Loading...
Logo TinLit
Read Story - Spektrum Amalia
MENU
About Us  

"Ayahmu tak sempurna, "Ucap Bramantyo . Amalia akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Bramantyo lagi. Dan mereka bertemu di Lounge hotel tempat Bramantyo menjadi pembicara di sebuah acara yang diadakan di sana. "Aku senang kamu datang anakku." Suara nya terdengar menahan sesal yang dalam. 

Amalia mengangkat wajah, ia pernah membayangkan pertemuan ini dengan skenario drama yang ada dalam pikirannya. Amarah, tangis, bahkan skenario kabur. Tapi tidak pernah membayangkan ayahnya akan langsung menerima dan meminta maaf. Bahkan dia diajak untuk tinggal di rumah ayahnya, sebelum dia meminta. 

" Kamu butuh tempat tinggal, kamu mahasiswa beasiswa. tidak mudah hidup sendiri. ikut aku, tinggallah di rumahku. Kamu bisa terus kuliah dengan tenang . Tak perlu pusing biaya, kamu anankku . itu saja cukup. Amalia menatap mata ayahnya, lekat-lekat mencari kebenaran dalam setiap kata yang diucapkan ayahnya.

"Bapak gak takut, saya merusak nama baik bapak ? " orang-orang akan mencemooh bapak, karena memiliki anak haram.

"Sebaliknya aku ingin memperbaiki, kita sudah kehilangan waktu bersama. Aku tak peduli apa yang orang katakan. yang terpenting adalah kamu anakku Amalia.

Amalia tak lagi menjawab. Tapi diamnya tak lagi menolak. Dan Bramantyo tahu itu. 

Malam itu , setelah Amalia keluar dan langkahnya menghilang di balik pintu kaca, Bramantyo menyesap kopi terakhirnya, mengeluarkan ponsel , dan menekan nomor cepat. 

"Siapkan kamar tamu, " katanya dingin."Yang dekat ruang kerja saya."

"Untuk siapa , pak?"

"Amalia." jawabnya Ia menatap langit malam di balik kaca. "Burung kecil kita akhirnya masuk sangkar."

 

Dua hari kemudian, Amalia berdiri di ambang rumah megah yang terlihat seperti potongan katalog desain arsitektur. Rumah Bramantyo berdiri megah di ujung jalan berlapis batu alam, bagaikan istana kecil yang tersembunyi di balik rindangnya pepohonan tua. Arsitekturnya memadukan gaya klasik Eropa dengan setuhan modern yang elegan. Pilar-pilar tinggi menopang beranda luas, jendela-jendela besar berbingkai kayu tua menjulang hingga ke lamtai dua., dan atap abu - abu tua menambah kesan kokoh sekaligus berkelas.

Setiap sudut rumah dirancang dengan cermat. Taman depan yang luas dihiasai pohon kamboja dan lampu taman besi, memberikan kesan tenang namun berwibawa. Begitu melangkah ke dalam , suasana hangat langsung menyambut. Lantai marmer krem mengkilap , langit-langit tinggi berukir detail, serta lampu gantung kristal yang menggantung tepat di tengah ruang tamu. 

Interiornya mencerminkan selera tinggi sang pemilik, elegan namun tak berlebihan. Perpustakaan pribadi dengan rak kayu mahoni dan aroma buku tua, ruang kerja yang tertata rapi menghadap taman belakang, hingga balkon kecil yang menghadap matahari terbit semua memancarkan suasanan rumah yang bukan hanya besar , tapi juga penuh karakter dan cerita. 

 

Langkah Amalia terhenti di ambang pintu ruang tamu. Cahaya senja menembus kisi-kisi jendela, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu tua yang mengilap. Rumah ini tidak berisik, tapi tidak benar-benar sunyi juga ada semacam napas diam yang berhembus, nyaris tak terdengar, namun terasa menekan dada.

Seorang perempuan berdiri di ujung ruangan, membelakangi Amalia. Rambutnya disanggul rapi, kebaya modern warna gading membalut tubuh rampingnya, dan aroma tipis melati menguar dari arah tempat ia berdiri. Saat berbalik, matanya bertemu pandangan Amalia. Sorot matanya tajam namun tak memusuhi, seperti seseorang yang sudah lama tahu caranya membaca orang lain hanya dari cara mereka berdiri.

"Amalia, ya?" suaranya tenang dan berwibawa, seperti suara seseorang yang terbiasa memberi arahan dalam rapat penting atau konferensi pers.

"Iya, Bu," jawab Amalia pelan, sedikit gugup.

