Read More >>"> Cinta Sebatas Doa
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Sebatas Doa
MENU
About Us  

“Halo, Pak? …… Oh sudah datang? …. Iya baik, saya akan turun sebentar lagi.” Raya terlihat memutuskan sambungan di ponselnya.

“Je, aku ke lobby dulu ya, catering-nya sudah datang,” ujarnya. Aku mengangguk paham, lantas membuat gadis berkerudung itu melesat keluar ruangan. Kembali pada tugasku, kini aku pun sendirian merapikan barisan kursi-kursi untuk acara rapat orangtua murid dengan dewan guru siang ini. Suasana terasa hening. Hanya desingan mesin AC yang terdengar mengisi ruang serbaguna dengan luas hampir 25 meter persegi ini.

Sepuluh menit setelah ruangan rapi didekorasi, Raya belum juga kembali. Aku pun merasa iseng dan akhirnya berjalan ke sudut ruangan. Aku berdiri menghadap dinding kaca ruangan yang terletak di lantai 10 ini. Iya, lantai 10.

Inilah sekolahku. Jangan bayangkan sebuah sekolah dengan cat dinding warna hijau, gedung setinggi tiga lantai dan pola gedung berbentuk letter U dengan lapangan basket di tengahnya. Tidak, sekolahku tidak normal seperti itu. Bangunan sekolahku lebih mirip dengan gedung perkantoran, berbentuk tabung dengan dinding kaca berwarna biru melindungi bagian terluarnya. Sekolahku bergabung antara SD, SMP, dan SMA, memiliki 25 lantai ke atas dan 2 lantai basement. Oleh karena itu, di dalamnya pun tidak ada tangga manual, melainkan 2 pasang lift yang saling berhadapan. Di samping luar gedung terdapat satu lapangan futsal dan satu lapangan basket. Tidak ada area untuk kursi penonton karena lapangan itu biasanya hanya dipakai untuk latihan bukan lomba. Lagi pula, murid di sini cenderung individualistis. Mereka lebih suka langsung pulang daripada sekadar menonton temannya bermain futsal atau basket. Atau mereka juga lelah karena sekolah di sini menghabiskan waktu  8 jam setiap harinya; 6 jam belajar di kelas dan 2 jam ekstrakurikuler. Meskipun tidak ada area khusus penonton, aku biasanya menonton dari ruang kelas lantai 2 yang menghadap langsung ke arah lapangan basket. Namun baru kali ini aku menyadari bahwa ternyata ruang serbaguna lantai 10 juga memiliki pemandangan yang indah untuk melihat kota sekaligus lapangan basket di bawah sana.

“Je!” Aku yang tersentak mendengar panggilan itu langsung menoleh ke sumber suara. “Kau melamun,” ujar Raya.

“Ah, tidak kok,” sahutku tanpa berpikir. Aku melihat ke sudut ruangan di belakang Raya yang sudah tersusun rapi kotak-kotak makan siang di sana. Tampaknya ia sudah sejak lama kembali ke sini dan  aku memang  tidak sadar.

Raya ikut berdiri di sisi kananku, memandang ke bawah pada lapangan basket. “Apa kau sedang memikirkan Fero?”

Darahku berdesir seketika kala mendengar namanya. Sebenarnya aku belum benar-benar memikirkan laki-laki itu, tapi hampir, kalau saja Raya tidak memanggilku tadi. Namun setelah Raya menyebut namanya, ada sebersit rindu yang menyeruak perih di dadaku.

Aku kembali memandang lapangan basket itu. Dulu, aku paling senang berlama-lama di kelas lantai 2 untuk menonton Fero bermain basket. Meskipun ruang kelas sudah sepi, meskipun tidak ada yang tahu bahwa ada seseorang yang bertahan hingga sore untuk menonton tim mereka, aku tetap menunggu hingga ia selesai latihan, lalu menghampirinya saat ia akan pulang. Awalnya aku selalu beralasan bahwa aku sibuk rapat OSIS di dalam gedung dan rupanya kami selesai bersamaan sehingga kami bisa pulang bersama. Namun semakin lama, aku menjadikan rapat OSIS sebagai bualan semata, karena tanpa kesibukan pun, aku rela menungguinya di sekolah hingga larut senja.

“Kenapa kau tidak menjenguknya saja di rumah sakit?” tanya Raya lagi karena aku tak kunjung menjawab.

