Ren dan Sakha mencak-mencak karena Alan diam saja walaupun diperlakukan demikian oleh Sean. Mereka bersikap sok tua dengan mengeluarkan kalimat-kalimat wejangan. Namun, cowok itu malah tertawa mendengar celotehan dua bayinya. Memangnya dia harus melakukan apa? Sejak dulu Alan tidak peduli akan penilaian orang, sebab susah payah menjelaskan pun jika di mata mereka Alan sudah salah, akan tetap terlihat salah. Lagi pula, mereka belum lama saling mengenal. Terlalu dini menyimpulkan bahwa Sean jahat, sebab tidak semua orang selalu seperti yang terlihat. Mereka bisa lebih buruk dari yang diperkirakan, bisa pula lebih hangat dari yang dipertontonkan. Jadi, Alan memilih mengamati mereka dalam diam.
"Yah, kita pisah kamar. Hasil voting-ku malah nomor sembilan, sih."
Benar, padahal Alan sudah merasa nyaman satu kamar dengan Ren, meskipun dia berisik. Sekarang harus terpisah karena pemilihan kamar sesuai dengan hasil voting terakhir, yang artinya Alan satu kamar dengan Evan. Nuka satu kamar dengan Jean. Sean satu kamar dengan Saga. Kamar terakhir dihuni oleh tiga orang, yakni Sakha, Ren, dan Arthur.
Saat mereka hendak bersantai, tiba-tiba alarm dari ruang rapat berbunyi. Ketiganya langsung bergegas menuju ruangan tersebut, dan begitu sampai sudah ada Evan dan yang lain di sana.
Sebuah monitor tiba-tiba menyala. Tidak ada siapa pun yang muncul, hanya terdengar suara narator.
"Telepon genggam kalian ada di lemari kamar masing-masing. Silakan gunakan untuk berkomunikasi dengan pihak keluarga dan gunakan sebaik mungkin untuk promosi. Buat akun media sosial dengan menyertakan nama The Spotlight di belakang nama kalian. Contoh: Alan The Spotlight. Kalian boleh melakukan siaran langsung di media sosial dengan catatan tidak melakukan sesuatu atau mengeluarkan statement yang merugikan pihak perusahaan, media penyiaran, atau diri kalian pribadi. Challenge selanjutnya diberikan hari Minggu jam 06.00 WIB."
Setelah itu, monitor kembali mati. Mereka langsung bergegas ke kamar masing-masing. Sama seperti yang lain, Alan pun melakukan hal yang sama. Namun, jika teman-temannya tampak antusias karena hendak berkomunikasi dengan keluarganya, Alan justru terlihat cemas.
Pertama, sang bunda sudah pasti menghubunginya dan Alan tidak siap mendengar apa pun untuk saat ini. Kedua, dia dibebani untuk membuat media sosial. Masalahnya, apa yang harus dia suguhkan untuk mempromosikan dirinya sedangkan bicara saja sulit?
Dia mengambil ponselnya ke kamar, kemudian melipir ke studio rekaman, memilih menyepi di sana. Selama ini dia menghindari media sosial karena malas berinteraksi.
Alan memandangi layar ponselnya yang mulai aktif. Ada debaran aneh di dadanya begitu benda tersebut menyala. Bertepatan dengan itu, serbuan notifikasi masuk, dari teman sekolahnya dulu yang tidak sengaja melihat penampilannya di televisi, juga sang bunda. Dengan tangan sedikit gemetar, Alan mulai membaca pesan bundanya.
Bunda
Nak, ingat pesan Bunda. Kamu harus terlihat berbeda. Bagaimanapun caranya kamu harus menarik perhatian publik.
Bunda
Di X kamu rame lho, sampai #Alanthespotlight naik. Jadi kamu harus bikin media sosial. Aktif ngobrol sama mereka, nggak peduli kamu capek atau sakit kamu harus terus ngobrol sama mereka.
Bunda
Penyanyi aslinya pun sampai mengapresiasi.
Bunda
Ide kamu bunda suka. Dengan tampil ‘hancur’ di depan mereka, kamu berhasil membuat mereka bersimpati dan menempatkan kamu di nomor satu.
Bunda
Bunda juga aktif banget ngobrol sama mereka biar mereka tau Bunda ramah, kamu ramah, dan semakin besar kesempatan kamu buat menang.
Bunda
Jadi, tolong jangan kecewakan Bunda.
Bunda
Kalau kamu nggak bisa ngomong di depan umum, ayo setiap kamu pegang HP kita latihan di sela-sela kamu latihan untuk kompetisi. Jangan ngeluh capek. Harus ada yang dikorbankan untuk sebuah pencapaian.
Bunda
Buang dulu ego kamu buat jadi penyendiri. Kamu butuh dukungan banyak orang sekarang.
Bunda
Kalau kamu udah pegang HP, balas pesan bunda. Kirim screenshot media sosial kamu, nanti Bunda share biar mereka follow dan bisa ngobrol sama kamu.
Bunda
INGAT, BALAS PESAN MEREKA! BERAPA PUN PESAN YANG MASUK HARUS KAMU BALAS.
Saya
Iya, Bunda.
Pertanyaannya, bagaimana caranya? Jika tiba-tiba mengunggah foto, bukankah aneh? Video apa lagi. Apa yang harus dia katakan dalam video tersebut? Tiba-tiba minta dukungan? Live? Kalau sesuatu yang disiapkan saja bisa berantakan, apalagi bicara secara langsung.
