Fayena dan Regina telah selesai memasak untuk makan siang mereka. Ada daging bakar, nasi, dan beberapa lauk yang memang sudah dibawa dari rumah. Regina mengelar karpet di atas pasir dan menata makanan dan minuman di atasnya.
"Faye, lo bangunin dulu tuh si asisten," titah Regina.
"Oke," sahut Fayena seraya berjalan menuju tenda berwarna abu-abu tua.
Fayena menyingkap penutup tenda itu, tampak seorang pria tertidur dengan pulas di dalamnya. "Juanda--eh, Ananda maksudnya. Nan, bangun yuk! Tuh makanan sudah siap," seru Fayena.
Pria yang dipanggil Ananda itu pun membuka matanya, lalu menoleh pada Fayena. "Oke. Gue keluar sekarang," ujar Nanda seraya memakai kacamatanya. Pria itu pun keluar melewati Fayena yang terdiam di tempatnya.
Fayena tiba-tiba merasa ada yang aneh yang terjadi. Seperti ada sesuatu yang ia lewatkan atau ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak tahu itu apa. Ditambah ia memanggil Ananda dengan panggilan Juanda. Siapa Juanda? Mengapa ia salah mengucapkan nama asistenya sejauh itu?
"Oy, Faye! Malah bengong di sana. Cepat kemari!" tegur Regina.
Barulah Fayena tersadar dari lamunannya. "Oh, iya. Gue mau tutup tendanya," ujar Fayena.
Mereka bertiga melakukan kegiatan makan siang dengan santai. Ditemani oleh semikir angin dan suara ombak, serta pemandangan yang sangat indah. Regina adalah orang yang paling menikmati momen itu. Berbeda dengan Fayena yang sedari tadi merasa aneh dengan keberadaan Ananda. Pria bernama lengkap Ananda Mahari itu pun menegur gelagat aneh yang Fayena lakukan sedari tadi.
"Kenapa lo, Faye? Perasaan dari tadi liatin gue gitu banget. Kayak ada yang salah gitu dari gue. Kenapa lo?" tanya Ananda.
Regina ikut menoleh pada Fayena yang menggeleng kepalanya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. "Eh, enggak kok. Gue rada ngerasa aneh aja. Kok gue panggil elo Juanda tadi. Terus gue kayak nggak kenali muka lo untuk beberapa saat. Aneh, ya?"
"Mabuk laut kali lo," celetuk Regina. "Orang muka Nanda gitu-gitu aja dari tadi nggak ada yang berubah. Mungkin karena lo kebanyakan pikiran akhir-akhir ini, Faye. Udahlah lupain aja."
"Bener tuh. Muka gue nggak berubah sama sekali kok. Juanda teman lama lo kali. Tapi agak mirip juga Juanda dan Ananda. Beda dua huruf depan doang," timpal Ananda.
"Iya juga, ya. Gue keknya mau minum es kelapa habis makan ini. Biar seger badan gue," ujar Fayena tertawa hambar.
"Ntar gue beliin,'' sahut Ananda.
Malamnya ketika orang-orang pada tidur, Fayena keluar dari tendanya saking ia tak bisa tidur. Fayena berniat untuk mencari udara segar untuk menjernihkan pikirannya yang kalut tanpa sebab. Ia merasa ada sesautu yang hilang dari tadi siang, tetapi tak tahu itu apa. Ketika ia sudah cukup jauh dari tenda, Fayena memutuskan untuk duduk di pasir menghadap ke arah pantai. Ia mengeluarkan ponselnya untuk melihat-lihat hasil fotonya tadi pagi. Ada banyak foto dirinya bersama Regina dan foto dirinya dengan Regina dan Ananda. Hingga ketika guliran berikutnya, Fayena tak sengaja melewati sebuah potret yang terlihat agak lain. Fayena langsung kembali menggulir kembali foto sebelumnya. Kedua mata gadis itu membulat melihat potret dirinya bersama Juanda ketika pertama kali datang ke pantai ini.
"I-ini siapa?" Fayena tercekat menatap wajah pemuda itu. Pakaiannya memang sama seperti Ananda, tetapi wajah dan perawakannya tentu saja berbeda. Ini adalah orang yang berbeda.