Aku menghela napas berat. Sempat meragu untuk bercerita, tapi kemudian aku tahu kepada siapa aku sedang bicara saat ini. Raya sudah berteman denganku selama 7 tahun, jadi ku pikir tidak perlu sungkan untuk mengatakan yang sebenarnya. “Ia tidak ingin aku mengunjunginya,” sahutku pelan.

Raya tampak terkejut. Wajahnya yang ekspresif langsung berkerut di bagian kening. “Kok bisa? Kenapa? Bukankah kalian pacaran?”  

“Tidak juga.” Aku terkekeh kecil saat menjawabnya.

Jika aku mengulur kembali jauh ke belakang, Fero memang tidak mengakui aku adalah pacarnya. Kami sama-sama tidak mengakui istilah pacaran, tetapi soulmate. Aku dan Fero memang sudah berteman sejak kecil. Dia tahu segalanya tentangku, baik-buruk kelakuanku, cara berpikirku, bagaimana saat aku marah, sedih, senang, dan juga cara mengatasi sikapku yang begini adanya. Hal yang sama juga aku lakukan padanya. Dia adalah laki-laki yang tidak sungkan untuk bertukar pendapat tentang kepribadian kita satu sama lain. Karena itulah, kami menjadi saling mengerti. Kami mengerti bahwa kami berteman, kami dekat, orangtua kami saling mendukung, dan kami tahu bahwa seharusnya tidak ada lagi yang menghalangi ketika perasaan kami akhirnya mengatakan bahwa ini bukan sekedar pertemanan. Ini juga bukan pacaran. Ini adalah pasangan jiwa, dimana aku tidak ingin mengenal siapapun lagi untuk mendampingi kehidupanku, selain dia. Di sinilah aku bisa selalu bergantung padanya seperti ia menggantungkan dirinya padaku. Akan tetapi, untuk pertama kalinya kini ia menolak kehadiranku. Tidak peduli sedekat apa kita dahulu, dia tetap tidak ingin aku mengunjunginya di rumah sakit. Hal itu jelas menohok perasaanku sehingga tanpa sadar mataku memanas mengingatnya.

“Hei kenapa menangis? Uuh Jeanitta sayang, jangan seperti ini.” Tiba-tiba Raya memelukku dan sialnya aku semakin tidak bisa menahan air mata ini lolos dari mataku.

“Ayolah, kalau kau memang merindukannya, jenguk dia, Je. Aku dan teman-teman lainnya juga ingin tahu kabarnya. Kami mengharapkanmu Je sebagai teman terdekat Fero yang bisa menjenguknya.”

Aku menggeleng. “Tidak, Ray,” sahutku, lalu menghela napas sebelum melanjutkan. Raya melepas pelukannya lalu mengamatiku dengan saksama. “Dia bahkan meminta orangtuanya, dokter, suster, dan semuanya untuk menghentikan aku di depan pintu. Aku sudah seperti sampah yang ditarik-tarik satpam karena mengganggu ketenangan.”

“Sungguh?”

Aku mengangguk.

“Memangnya apa yang kau lakukan?”

“Ini salahku juga. Aku tidak bisa menahan emosiku sehingga aku menangis parah di koridor rumah sakit” sahutku.

“Ya ampun Je..”

“Iya, aku tahu itu kekanakan sekali, Ray.” Raya mengelus punggungku pelan.

“Bagaimana kalau sore ini kita menjenguknya? Aku akan menemanimu terus di sana biar kau tidak menangis seperti sebelumnya.”

Aku pun menyetujui tawaran Raya sore itu.

 

OooO

 

Sebenarnya ada ketakutan kecil setiap kali aku berpikir untuk menemui laki-laki itu setelah tiga bulan tak melihat fisiknya. Tekadnya yang sedemikian keras untuk menentangku melihatnya pun membuat aku kian menerawang; apakah memang seburuk itu keadaannya? Jadi, selain ia yang keras kepala, aku juga menjadi pengecut yang membiarkan situasi berlalu begitu saja. Aku membiarkan arus isu digulir dari mulut ke mulut teman-teman kami. Sebuah isu bahwa aku tidak peduli dengannya dan dia tidak lagi membutuhkanku. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Mereka hanya tidak pernah tahu bahwa Fero tetap menjadi orang yang pertama aku sebut namanya dalam doaku di setiap saat.

