibuk anti komentar soal permintaan anak semata wayangnya. Apapun, selagi ibuk mampu, dan selagi itu bukan hal yang buruk, mulut ibuk nggak pernah berkata tidak padaku.
Sebagai remaja tanggung, update facebook itu seperti sebuah keharusan. Setelah ibuk pamit dengan motor bebeknya, dan aku melambai dari balik jendela, aku kembali fokus dengan banyaknya tangkapan kamera digital ibuk. Teras kami persis berhadapan dengan jalan besar, sehingga aku bisa melihat tubuh ibuk hilang di pertigaan. Kami persis hanya berdua di Jogja, tanpa saudara, tanpa kerabat jauh seperti sepupu, tapi aku tidak keberatan dengan itu, rasanya ada ibuk saja semua sudah pas. Setelah memilih tiga foto terbaik dengan latar suasana malam Maliboro, kami berdua tersenyum manis di beranda facebook milikku.
Kalau ada nominasi single parent paling sukses, ibuk pasti sudah juara satu.
Aku sering penasaran, bapak itu orangnya seperti apa ya. Dia pasti beruntung sekali bisa dapetin perempuan seperti ibuk. Ibuk cantik, baik, masaknya enak, setia pula. Sudah nggak terhitung berapa kali aku menguping nasehat tetangga, yang meminta ibuk untuk menikah lagi sepeninggal bapak gugur dalam tugasnya sebagai seorang polisi. Namun, ibuk selalu menjawabnya dengan senyum. Katanya cintanya sudah habis di bapak.
Aku setuju, dalam hidupku ini, aku nggak merasa ibuk kurang memberikan perhatiannya padaku, ibuk paket komplit berkaret dua dengan kasih sayang spesial yang Tuhan berikan untukku. Jadi, baik aku maupun ibuk, kami berdua menggantungkan kebahagiaan kami pada satu sama lain, aku tidak bisa hidup tanpa ibuk dan ibuk mungkin tidak akan bertahan hidup jika tidak ada aku.
***
Hari ini, aku sudah janji sama ibuk untuk pergi dengan Siti dan akan dirumah sebelum surup magrib. Aku diantar pulang ayahnya Siti dari rumahnya yang ada di Laweyan karena hari ini aku dan teman-teman punya janji main ke Sriwedari di hari ulang tahunku. Tepat pukul lima ketika aku datang, di mana biasanya ibuk sudah duduk-duduk di beranda rumah menungguku pulang dengan teh nya. Ini aneh, ibuk nggak biasanya terlambat begini, atau mungkin pasar malam di ujung pertigaan balai desa yang kemarin ramai sekali belum juga selesai, jadi ibuk terjebak macet.
Sepanjang aku menunggu ibuk, yang lahir dari kepalaku ini hanya kemungkinan-kemungkinan baik seperti, bisa jadi ibuk sedang membeli kue black forest dengan hiasan lilin angka lima belas untukku. Mungkin saja, ibuk sedang terlambat karena mengantre di kios aksesoris untuk memberikan aku hadiah.
Aku sama sekali tidak membayangkan bahwa ibuk sedang membutuhkanku—saat salah satu tetanggaku yang bertubuh gempal yang akrab kusapa Bude Lastri itu datang tergopoh-gopoh didampingi Pak RT yang juga sambil menangis, memberikan kabar bahwa ibuk tengah berada rumah sakit. Saat itu aku masih menonton TV dan tidak mengerti, mengapa ibuk berada di rumah sakit dan bukannya pulang menemuiku.
Berita kecelakaan ibuk akhirnya sampai kepadaku setelah tiga jam aku pulang dari Laweyan, saat aku masih memikirkan ibuk kalau-kalau ia sedang antre membeli kue black forest. Ketika aku menurut untuk mengekori Bude Lastri ke rumah sakit, semua orang berebut untuk memelukku, mereka bilang, "Sabar ya, Nduk." Kudengar samar, motor ibuk ditabrak sebuah mobil yang tidak bertanggung jawab melintasi jalan alternatif dengan kecepatan tinggi. Ringsek total.
Kalau boleh jujur, selama perjalanan menuju rumah sakit, aku tidak berani membayangkan seperti apa keadaan ibuk dari obrolan Bude Lastri dan Pak RT. Aku masih menangis diam-diam sambil berdoa, bahwa saat aku bertemu ibuk di rumah sakit nanti, ibuk hanya mendapatkan beberapa goresan yang hanya perlu ditangani dengan obat merah. Ibuk akan demam tiga hari karena luka-luka itu, mendapatkan suntik tetanus dan akan sembuh satu minggu kemudian. Itu adalah kemungkinan paling parah yang bisa aku bayangkan.