"Aku Larasmaya. Istri Bramantyo." Ia melangkah mendekat, sepasang sepatu hak pendek dari kulit cokelat berkilau tak bersuara di atas lantai. Ia menjabat tangan Amalia dengan mantap, bukan sekadar sopan santun.

Larasmaya Adinegara bukan perempuan biasa. Ia menjabat sebagai Komisaris di sebuah lembaga seni budaya nasional dan pernah menjadi diplomat kebudayaan ke luar negeri. Banyak yang mengenalnya sebagai sosok elegan, cerdas, dan nyaris tak pernah tersentuh skandal. Tapi di balik riasan halus dan penampilan nyaris sempurna itu, ada sesuatu yang sulit dijelaskan: ketenangan yang terlalu terukur, senyum yang terlalu dipoles.

Perawakannya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat, dan garis wajahnya terawat rapi, tapi bukan jenis cantik yang lembut. Wajah Larasmaya lebih seperti patung marmer menawan, tak terganggu waktu, tapi juga... dingin. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Amalia bertanya-tanya apakah perempuan ini sedang menyembunyikan sesuatu, atau justru sedang menilai apakah Amalia bisa menjadi bagian dari rahasia yang lebih besar?

"Semoga kamu nyaman di sini," ucap Larasmaya akhirnya, sambil menyilakan Amalia duduk. Tapi bahkan dalam keramahan itu, Amalia merasakan bahwa ia sedang diuji. Mungkin bukan hanya tentang keberadaan dirinya tapi tentang apa yang bisa dilihatnya, dan apa yang mungkin akan terbongkar.

Amalia duduk di ujung sofa panjang berlapis beludru kelabu. Di hadapannya, Larasmaya duduk dengan posisi tegak sempurna, satu kaki bersilang, jemarinya memegang cangkir teh porselen antik. Ia tampak tenang, namun bagi Amalia yang bisa melihat emosi sebagai warna dan bentuk, ada sesuatu yang mengganggu di balik itu semua.

Aura di sekeliling Larasmaya bukan sekadar kabut warna biasa. Ia dikelilingi kabut perak gelap yang berdenyut pelan—warna yang tak pernah dilihat Amalia sebelumnya. Biasanya, marah muncul dalam semburat merah pekat, sedih dalam biru tua, namun yang ini... seperti kabut yang menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam: rahasia, penyangkalan, dan sisa-sisa luka yang belum sembuh.

“Bramantyo bilang kamu anak yang... istimewa,” ujar Larasmaya sembari menatap lurus, seolah tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan.

Amalia menelan ludahnya pelan. “Saya tidak tahu maksudnya, Bu.”

“Bram jarang salah membaca orang.” Senyumnya muncul, samar, seperti kilatan bulan di air tenang. “Dan aku cukup paham soal hal-hal yang tak terlihat.”

Amalia terdiam. Ada getaran halus dalam suara Larasmaya bukan ancaman, tapi semacam pengakuan samar bahwa ia mungkin tahu soal kemampuan Amalia.

Beberapa desas-desus pernah terdengar tentang Larasmaya. Bahwa ia berasal dari garis keturunan perempuan keraton yang sejak dulu dikenal memiliki "mata ketiga". Bahwa neneknya dulu adalah penjaga pusaka kuno yang berkaitan dengan dunia tak kasatmata. Dan bahwa Larasmaya, meskipun memilih hidup di dunia modern dan bergaul dengan para elit politik serta seniman besar, tetap menyimpan jejak warisan itu rapi di balik koleksi lukisan, artefak tua, dan kamar yang tak boleh dimasuki siapa pun.

Lalu, terdengar suara langkah cepat dari arah tangga.

“Ma, tadi kata bibi manggil aku ”

Langkah itu terhenti.

“Ziva?” suara Amalia tercekat.

Ziva berdiri di anak tangga, wajahnya tercengang, " Amalia, ngapain disini? Ah...maaf kamu aku gak ada kabar sejak kejadian di pameran itu. Tapi aku benar-benar gak apa-apa kok. 

Amalia membisu , dia bingung harus menjawab apa. Melihat kebingungan Amalia, Larasmaya membuka suara.

"Duduk sini Ziva," ucap Larasmaya. Ziva menurut dan segera duduk di samping mamanya.

"Amalia ini saudara mu, anak dari papamu.Wajah Larasmaya tetap tenang, dan dingin. 

Ziva kaget, Mana mungkin papa bukan orang sembarangan. Dia gak akan punya anak dari perempuan lain. 