Setelah selesai acara, aku dan Raya segera keluar gedung sekolah. Di setiap derap langkahku dan Raya melewati tepi lapangan basket, aku kembali mengingat alur kejadian saat itu. Aku yang sedang di ruang kelas lantai 2 melihat Fero tiba-tiba terjatuh di lapangan basket hingga harus dipapah keluar lapangan. Awalnya ku pikir ia terkilir. Beberapa hari kemudian ia vakum dari kegiatan basketnya, termasuk lomba yang sedang ia siapkan. Tetapi ada yang aneh dengan lututnya. Lutut kiri itu membengkak dan ia bilang rasanya sakit sekali. Saat itu aku masih tahu bagaimana seorang laki-laki sepertinya menangis pada mamanya karena rasanya terlalu sakit. Sesekali rasa sakit itu hilang-kambuh. Aku tidak tahu kapan orangtuanya memeriksa kembali ke dokter, karena saat itu ia mulai meminta aku untuk tidak terlalu sering menjenguk ke rumahnya. Yang aku tahu hanyalah kabar buruk bahwa ia terkena kanker tulang dan akan di rawat di rumah sakit kanker untuk sementara.

“Je, kita sudah sampai. Janji ya kau tidak akan menangis seperti anak kecil lagi.” Raya berucap padaku sambil menunjukan kelingkingnya. Aku pun mengaitkan kelingkingku dan mengangguk setuju.

Kami berjalan masuk langsung menuju ruangan rawat inap. Dokter dan suster yang berkeliaran di koridor tampak terburu-buru melewati kami. Jantungku berdebar. Ketakutan itu datang lagi. Tepat di depan koridor menuju ruang rawat Fero, aku melihat ibundanya tengah menangis sambil memohon-mohon kepada dokter yang baru datang.

“Dok, tolong lakukan apapun yang terbaik untuk anak saya. Lakukan saja prosedur itu.”

Langkah kakiku melambat melihat ibu Fero tampak kacau sambil berbicara dengan dokter.

“Apa ibu sudah yakin dengan resikonya? Kondisinya masih terlalu lemah untuk melakukan prosedur operasi tulang. Saya menyarankan untuk tunggu sebentar lagi--”

“Tak apa, dok. Saya yakin anak saya sanggup. Daripada saya harus melihatnya seperti ini saya tidak kuat.”

Aku meremas tangan Raya yang masih setia berdiri di sampingku. Dia mengusap-usap punggung tanganku dengan lembut.

“Jangan menangis. Jangan menangis, Je. Kau kuat. Ayo kita tanyakan dulu kebenarannya.” Raya menarik tanganku lebih dekat ke ruang rawat Fero, sementara ibunya tak sadar kehadiran kami. Ia kini duduk di kursi bersama suster yang menenangkannya, sedangkan Dokter tadi hendak membuka pintu untuk masuk mengecek kondisi pasiennya.

“Aaaaargghh.. Maaa.. Sakit maaa!”

Teriakan itu tiba-tiba menggema di sepanjang koridor. Teriakan Fero yang mampu merangsang saraf-sarafku untuk berlari menuju pintu yang terbuka. Aku menyebak hendak masuk ke dalam ruang rawat itu.

“Fer..” lirihku saat melihat laki-laki itu meringkuk di kasurnya dengan raut wajah yang sungguh tampak kesakitan. Kedua kakinya tampak tidak proporsional akibat bengkak yang membesar di lutut kiri. Tubuhnya kurus dan wajahnya pun sangat tirus.

Aku menyerobot masuk tanpa mengindahkan kehadiran dokter di sana. Ku genggam erat tangannya, dan ia balas meremasnya kuat-kuat. Tapi tidak apa-apa selama itu bisa melampiaskan sakit yang ia rasakan.

“Safero..” panggilku. Perlahan ia membuka matanya yang sedari tadi terpejam kuat, lalu tersenyum. “Fer..” Ingin aku mengatakan, aku benci melihat senyumnya, aku benci padanya yang menyembunyikan kesakitan yang seperti ini, tapi lidahku kelu.

“Apakah rasanya sesakit itu?” tanyaku dengan lirih.

Ia tersenyum lagi sambil memejamkan matanya kembali. “Lebih dari yang bisa kamu bayangkan.”

Sontak air mataku mengalir deras mendengar jawabannya. “Apa.. Apa yang bisa menghilangkan ini Fer?”

Ia menggeleng. Namun suara dokter menjawab, “Operasi tulang. Tetapi keberhasilannya kecil.”

Oh, jadi ini yang diminta ibunda Fero tadi. Aku tahu ibunda Fero juga pasrah dan menginginkan operasi itu. Mereka kembali berdebat dan dokter mengecek kondisi Fero saat itu juga, hingga akhirnya diputuskan, “Baiklah. Atas permintaan keluarga dan persetujuan pasien, prosedur akan dilakukan malam ini pukul 20.00.”

