Dalam dunia kecil ini, Marie takut akan tiga hal. Pertama, setan permen sugus. Kedua, ancaman tidak naik kelas. Ketiga, dan yang paling mengerikan adalah Bunda yang berkacak pinggang saat mengetahui ia lebih suka menggambar daripada menghafal perkalian.
Maka jam tiga pagi ini, Marie gemetar menatap Bunda yang sudah berlagak garang. Diam-diam ia merapatkan selimut guna menutupi majalah Wizard Word yang masih menampilkan iklan pendaftaran Wizard Academy.
“Marie....” Bunda menghela napas kasar.
Marie menunduk. “Maaf. Aku asyik menggambar.”
Bunda berdecak seraya memijit tulang hidung. “Jangan berlebihan. Kamu tidak bisa jadi apa-apa dari gambarmu.”
Pintu kamar Marie berderit saat Bunda menutup pintu dengan tidak rapat. Dari celah pintu itu, Marie mampu merasakan rasa kecewa yang mulai tumbuh. Gadis kecil itu menghela napas dan menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur. Matanya mulai terasa berat saat ia menghitung jumlah genteng.
“Padahal aku kan masih SD.” Marie cemberut sambil menarik selimut.
***
“Bu guru ... wizard word itu artinya apa?”
Maam Rose tersenyum seraya menandatangani pekerjaan rumah Marie. “Wizard itu penyihir, word itu kata.”
“Berarti wizard word itu kata-kata penyihir?” Mata Marie berkedip-kedip.
Kening Maam Rose sedikit mengerut. “Ya ... kurang tepat, tapi kalau buat kamu boleh lah. Kamu tahu kata-kata itu dari mana?”
“Eh.” Marie menggaruk tengkuk. “Dari ... cerita dongeng. Aku mau jadi Wizard, Maam.”
Dua acungan jempol kemudian Marie dapatkan dari Maam Rose. Guru muda itu tersenyum bangga seolah Marie baru saja memenangkan lomba. Sebagai pembimbing bagi anak-anak Maam Rose jelas melakukan hal tersebut hanya untuk membangun kepercayaan diri Marie. Namun, bagi Marie ucapan Maam Rose adalah lampu hijau untuk mengisi formulir Wizard Academy.
Formulir itu hanya diisi dengan nama, alamat, umur, hobi, dan hal apa yang diketahui tentang penyihir. Bahkan tidak ada petunjuk ke manakah formulir itu harus dikirimkan. Hanya ada kalimat 'isilah dan tunggu' di pojok bawah halaman majalah. Marie menutup bolpoinnya, seketika merasa bahwa ini adalah sebuah penipuan. Lagi pula ... sihir tidak mungkin ada di dunia ini ‘kan?
“Marie, tidur!” Komando Bunda melengking dari kamar sebelah.
Marie buru-buru meletakkan majalah tersebut di bawah bantal lalu mematikan lampu. Hari ini ia tidak ingin mendengar amarah Bunda, jadi lebih baik libur menggambar. Siapa tahu jika tidur ia dapat berminpi menjadi seorang penyihir.
Jam-jam berikutnya berlalu dengan damai. Marie tidur nyenyak sambil memeluk guling. Namun, tepat tengah malam, majalah di bawah bantalnya bercahaya. Marie sontak membuka mata begitu menyadari bahwa majalah tersebut menjadi serupa lubang yang perlahan menyedot dirinya.
Marie ingin berteriak, tetapi teriakannya seolah tersedot ke dalam lubang. Semua mengabur dan gelap, hingga tiba-tiba ia menyadari sudah terduduk di sebuah aula besar yang berisi para manusia dengan rambut dan mata berwarna-warni. Mereka semua menatap Marie yang terduduk di lantai dengan ekspresi heran sambil meneruskan perjalanan.
Saat itu Marie menyadari bahwa piyama bergambar bulan sabitnya telah berubah menjadi setelan kemeja putih berbalut jas hitam. Pita merah yang cantik tergantung di lehernya. Marie ternganga, buru-buru ia bangkit untuk melihat rok lipit hitam yang pas melekat di pinggangnya. Astaga, ini lebih keren seratus kali dari seragam SD..
“Halo, Marie ya?” Suara yang familiar itu terdengar dingin tetapi juga bersahabat.
Marie berbalik, mata hazelnya berjumpa dengan mata merah marun dari pemilik suara. Detik itu Marie merasa lega. Tangis yang nyaris keluar karena panik kini kembali sirna.