" Ibu ku bukan orang sembarangan, ayah dan ibu sudah berpacaran sejak kuliah, dan karena perbuatan ayah. Aku harus disembunyikan. Tahu apa kamu tentang ibu ku. Amalia memang selalu tidak terima ketika nama ibunya diucapkan sembarangan. 

“Aku satu-satunya anak Papa. Dan kamu? Kamu cuma catatan kaki yang datang telat.”

Amalia menahan napas. Tapi kali ini dia tidak mundur.

“Catatan kaki juga bisa mengubah seluruh cerita,” jawabnya pelan.

Sunyi. Lalu langkah sepatu terdengar dari arah lorong. Bramantyo masuk, senyum hangat menghiasi wajahnya seolah dia tidak mendengar benturan kata barusan.

“Dua putriku. Akhirnya bertemu.”

Keduanya menoleh. Tapi tak ada yang tersenyum.

Ziva menatap pantulan wajahnya di cermin besar kamar. Riasannya masih sempurna, tapi dadanya terasa seperti dipukul dari dalam. Ia menutup pintu dengan keras, lalu duduk di ranjangnya yang tertata rapi seperti biasa bantal sejajar, sprei putih tanpa lipatan.

Kenapa harus Amalia, untuk jadi sahabat aku masih bisa menerima, tapi untuk menjadi saudara yang tiba-tiba . Di rumahku. Di hidupku.

Ia menengadah, menahan air mata bukan karena sedih, tapi karena malu. Marah. Bingung. Dan entah, sedikit takut.

Papa selalu jadi segalanya baginya. Figur yang kokoh, ambisius, selalu tahu cara menaklukkan apapun yang diinginkan. Dan sekarang, pria itu membawa masuk seorang anak perempuan dari masa lalunya? Anak yang bahkan berbakat seni, seperti hantu yang dikirim untuk menggoyahkan fondasi rumah yang dibangunnya selama ini?

Ziva mendesis, lalu berdiri. Tangannya gemetar saat membuka pintu.

Di ruang tengah, ia melihat Amalia sedang berdiri kikuk di depan lukisan besar karya pelukis favorit Ayahnya. Gadis itu menatap lukisan itu seperti bisa membacanya, bukan sekadar mengagumi.

Ziva menghampiri pelan.

“Jangan sentuh itu,” katanya tajam.

Amalia menoleh, tenang. “Aku cuma lihat. Papa cerita, lukisan ini.”

“Jangan sebut dia Papa,” potong Ziva cepat. “Dia bukan Papa buatmu. Dia cuma... sumber biologis. Itu beda.”

Amalia menatapnya lurus. “Aku nggak mau rebut tempatmu. Tapi aku nggak akan minta maaf karena dilahirkan.”

Ziva ingin membalas, tapi suara langkah berat terdengar dari belakang. Bramantyo.

“Kalian sudah akrab, ya?” katanya ceria.

Ziva tersenyum palsu. “Tentu. Kami bahkan hampir bicara dari hati ke hati.”

Brama mengerutkan alis tapi tak berkata. Ia menatap Amalia seperti sedang menakar logam mulia.

“Besok kamu ikut aku ke galeri,” katanya pada Amalia. “Aku ingin kamu lihat dunia yang sebenarnya.”

Ziva melirik, tajam.

“Aku pikir itu duniaku, Pa.”

Bramantyo menoleh pelan. “Dunia ini milik siapa pun yang cukup cerdas untuk mengambilnya, Ziva.”

Seketika, Ziva merasa seperti sedang berdiri di papan catur yang baru. Dan Amalia… baru saja jadi kuda hitam yang tak terduga.

 

Malamnya, Ziva memandangi Amalia dari lantai atas. Gadis itu sedang membaca buku di ruang keluarga, sendirian.

Ziva tahu satu hal pasti ,Dia harus tahu siapa sebenarnya Amalia. Sebelum Amalia tahu siapa sebenarnya Bramantyo.

Dan dalam dunia keluarga seperti ini, yang paling tahu menang.

 

Langit mendung menggantung saat mobil hitam milik Bramantyo memasuki area galeri seni bergaya industrial itu. Dari luar, bangunan itu tampak seperti ruang bekas pabrik, tetapi di dalam dinding putih bersih, cahaya tertata sempurna, dan instalasi seni tergantung atau berdiri anggun, seolah fragmen mimpi yang dilahirkan dari tangan manusia dan imajinasi.

Amalia berjalan setengah langkah di belakang Bramantyo. Jas pria itu rapi, sikapnya penuh karisma. Begitu mereka masuk, beberapa orang langsung menoleh dan menyapa dengan nama.

"Brama! Sudah lama!"

