Langit sore menggantung kelabu saat Amalia mengetuk pintu rumah Bu Sekar. Angin membawa aroma tanah lembap, membungkus kehadirannya dengan rasa gugup yang tak bisa dihindari. Bu Sekar menyambutnya, tenang. Seolah sudah tahu maksud kedatangannya.
Di ruang tengah, Amalia duduk dengan tangan di pangkuan, menggenggam erat surat yang mulai kusam.
"Aku ingin tahu di mana dia sekarang."Kata Amalia langsung tanpa basa-basi. "Apa ibu bisa membantuku?"
Sekar menatapnya lama sebelum menjawab. "Kamu, tentu sudah tahu apa resikonya.
Amalia mengangguk mantap. Baginya dia hanya ingin tahu tentang kebenarannya selama ini.
"Apa dia akan tetap begitu, jika tahu aku hidup?" bisik Amalia
"Entahlah, "Jawab Sekar jujur. "Tapi dia bukan lelaki biasa, dan kamu juga bukan anak biasa."
Amalia menunduk. Goresan perasaan yang telah lama menganga di hatinya terasa semakin dalam. Tapi di balik sakit itu, ada sesuatu yang baru tumbuh. Rasa ingin tahu yang tak bisa dibendung.
"Ayo ikut aku ke ruang kerja, kita bicara di sana.
Langkah - langkah Amalia terdengar nyaris tak bersuara saat ia menaiki tangga menuju ruang kerja Bu sekar. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Keraguan. Harapan. Dan ketakutan yang menyatu.
Ruang kerja itu seperti biasa penuh dengan tumpukan buku seni, catatan mahasiswa, dan lukisan - lukisan tua. Tapi hari itu, atmosfernya berbeda. Lebih berat . lebih sunyi.
"Duduklah, "kata Bu Sekar sambil menyodorkan secangkir teh. Suaranya lembut, tapi ada ketegangan di balik nada itu, seolah-olah ia akan membocorkan rahasia yang selama ini dikubur dalam. Ada jeda panjang sebelum Sekar berbicara.
"Ayahmu adalah pria yang sangat pintar. Karismatik . Retoris. Pandai bicara dan selalu tahu bagaimana mempengaruhi seseorang .
Namanya : Dr. Bramantyo Satriadharma.
Amalia mengulang nama itu di dalam hati,terasa asing dan dekat sekaligus. "Aku pernah dengar."
"Kau pasti pernah," ujar Sekar pelan. "Dia adalah ketua Dewan Etik universitas ini. Sosok publik yang dihormati. Dia juga penasihat utama LINEA ( Lembaga Riset Neurologi dan Emosi ). Tapi semua itu adalah wajah luar."
Sekar berdiri, berjalan menuju jendela . Matahari menyorot rambutnya, membuatnya tampak lebih tua, lebih letih.
" Di balik itu, dia adalah pendiri sebuah kelompok rahasia bernama Konsorsium Sarra."
Amalia menegakan tubuh. " Konsorsium?"
"Sarra tidak tercatat secara resmi, tapi keberadaannya nyata. Mereka meneliti dan mengeksploitasi orang-orang dengan kemampuan neurologis unik. Seperti kamu. Bramantyo percaya emosi manusia dapat diarsipkan. Dimanipulasi. Bahkan dijual. Dia melihat emosi bukan sebagai bagian dari kemanusiaan , tapi sebagai sumber energi dan kekuasaan."
Amalia terdiam. Dada kirinya terasa sesak. Ibumu, Ayu, dulu bagian dari mereka. Awalnya percaya bahwa kekuatan seperti milikmu bisa digunakan untuk kebaikan. Tapi ketika dia melihat ke mana arah pemikiran Bramantyo berkembang, dia mundur. Lalu menyembunyikanmu dan memutuskan semua koneksi. Tapi sepertinya garis takdir ini tidak bisa disembunyikan, dan kemudian kamu datang sendiri ke kampus kita. Bramantyo sempat menghilang tapi entah kenapa dia bisa hadir kembali, dan menyandang jabatan penting di kampus. Mungkin dia masih menggunakan kekuatan manipulatif nya agar mendapatkan kedudukannya itu. Dan aku memutuskan untuk tetap di sini mengawasi dia , tanpa dia sadari kehadiranku.