“F?” Mata Marie berbinar.
Si ‘F’ mengangguk dan tersenyum tipis. “Frayyen.”
Marie mengerutkan kening. “Fray-yen? Susah! Fay saja boleh?”
Frayyen menggaruk tengkuk. “Ya. Ikuti aku saja.”
Langkah kaki Marie dengan semangat mengikuti langkah kaki Frayyen. Di perjalanan ia terus memperhatikan fisik Frayyen dan orang-orang di sekitar yang berbeda dari bumi. Kulit putih pucat bersanding dengan mata dan rambut yang berwarna-warni. Namun, semuanya tampak rapi dan memiliki banyak uang. Bunda harus datang ke sini agar tahu tidak semua orang yang rambutnya warna-warni itu gagal!
“Jadi ... apa kau punya pertanyaan untukku mengenai Wizard Academy?” Frayyen membuka suara. Mereka kini berjalan di lorong yang sepi penuh dengan potret lukisan.
“Banyak!” Marie berseru penuh semangat. “Ceritakan padaku semuanya, dari awal.”
Alis tebal Frayyen mengerut, tetapi sedetik kemudian ia mengangguk. Tangannya menunjuk ke arah lukisan pertama di sudut ruangan. Tampak berbagai orang dengan warna rambut berbeda duduk di aula menyaksikan seseorang menyalakan obor. Mereka semua mengenakan jas dan gaun yang cantik, persis seperti potret para masyarakat Eropa zaman dahulu.
“Wizard Academy terbentuk bertahun-tahun yang lalu. Sekolah ini menaungi semua orang yang ingin belajar sihir. Khususnya untuk orang-orang Planet Magica yang terlahir dengan aliran sihir yang terbuka. Lukisan ini untuk memperingati pertama kali dibukanya Wizard Academy secara resmi.”
Kaki Frayyen terus melangkah, tangan kirinya tergerak menunjuk seluruh lukisan. “Semua lukisan ini adalah dokumentasi dari kegiatan di Wizard Academy. Kami belajar cara merapalkan sihir dengan mantra sederhana, melakukan kemampuan dasar seni, olahraga, bertarung, dan meramu. Di kelas remaja kami bisa bertualang menjelajah Planet Magica untuk kegiatan ekstrakulikuler, dan jika kau beruntung lalu memiliki sihir unik untuk dirimu, kau bisa jadi penyihr profesional.”
Manik mata Marie berbinar. Ia mengamati setiap lukisan tersebut sambil berpikir bahwa ia mungkin akan berkesempatan melakukan hal-hal serupa. Pasti akan keren jika ia bisa menunggangi pegasus atau bahkan terbang sendiri dengan kekuatan sihir. Tangan Marie menutupi mulut, menahan diri agar tidak berjingkrak-jingkrak sambil berteriak.
“Dan yang terakhir,” telunjuk Frayyen tertuju pada sebuah lukisan anak-anak yang memegang majalah ‘Wizard Word’, “merupakan program kami untuk mengatasi pengaruh sihir yang mulai tersingkir dari Bumi. Kami mencetak majalah dan mendatangi kamar para anak di bumi lalu memberikan majalah ini melalui jendela, seperti yang kulakukan padamu kemarin.”
Langkah kaki Frayyen terhenti kemudian. Ia tersenyum canggung kepada Marie. Hafalan sejarahnya sudah habis dan jujur saja Frayyen tidak menyiapkan kalimat apa pun untuk mengiklankan Wizard Academy lebih dalam.
“Jadi ... aku langsung terdaftar?”
Mata merah marun itu terbuka lebar. “Hei, kau tidak takut atau ingin pulang?”
Kening Marie mengerut. “Masa sudah sekeren ini aku mau pulang? Fay pikir aku gak mau jadi penyihir?”
Frayyen menatap manik hazel Marie dalam-dalam. “Kamu sungguhan? Aku bahkan belum ngasih kamu kalimat ajakan.”
Tawa geli Marie mengudara. “Kamu kan bukan sales! Lagian kan gak ada resiko dari jadi penyihir.”
Lorong lukisan itu seketika sunyi. Marie mengakhiri tawanya dan mulai menatap Frayyen yang terdiam seolah menyimpan sesuatu. Mata Marie berkedip beberapa detik. “Eh, ada ya?”
Frayyen tersenyum kecut, melihat antusiasme Marie justru membuatnya takut. []