"Lihat siapa yang kau bawa!"

“Ini anak saya,” kata Bramantyo bangga. "Amalia. Mahasiswa kriya. Bakatnya… menurun dari saya, mungkin."

Amalia hanya tersenyum kecil. Di dalam, dadanya berdegup tak nyaman. Baru dua minggu lalu ia masih mengampelas permukaan kayu dan merendam kain di pewarna alami studio kampus. Kini, dia berdiri di antara kolektor, kurator, dan pemilik galeri berbalut jaket hitam yang dipinjamkan Bramantyo.

Seorang perempuan dengan rambut putih platin membungkuk menyapanya.

"Aku dengar kamu bisa melihat emosi orang lewat warna?" bisiknya.

Amalia kaget. “Maaf?”

“Ah, Brama sudah cerita,” lanjutnya pelan. “Katanya kamu istimewa. Katanya kamu punya gift.”

Amalia menoleh ke Bramantyo. Pria itu tersenyum tanpa dosa.

“Kenapa Ayah cerita itu ke orang lain?”

Brama hanya menepuk bahunya. “Di dunia ini, Amalia, keistimewaan tak boleh disembunyikan. Ia harus diarahkan. Dipamerkan, bahkan, kalau perlu. Dunia suka keajaiban.”

Amalia menelan ludah. Ia menatap karya-karya di dinding dan ruang galeri. Kain-kain tenun bergelantungan seperti tirai cahaya. Keramik dan logam bertekstur berdiri kokoh di atas alas putih. Tapi kali ini, matanya menangkap aura lain tipis dan lembut seperti kabut. Warna-warna emosional yang biasa ia lihat, mengambang seperti bisikan. Kebanyakan orang di ruangan ini... kosong. Seperti wadah indah tanpa isi.

Tiba-tiba, dia merasa terjebak dalam galeri yang terlalu sunyi. Bukan karya-karya itu yang menatapnya, tapi bayangan harapan orang lain yang menempel padanya, menuntut sesuatu yang belum ia mengerti.

Sepulang dari galeri, Bramantyo duduk di ruang kerja. Di hadapannya: profil sponsor, foto-foto pameran, dan dokumentasi karya-karya Amalia kain-kain dengan pewarna alami yang nyaris membentuk pola seperti spektrum suasana hati.

“Dia bisa jadi wajah baru kampanye seni,” katanya pada asistennya. “Muda, alami, misterius. Dan tentu saja, darah saya.”

Asistennya ragu. “Ziva?”

“Ziva selalu terlalu... sempurna. Amalia lebih mudah didekati publik. Rawan, jujur. Itu menjual.”

Brama bersandar, menyeringai.

“Aku sedang menciptakan legenda baru.”

Malamnya, Amalia berdiri di balkon kamarnya, memandangi lampu-lampu kota.

Kata-kata Bramantyo masih terngiang.

“Keistimewaan harus dipamerkan.”

Tapi siapa yang memegang kuas?

Dia?

Atau ayahnya?

Di baliknya, pintu kamar terbuka perlahan.

Ziva.

Tanpa berkata, gadis itu meletakkan sebuah map cokelat di meja Amalia. Lalu pergi.

Amalia membuka map itu dengan tangan gemetar.

Isinya: foto-foto lama, potongan berita, dan... surat.

Surat dari ibunya 

Dengan tangan gemetar, Amalia membaca bait pertama:

“Untuk Bramantyo, yang dulu kupikir mencintai…”

Amalia menatap tulisan tangan itu, dan dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Ia tahu satu hal Lelaki yang dipanggil “Ayah” itu tak hanya sedang membangun kembali hubungan tapi sedang menenun ulang jati dirinya.

Dengan benang-benang yang bukan miliknya.

 

Pagi itu sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah rumah megah. Tapi di kamar Amalia, keheningan seperti bisikan menyelinap masuk ke celah-celah pikirannya, menamparnya pelan dengan pertanyaan yang tak berani ia ucapkan semalam.

Map dari Ziva masih tergeletak di meja. Foto-foto lama. Potongan berita tentang pameran masa lalu Bramantyo. Dan surat dari  ibunya.

Amalia menyentuh halaman surat yang telah menguning, lalu membacanya kembali.

"Kita pernah muda dan saling percaya. Tapi kepercayaan yang kau makan habis dengan ambisimu, Brama. Anak kita tak akan jadi alatmu. Tidak seperti dulu aku jadi pengikutmu yang bisu."

Tangannya gemetar. Surat itu ditulis setahun sebelum ibunya meninggal. Kenapa disimpan? Kenapa tak dibuang jika tak peduli? Atau… kenapa justru disimpan rapi?