Fayena memejamkan matanya mencoba mengingat wajah itu dengan sangat serius. Semakin erat Fayena memejamkan matanya, semakin ia fokus mengingat wajah itu. Hingga sekelebat ingatannya berputar, dimana ia menyebut nama pemuda itu dan selalu bersamanya.
"Juanda!"
"Juan, lo mau nggak ...."
"Beliin gue kopi dong, Wan."
"Fayena."
"Faye ...."
"Fay."
Suara dan memori itu terus bergulir di kepalanya. Fayena mengerutkan keningnya dalam pejamnya. Ia tiba-tiba disuguhi ingatan tentang mereka yang kabur ke desa Grawang Telu. Lalu, Fayena juga ingat tentang Juanda yang mengatakan bahwa kehidupan yang sekarang bukanlah kehidupan asli Fayena. Juadan juga menyuruhnya mempertimbangkan untuk kembali pada takdir sebelumnya, yakni takdir pemberian dari Tuhan.
"Hahhhh!" Fayena membuang napasnya kasar begitu ia sadar dan membuka mata. Kedua matanya berkaca-kaca begitu ingat semuanya. Ia ingat Juanda, ia ingat sebelumnya memang Juanda yang menjadi asistennya.
"A-apa jangan-jangan Juanda udah kembali ke takdir lamanya terus dia menghilang begitu aja? Jadi Ananda adalah pengganti Juanda buat jadi asisten gue di kehidupan yang sekarang?"
Fayena meremas rambutnya dengan perasaan yang berkecamuk. Ia menangis menatap lautan di hadapannya. Mengapa rasanya begitu menyesakkan ketika tahu Juanda telah meninggalkannya? Fayena bahkan menangis sesegukan tanpa khawatir suara tangisnya akan didengar oleh orang.
"Kenapa lo pergi tanpa pamit, Juanda? Kenapa lo nggak bilang dulu sama gue. Gue udah terlanjur sayang sama lo, Juan. Sekarang gue bisa apa? Gimana caranya gue bisa hubungin lo? Gimana!" Fayena menangis pilu seorang diri. Hatinya berdenyut sakit ketika mengenang sosok Juanda. Walau kehadiran Juanda dalam hidupnya tergolong singkat, tetapi Juanda selalu menjaganya selama masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini. Bahkan ketika ia ditinggalkan oleh Alfino, ada Juanda yang selalu menghiburnya hingga ia tak merasa sendiri. Malam itu, Fayena berjalan dengan langkah lesu menuju tendanya. Ia masuk tenda dan berbaring di samping Regina. Kedua mata gadis itu menutup, berharap besok pagi keadaan akan kembali. Juanda akan ada di sini. Namun ternyata ia salah, begitu ia bangun pagi, ia langsung menuju tenda di samping tendanya. Ternyata yang tidur di dalam tenda itu tetaplah Ananda. Fayena kembali ke tendanya dengan sangat lesu.
Pagi-pagi sekali, Regina bangun dari tidurnya. Ia heran melihat Fayena yang berkemas untuk pulang. Regina tahu persis bagaimana sifat Fayena ketika sudah liburan. Gadis itu tak ingin pulang cepat, bahkan ia selalu memaksanya untuk pulang. Namun sekarang apa? Fayena bahkan beres-beres tanpa bantuannya.
"Kok beres-beres, Fay?"
"Ya mau pulanglah. Makanya beres-beres," sahut Fayena.
"Tumben banget. Biasanya lo tuh paling males pulang dari liburan. Ini malah pagi bener mau pulang. Minimal kita sarapan dulu," ujar Regina.
"Lo suruh Ju--Nanda deh buat masak sarapan. Gue males banget nih keluar," ucap Fayena.
"Ya udah dah. Tapi serius lo aneh banget dari kemarin. Mana pakek nggak kenalin asisten sendiri lagi. Kan lo udah akrab banget sama Nanda ya walau dia nggak lama ini kerja sama lo."
"Eh, Re. Gue mau tanya dong. Emang lo nggak ngerasa ada hal aneh, ya? Lo ngerasa ada sesuatu yang hilang nggak sih? Emang lo nggak ada ngerasa sesuatu telah berubah atau ada yang lo lewatkan?" tanya Fayena dengan tatapan seriusnya.