Hal pertama yang Alan lakukan adalah membuat akun instagram, dan hanya dalam hitungan detik setelah dia mengubah foto profilnya, orang-orang berbondong mengikutinya. Nama teman-temannya muncul di rekomendasi. Tanpa mengikuti mereka, Alan mencoba mengintip apa yang mereka lakukan. Dengan percaya diri teman seperjuangannya mengunggah foto selfie mereka.
Apakah Alan juga harus melakukannya? Tapi caption-nya apa?
Kepalanya celingak-celinguk melihat sekitar, takut ada yang mengintip, kemudian merapikan rambutnya sedikit, dan berfoto. Beberapa kali Alan mengulangnya karena merasa tidak yakin dengan fotonya. Cowok itu kemudian membuka laman Instagram, mencoba mengunggahnya, tetapi memikirkan caption saja pusing.
Akhirnya, Alan mulai mengetik.
Terima kasih dukungannya. Dukung aku terus sampai akhir, ya.
"Gini, ya?"
"Nah, iya, A, gitu."
"Dek!"
Ren spontan tertawa melihat Alan kaget setengah mati. Sejak tadi dia dan Sakha mencari keberadaan lelaki itu, tetapi Alan menghilang begitu saja setelah menerima ponsel masing-masing.
"Kirain digondol Mbak Kun, ternyata lagi mikirin caption," ledek Ren.
Sakha di sampingnya ikut tertawa, sementara Alan tertunduk dengan pipi merona. Bagaimana lagi, dia tidak pernah melakukan ini karena memang tidak mau.
"Followers-nya udah banyak aja, A. Beda, sih, kalau hits."
"Gimana nggak hits, udah ganteng, suara bagus, cool gitu lagi."
"Bukan cool, tapi malu," bantah Alan.
Melihat Alan masih tampak bimbang "Udah, itu posting aja kenapa, sih, banyak banget mikir."
Dengan ragu, Alan menekan ikon bagikan. Jantungnya kembali berdebar menunggu reaksi mereka. Takutnya mereka tidak suka dan menyerangnya. Untuk saat ini, mereka diam saja sudah bagus. Kalau sampai menyerang, Alan tidak tahu bisa bertahan sampai mana.
Tak lama, notifikasi ponselnya berbunyi. Ren dan Sakha meskipun sibuk dengan media sosial masing-masing, tetapi penasaran juga pada Alan, jadi diam-diam mereka mengintip.
Purplelight01_ Matanya indah banget š„° bertahan sampe akhir, ya, Lan.
Sweetsugar_in Ganteng banget please! Benar-benar definisi calon bintang.
Nonanoni Alan, ya ampun suaranya bagus banget! Bertahan sampe akhir oke? Nggak sabar lihat kamu debut!
Tanpa sadar, sudut bibir cowok itu terangkat melengkungkan seulas senyum. Dia tidak menyangka jika mendapat pujian rasanya membahagiakan. Sudah lama dia nyaris tidak pernah mendengarnya, terutama setelah sang ayah pergi. Ayahnya yang selalu bilang, ‘Alan hebat, Alan terbaik, dan Alan sudah bekerja keras.’
"Followan dulu ayo!" ujar Sakha.
Alan mengangguk, dia membiarkan kedua bayi Marsupilami itu memainkan ponselnya dan mengikuti Instagram mereka, mereka juga melakukan hal yang sama, balik mengikuti Instagram Alan.
"A, janji, ya, kalau nanti terkenal jangan sombong-sombong."
"Apa, sih, Dek. Kita pasti terkenal bareng."
Entah sejak kapan dia mulai memanggil kedua bayi itu dengan sebutan ‘Dek’ tapi Alan nyaman dengan itu. Dia merasa menemukan sesuatu seperti ... keluarga?
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, alarm di ruang rapat kembali berbunyi. Dengan perasaan muka bantal mereka semua langsung berlarian ke ruangan tersebut.
Monitor kembali menyala, dan untuk kali kesekian hanya terdengar suara narator dari sana. Pengumuman mengenai challenge selanjutnya.
"Tulis satu lagu yang bercerita tentang kerinduan. Kalian diberi kebebasan untuk memilih genre dan menentukan aransemen. Lagu tersebut akan dibawakan hari Sabtu mendatang."
Kerinduan?
Di saat yang lain mulai gaduh memikirkan apa yang harus mereka tulis, sementara Alan langsung berpikir saat itu juga dan bukan perkara sulit menulis sebuah lagu. Dia mungkin seorang drummer, tapi dia terbiasa menulis lagu sejak duduk di bangku SMP. Awalnya, hanya iseng berpuisi, tetapi kemudian dia bisa menjadikannya sebuah lagu berbekal aplikasi piano dan drum pada ponsel pintarnya. Namun, sampai sejauh ini semua nyaris tidak pernah diperdengarkan pada siapa pun, jadi Alan takut jika hasilnya tidak begitu bagus.
Sakha yang tampak paling gusar. Dia masuk sini saja hanya bermodal suara. Diminta menulis lagu, rasanya nyaris tidak mungkin.
"Kenapa, Dek?" Pelan sekali Alan bertanya.
"Nggak bisa nulis lagu, A."
"Nanti kita belajar bareng oke?"
"Serius?"
Alan mengangguk.
Ren yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka langsung lebur ke dalam obrolan. "Boleh ikut?"
Sekali lagi Alan mengangguk, kemudian mengusap puncak kepala kedua bayinya. Mereka lucu, jadi Alan tidak mau mereka pulang. Alan hanya akan mengajari dasarnya, lirik dan lain sebagainya biar mereka yang menulis sendiri.
Bertahan sampai akhir, Lan... Aku dukung kamu buat maju terus... dua bayi juga berusaha bertahan sampai akhir yaa... saling dukung terus...
Comment on chapter Chapter 6 - Hal baru