Sekar menoleh, dilihatnya Amalia matanya berkaca-kaca. Dr. Bramantyo Satriadharma itu ayahnya, dia tidak sendirian, dia masih punya ayah. Tapi, ada yang menusuk ketika mendengar cerita dari Bu sekar tentang ayah dan ibu nya. Nama ayahnya yang terdengar terhormat, akademis, namun kini terasa seperti bayangan gelap masa lalu.
Sekar terdiam seolah menerawang jauh ke masa lalu, Ingatan nya mulai terkuak lagi.
Sekar masih mahasiswa saat itu,terlalu muda untuk terlibat. Tapi karena dia cukup cerdas maka diperbolehkan membantu mengarsip data dan merapikan laporan di fasilitas Sarra. dan ia tahu ada yang aneh dengan tempat itu, terlalu banyak pintu terkunci, terlalu banyak pembicaraan berbisik.Tapi ia tak pernah menyangka akan melihat apa yang ia lihat sore itu.
Ia sedang menyusun berkas di ruang observasi ketika suara perdebatan pelan menyusup lewat celah dinding kaca satu arah. Ayu dan Bramantyo berdiri di tengah ruangan eksperimen, dan Sekar bisa melihat mereka tanpa diketahui balik.
"Kalau kau lanjutkan ini, kita sudah menyimpang dari tujuan awal, Bram."kata Ayu. Kata mu kita akan membantu mereka yang memiliki kekuatan sepertiku. Menjadikan mereka alat untuk kau jual kekuatannya. Aku mundur.
"Aku hanya membuka pintu yang kalian takuti, " sahut Bramantyo ringan, hampir seperti bercanda. Tapi di matanya, Sekar melihat Cahaya ungu pekat, seperti bias dari kaca patri yang patah. Itu pertama kalinya Sekar menyadari , Emosi bisa terlihat. Bukan secara harfiah. Tapi Ayu... entah bagaimana tubuhnya memantulkan cahaya Pusaran lembut hijau dan biru kehijauan.Seperti aurora yang terperangkap di dalam kulit manusia. Spektrum warna itu melingkari Ayu, bergetar saat ia bicara, lalu meredup saat air mata menggantung di matanya.
"Kalau kau memaksa, "ucap Ayu lirih, "aku akan pergi. Dan kau tak akan tahu di mana aku menyembunyikan dia."
Sekar tak mengerti sepenuhnya saat itu. Tapi ia melihat dengan mata dan naluri bahwa warna-warni itu bukan hal biasa. Itu warisan, dan ayu sedang melindungi sesuatu jauh lebih besar dari dirinya.
Tangan Amalia bergetar saat ia menyentuh kertas tua pemberian Sekar.Tinta yang mulai memudar masih menyimpan kekuatan, nama ibunya , deskripsi dirinya yang tak pernah ia kenal,dan simbol Sarra yang kini terasa seperti stempel nasib.
Ini proyek apa, Bu?" tanyanya nyaris berbisik. Sekar duduk kembali. Napasnya berat. "itu catatan awal dari proyek yang jadi cikal bakal Konsorsium Sarra. Ibu mu subjek pertama. Sukarela . Ia ingin tahu apa yang terjadi pada orang-orang sepertinya. Orang-orang sepertimu."
Amalia menatap halaman itu lagi, ada bagan sebuah diagram spektrum emosi, dipetakan dalam warna-warna dan kurva -kurva naik turun seperti patitur tak bersuara.Di bawahnya tertulis, subjek 01A-YU reaktivitas afektif 87% , ekspresi visual gelombang emosi melalui medium auratik.
"Ibu mu , bisa merasakan. Tapi ia tidak bisa menginterpretasi bentuk dan warna sejelas kamu. Kamu generasi yang lebih kuat.
Aku akan menemui ayahku Bu. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya kepadaku.
"Baiklah, temui dia. Kamu berhak tahu segalanya.