Di bawah, Bramantyo sedang sarapan dengan Ziva. Suara sendok bertemu piring terdengar seperti dentang kecil perang yang belum pecah. Amalia turun pelan.

“Ada rencana hari ini?” tanya Bramantyo riang, tanpa menoleh.

Amalia tidak menjawab. Ia hanya menarik kursi. Duduk.

Ziva meliriknya sekilas, lalu kembali menunduk.

Amalia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Tapi sesuatu dalam dirinya mendesak, seakan warna-warna di sekeliling mulai menyala dengan tak wajar.

“Kenapa Ayah simpan surat dari Ibu?” tanyanya akhirnya.

Hening.

Ziva berhenti mengaduk teh. Bramantyo mendongak perlahan.

“Surat?”

“Yang tak pernah Ayah balas. Yang ditulis Ibu setahun sebelum meninggal.”

Brama meletakkan sendoknya. “Ibumu wanita yang rumit. Ia terlalu larut dalam emosinya sendiri. Surat itu... bukti bahwa aku pernah mencoba. Bahwa aku tidak lari.”

“Bukti untuk siapa?” potong Amalia. “Untukku? Atau untuk dirimu sendiri?”

Warna di sekeliling Bramantyo berubah Amalia bisa melihatnya. Merah keunguan. Ambisi. Keras kepala. Sedikit rasa takut, tersembunyi di balik segala arogansi.

“Amalia, kamu masih belum tahu seperti apa dunia ini. Dunia tak memberi tempat pada kelembutan. Jika aku bertahan, itu karena aku harus begitu. Dan sekarang kamu harus belajar.”

Ziva meletakkan cangkirnya perlahan. Suaranya tenang, tapi penuh tekanan.

“Ayah… kadang rasanya seperti Ayah tak benar-benar mendengarkan kami.”

Bramantyo menoleh. “Maksudmu?”

“Amalia bukan bagian dari rencana. Tapi Ayah tetap mencoba membentuknya. Seolah semua harus sesuai bayangan Ayah.” 

Suasana meledak dalam senyap.

Amalia menarik napas panjang. Dalam hatinya, gema suara itu muncul lagi. Lembut, tapi tegas.

"Anakku... jangan biarkan dia melukis dirimu menjadi seseorang yang bukan kamu..."

Ia berdiri. “Ayah,” ucapnya pelan.

Bramantyo menoleh. Ziva mengangkat wajah.

“Aku sudah pikirkan semuanya,” lanjut Amalia. “Mungkin… selama ini aku terlalu keras kepala.”

Ziva menatapnya curiga. Tapi Amalia tak menoleh.

“Aku ingin bergabung ke LINEA.”

Bramantyo memicingkan mata, seakan menimbang apakah ia sedang bermimpi.

“Kenapa?” tanyanya pelan.

“Karena aku sadar,” jawab Amalia, dengan senyum kecil yang sulit ditebak. “Kalau aku memang punya sesuatu yang berbeda... mungkin tempatku memang bukan hanya di kampus atau galeri kecil. LINEA bisa jadi tempat yang tepat asal Ayah izinkan.”

Ia menunduk sedikit. “Aku mau belajar. Dari Ayah. Dari sistem yang Ayah bangun.”

Ziva tampak ingin bicara, tapi mengurungkan niatnya. Bramantyo bersandar perlahan ke kursinya, seolah puas.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Akhirnya kamu mengerti.”

Amalia tersenyum. Manis. Terkendali. Tapi dalam hatinya, kata-kata ibunya tetap menggema:

"Jangan biarkan dia melukis dirimu menjadi seseorang yang bukan kamu..."

Dan kali ini, dia siap menggenggam kuasnya sendiri dari dalam istana kaca yang dibangun lelaki itu.

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Penantian Panjang Gadis Gila
271      214     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
353      259     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Manusia Air Mata
970      594     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Mana of love
234      166     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Dalam Satu Ruang
137      91     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Paint of Pain
880      644     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Main Character
1049      676     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Lost & Found Club
360      301     2     
Mystery
Walaupun tidak berniat sama sekali, Windi Permata mau tidak mau harus mengumpulkan formulir pendaftaran ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh semua murid SMA Mentari. Di antara banyaknya pilihan, Windi menuliskan nama Klub Lost & Found, satu-satunya klub yang membuatnya penasaran. Namun, di hari pertamanya mengikuti kegiatan, Windi langsung disuguhi oleh kemisteriusan klub dan para senior ya...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...