Saat mobil milik Pak RT memasuki pelataran parkir rumah sakit, air mataku belum kering juga. Bude Lastri menggenggam tanganku keras seolah aku tidak boleh lepas. Di sana, di depan pintu yang kaca pandangnya tidak sampai tinggi badanku, aku melihat tubuh ibuk secara samar, berwarna merah, dihiasi kemeja garis biru kesukaan ibuk. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Aku membuka mata di kamarku sendiri, pengalaman pingsan pertamaku sudah kupastikan sangat tidak ingin kuulangi. Kalimat pertama yang aku ucapkan adalah, bahwa aku sangat membenci mimpi buruk dengan model seperti ini. Aku lebih baik bermimpi dimakan monster naga berkepala tujuh daripada harus bermimpi Ibuk tidak ada.
Dengan perasaan kepala yang masih bergoyang, aku keluar kamar dengan bersandar pada daun pintu. Aku berharap, ibuk dengan daster merah kebanggaannya sedang duduk-duduk santai di ruang TV, lalu mengomel karena lagi-lagi aku tidur pada sore hari. Untuk kali ini, aku pasti nggak akan kesal meski ibuk menjewerku.
Namun, sosok Bude Lastri yang sudah lengkap dengan setelan berkabungnya membuat aku kembali ke dunia nyata. "Ibumu sedang dimandikan, Nduk. Sabar ya.”
"Kenapa ibuk nggak mandi sendiri?"
Aku ingat pelajaran sabar dari ibuk. Biasanya, ibuk selalu repot kalau aku sudah cerewet di dapur karena masakan ibuk yang lama sekali matangnya padahal aku sudah sangat lapar. Untuk kali ini, apakah ibuk sedang membuatku belajar arti kesabaran yang lain?
Ibuk selalu bilang, kalau waktu sebetulnya selalu memberikan kita kesempatan jika dijalani dengan sabar. Saat ibuk masak, waktumemberikan aku kesempatan buat liat cara ibuk masak, untuk tahu resep apa yang ibuk pakai, untuk tahu bumbu apa yang ibuk gunakan. Kali ini berbeda. Sampai tubuh ibuk dibaringkan di ruang tamu, diselimuti kain jarik, dipeluk kedinginan, aku sama sekali nggak tahu, bentuk kesabaran macam apa yang sedang ibuk ajarkan.
Padahal ibuk janji mau merayakan ulang tahunku, kan?
Malam itu, sebagai remaja tanggung. Hanya momen inilah yang paling dan tidak akan pernah kuunggah di facebook. Dan mungkin sejak saat itu, aku mulai sadar bahwa, tidak semua perasaan, entah itu senang atau sedih, dapat dibagikan begitu saja.
Malam itu, aku nggak bisa tidur. Namun, padahal sudah pukul sebelas malam, aku sudah tidak bisa menangis lagi. Rasanya mataku perih karena selalu berair. Aku berbaring di sebelah ibuk, karena ini akan jadi yang terakhir. Malam itu, Bude Lastri juga menginap, padahal rumahnya hanya berjarak lima langkah macam lagu dangdut. Suara Pak RT yang samar kudengar dari teras sedang berbincang dengan banyak orang yang kutebak sedang mendirikan tenda.
Semasa hidup, bahkan sebelum menikah dengan bapak, ibuk sudah bekerja sebagai seorang perangkat desa. Ibuk bukan manusia yang macam-macam, kalau pekerjaannya selesai, dia pasti akan langsung pulang. Pekerjaan ibuk hanya seputar surat menyurat dan mengurusku. Dan malam ini, ibuk melepaskan semua pekerjaan itu.
Aku resmi menjadi seorang yatim piatu sehari setelah aku berusia lima belas tahun. Pukul tujuh pagi, tubuh ibuk dikebumikan. Aku berada di samping nisan ibuk, berpura-pura menjadi orang yang paling kuat sedunia.
Bude Lastri masih di sampingku. Aku sampai bosan menghitung sudah berapa kali dia menepuk pundakku. Aku sudah bilang, kalau aku sudah baik-baik saja sekarang. Meskipun bohong, aku berusaha untuk terlihat bisa dipercaya.
Sebelum mereka beranjak, aku meminta izin untuk tetap ada di samping ibuk sebentar lagi. Jadi Bude Lastri dan Pak RT bisa beristirahat. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih entah harus seberapa banyak, karena mereka mau mengurusku dan ibuku.
Setelah dua jam bersandar di nisan ibuk, aku mulai mengantuk. Tetapi aku mengenal suara dari kejauhan yang menarikku kembali. "Serayu, ayo pulang. Tantemu sudah datang."
Tante?