Malam belum sepenuhnya larut ketika Amalia melangkah keluar dari rumah Sekar. Kota kecil itu seperti menahan napas, lampu jalan temaram, udara dingin merayap lewat celah-celah jaketnya.Di dalam tas selempangnya kertas pemberian Sekar dia simpan, besok Amalia akan menemui Bramantyo. Malam ini dia bertekad untuk tidur untuk mengumpulkan tenaga dan keberanian menghadapi salah satu jawaban dari teka-teki di hidupnya.
Keesokan harinya, langkah Amalia terasa berat, namun tak bisa mundur.Ia berdiri di depan ruangan Bramantyo, Ketua dewan etik,penasihat utama Linea, dan dia adalah ayah kandung Amalia.
ketukan pelan.
"Masuk," suara dari dalam berat , tenang, seperti bunyi pintu yang ditutup pelan.
Dan di balik meja besar itu berdirilah lelaki tinggi, berperawakan tegap. Rambutnya perak di sisi pelipis, disisir rapi ke belakang, dan jas abu-abu tuanya begitu presisi menempel di tubuh seolah menjadikannya patung hidup dari galeri kuasa. Amalia langsung tahu, ini bukan hanya pria penting di universitas, tapi lelaki dari serpihan cerita ibunya. Rahang tegas itu, mata hitam pekat yang menatap seperti sedang mengukur isi batin seseorang.
"Amalia," ujarnya,bibirnya bergerak tipis membentuk senyum samar yang entah tulus entah topeng." Akhirnya kamu datang ."
"Bapak... tahu saya? "gumam Amalia.
"Aku tahu sejak kamu lahir, " jawabnya pelan. "Maafkan aku tak bisa langsung menemui mu, karena ibu mu tak mengijinkanku, menemuimu. Dan saat ibu mu pergi, aku pastikan kehidupan mu baik-baik saja, walau hanya dari jauh.
Tatapannya tajam tapi lembut. Bahaya yang dibungkus dengan ketenangan. Kata-katanya tertata seperti orasi, setiap jeda terasa disengaja.
"Aku pastikan kamu mendapatkan beasiswa disini. Akses ke studio. Semua. Aku diam, tapi tak pernah jauh."
" Lalu, kenapa ibu tak mengijinkan bapak bertemu denganku?" tanya Amalia.
"Ibumu bilang dia melindungimu. Dia bahkan membawa mu pergi jauh, dan ketika aku menemukan mu . Ibu mu sudah menikah dengan orang lain.Dan aku tak berani mengganggu pernikahan ibu mu.
" Hatiku juga sedih amalia, bukankah aku ayahmu. apa yang perlu dilindungi dariku? Aku lah yang akan melindungimu.Memang benar aku ambisius waktu masih muda.Aku gila kerja. Mungkin, itu yang membuat ibu mu meninggalkan aku.
Amalia mematung. Dia melihat aura lelaki itu memancarkan warna biru tua yang stabil, dengan percikan putih tenang di tepinya. Warna yang selama ini ia asosiasikan dengan ketulusan, penyesalan, dan kasih sayang yang tertahan.
Amalia terdiam. itu bukan aura pembohong.
"Aku hanya ingin memperbaiki semuanya,"lanjut Bramantyo. Suaranya nyaris seperti bisikan. " Aku tidak akan memaksa. Kamu butuh waktu, jika sudah siap menerimaku. maka datanglah lagi kemari. Aku akan menunggumu."
Amalia memandangi Bramantyo, matanya memancarkan ketulusan. Aura nya tetap sama. Tak ada distorsi.Tak ada warna merah menyala dari kemarahan , atau ungu tua yang manipulatif yang sering dia lihat di orang lain.
Namun ada satu hal yang ganjil. Aura itu terlalu sempurna. Terlalu terkendali. Seperti pola warna yag tidak tumbuh bebas, tapi disusun. Seharusnya, emosi seseorang berubah-ubah, memancar spontan. Tapi aura Bramantyo terasa seperti lukisan yang sudah dipernis. Indah. Tapi beku.
Amalia nyaris percaya. Dan itulah letak bahayanya.