Regina mengembuskan napasnya sambil geleng-geleng menatap Fayena. "Lo emang aneh banget, Fay. Hal aneh yang gue rasain malah ada di diri lo. Mulai dari nggak kenal sama Ananda, habis itu banyak diem, suka menyendiri selama di sini, dan ini lo malah ngajak pulang. Yang aneh itu elu, Fayena. Dahlah gue laper, gue ngajak Nanda bikin sarapan dulu," celoteh Regina sebelum keluar dari tenda meninggalkan Fayena yang terdiam di tempatnya.
Regina sedang memasak sarapan bersama Ananda. Mereka hanya memanggang roti bakar di atas sebuah wajan. Sambil membolak-balik roti, Regina pun membalas hal aneh yang terjadi pada Fayena.
"Nan, gue heran deh sama Fayena. Masa dia ngajak pulang pagi ini juga. Kan minumal pulang sore gitu. Dari kemarin dia tuh aneh, nggak kenal elo, lebih suka menyendiri, persis kayak orang banyak pikiran. Terus tadi dia tanya, menurut gue ada hal yang berubah dan yang gue lewatin nggak sih. Ya gue bilang nggak ada. Menurut lo gimana? Lo ngerasain ada hal yang aneh?"
Ananda lekas menggeleng. "Enggak tuh, Mbak. Biasa aja pokoknya. Tapi Faye emang aneh sih. Dia beberapa kali curi pandang ke gue dengan tatapan yang mencurigakan banget. Kayak penuh selidik gitu. Emang gue habis ngapain coba."
"Keknya habis pulang dari sini gue harus ajak Faye ke psikolog deh. Gue takut emang jiwanya rada terganggu. Lo tau sendiri kan masalah yang dia hadapi akhir-akhir ini? Pasti berat buat Fayena," ujar Regina mulai prihatin.
"Ide bagus tuh, Mbak. Emang kudu dibawa ke psikolog sih dia. Soalnya emang agak lain. Tekanan batin kan bisa aja buat orang rada linglung gitu. Amit-amit deh kalau sampai Faye gangguan beneran."
"Jaga mulut lo, ntar kedengaran Faye malah ngamuk tuh anak."
Usai sarapan bersama, mereka bersiap-siap untuk pulang. Selagi Juanda dan Regina membereskan tenda, Fayena sudah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu untuk menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Fayena menyenderkan tubuhnya sepenuhnya pada kursi mobil sambil memejamkan matanya.
"Gimana caranya gue bisa ketemu sama lo, Juanda? Sekali aja. Gue mau ngomong sama lo, Juanda. Plis kasih tahu gue gimana caranya kita ketemu," batin Fayena.
Nyatanya tak ada sahutan dari Juanda. Fayena menatap sedih ke arah Ananda dan Regina yang baru saja datang. Melihat sosok Ananda juga mengingatkannya pada sosok Juanda yang selama ini menjadi asistennya. Rasa rindu itu tiba-tiba menyeruak, membuat Fayena menutup mulutnya untuk tidak menangis. Buru-buru ia mengambil masker dan kacamata hitam untuk menutupi wajah sedihnya dari Regina dan juga Ananda. Mereka tak akan mengerti walau ia jelaskan ribuan kali. Jelas ini adalah hal yang mustahil. Tak akan ada yang mempercayainya dengan mudah selain dirinya yang mengalami kejadian ini sendiri. Dunia begitu luas dan manusia begitu banyak, mengapa hal ini malah terjadi pada dirinya. Sejatinya manusia memang seperti itu. Merasa seolah-olah Tuhan tidak adil, padahal apa yang terjadi boleh jadi buah dari apa yang manusia itu lakukan sebelumnya. Namun sangat sedikit manusia yang bisa menyadari hal itu. Mereka hanya bisa menuntut dan mengeluh tanpa mau menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan.
Oleh sebab itu, manusia perlu yang namanya musibah atau ujian agar ia bisa belajar dari apa yang telah terjadi dan menyadari kesalahan apa dan mulai dari mana suatu musibah itu. Hingga akhirnya mereka akan sadar betapa besarnya kuasa Tuhan dan betapa bodohnya ia menjadi hamba yang kurang bersyukur.