 

OooO

 

Orangtua Fero duduk gelisah di koridor depan ruang operasi. Simbol lampu merah masih menyala hingga 2 jam prosedur itu berlangsung. Mereka terlihat terus berdoa khusyuk demi kekuatan anaknya di dalam sana.

Suasana mencekam itu membuatku lelah. Segala bayangan tentang gagalnya operasi itu menyergap pikiranku. Mati-matian aku mencoba mengenyahkannya tapi tidak bisa. Akhirnya aku meninggalkan ruangan itu untuk mencari udara segar di jalanan sekitar rumah sakit. Aku memandang pada lampu-lampu jalan dan mobil yang berlalu lalang, juga pada bintang dan bulan yang bersinar terang.

Ya Tuhan.. Kau maha mengetahui seperti apa kedekatan aku dan laki-laki bernama Safero itu. Saat ini, ia sedang dalam masa kritis hidupnya. Yang ia hadapi bukan lagi masalah seperti biasa, melainkan hidup dan mati. Aku sadar hidup dan mati memang di tangan-Mu,  tetapi seandainya saja aku bisa meminta, aku ingin ia tetap hidup, aku ingin ia kembali bahagia dan tidak ada lagi rasa sakit yang ia alami. Seandainya takdir dirinya memang akan pergi di malam ini, aku ingin menukar jiwaku dengannya.

*ckiiit!!*

“Aaargh..”

Sesuatu membentur kepalaku tiba-tiba, membuat tubuhku berhenti berguling di aspal yang kasar. Kepalaku terasa pening dan perutku mual ingin muntah. Cahaya lampu jalanan dan lampu-lampu mobil pun perlahan mengabur di pandanganku.

“Innalillahi..” seru beberapa orang sambil berlari menghampiri tubuhku yang terkapar lemas tak berdaya.

Ya Tuhan. Begitu cepat Kau menjawab doaku. Terimakasih Kau telah menyelamatkannya. Tolong sampaikan salam rinduku padanya, katakan bahwa aku mencintainya dan aku rela jika memang cinta ini hanya sebatas doa.

 

OooO

 

Lampu ruang operasi berubah menjadi hijau. Tak lama, beberapa orang dokter keluar dengan wajah lelah yang langsung disambut keluarga pasien.

“Bagaimana dok, keadaan anak saya?”

“Kondisi pasien sempat turun drastis tadi, tetapi syukurlah Tuhan masih mengabulkan doa kita sehingga ia dapat bertahan hingga operasi selesai. Ia selamat. Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap.”


oOooOo

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Warning
1237      525     1     
Romance
Dinda adalah remaja perempuan yang duduk di kelas 3 SMA dengan sifat yang pendiam. Ada remaja pria bernama Rico di satu kelasnya yang sudah mencintai dia sejak kelas 1 SMA. Namun pria tersebut begitu lama untuk mengungkapkan cinta kepada Dinda. Hingga akhirnya Dinda bertemu seorang pria bernama Joshua yang tidak lain adalah tetangganya sendiri dan dia sudah terlanjur suka. Namun ada satu rintanga...
Einsam
327      229     1     
Romance
Hidupku sepi. Hidupku sunyi. Mama Papa mencari kebahagiaannya sendiri. Aku kesepian. Ditengah hiruk pikuk dunia ini. Tidak ada yang peduli denganku... sampai kedatanganmu. Mengganggu hidupku. Membuat duniaku makin rumit. Tapi hanya kamu yang peduli denganku. Meski hanya kebencian yang selalu kamu perlihatkan. Tapi aku merasa memilikimu. Hanya kamu.
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
806      405     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
SORRY
11065      2406     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Rain, Coffee, and You
476      329     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
Monopoli (liburan berujung petaka)
54      53     2     
Horror
MUNGKIN bagi sebagian orang liburan adalah hal yang paling menyenangkan.Tetapi, siapa yang akan menyangka jika liburan itu malah menjadi hal yang paling menakutkan. Yura bersama ke empat temannya yang memutuskan untuk berlibur. Tetapi, justru malah menjadi liburan yang mengerikan.
Dari Sahabat Menjadi...
474      320     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
Jangan Main Petak Umpat
288      165     1     
Short Story
"Jangan Main Petak Umpat Sore-Sore!"
Drifting Away In Simple Conversation
233      156     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...
Kisah yang Kita Tahu
4888      1429     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...