Jadi diri sendiri, katanya sih bagus. Katanya sih jujur. Katanya sih bahagia. Tapi kenyataannya… kok rasanya kayak lari maraton di aspal panas, tanpa sepatu, dan sesekali disoraki penonton yang nggak ngerti kenapa kita lari sambil nangis?
Dari kecil kita diajarin buat jadi “anak baik.” Tapi definisi ‘baik’ selalu berubah tergantung siapa yang ngomong. Baik versi orang tua beda sama guru. Baik versi mantan beda lagi (dan biasanya lebih kejam). Pas akhirnya kita berusaha jadi diri sendiri, eh… dibilang “kamu berubah ya, sekarang aneh.”
Padahal, aku cuma pengen jujur—nggak mau pura-pura kuat, nggak mau sok nyambung, nggak pengen senyum padahal lagi pengen gulung di kasur sambil dengerin lagu galau. Capek sih. Tapi lucu juga, kalau dipikir-pikir.
Hidup ini memang nggak ada panduannya. Tapi aku belajar, jadi diri sendiri itu bukan tentang jadi sempurna. Tapi tentang tetap bertahan, meskipun kaki lecet, walau tanpa sepatu, dan tetap bisa ketawa—meskipun kadang tawa itu cuma buat diri sendiri.
Selamat datang di hidupku. Amburadul, jujur, dan (semoga) sedikit menghibur.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2