Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jalan Menuju Braga
MENU
About Us  

Braga kini berhadapan dengan Ruli, seorang Siswa kelas dua belas yang sudah berkali-kali berhadapan dengannya. Ruli dibawa di kelas kosong yang ada di lantai 3, yang dulunya adalah ruangan lab IPA, dan kini beralih fungsi jadi ruangan Svarga.

Tatapan Braga kini tak lepas menatap Ruli yang tengah duduk menyilangkan kaki sembari terkekeh. Memang, Ruli ini tingkah lakunya sungguh minus. Sopan santun seperti hilang dari ingatannya. Guru BK saja sudah angkat dengan Ruli ini. Berkali-kali memanggil orang tuanya tapi tidak pernah hadir, bahkan sudah sering di-skorsing pun tidak membuat Ruli jenuh. Ia malah seakan sengaja membuat masalah untuk berhadapan dengan Braga lagi dan lagi, berhadapan dengan Bu Herlin lagi dan lagi. 

"Kali ini, apa ulahnya?" tanya Braga pada Marlo yang duduk lekat di samping Ruli.

"Dia mabok, Ga. Gak tau lagi gue sama kelakuannya. Di sekolah tempat cari ilmu, bisa-bisanya kelakuan dia kayak begini." 

"Mabok? Di siang hari begini? Di sekolah? Sama  barudak yang lain?" 

"Sendirian dia, Ga."

Jovan beranjak. Ia kini ikut bersuara menyuarakan rasa kesalnya. Ia menunjuk Ruli dengan berapi-api. "Ga, ini si blegug lain ngan ukur mabok, tapi kalakuana bener-bener ngajadikeun aing emosi. Kumaha budak ieu tiasa nyabak awéwé? Kurang ajar pisan, anjing!" teriak Jovan.

Sang tersangka utama yang ditunjuk itu malah terkekeh. "Emosi maneh? Ada cewek kamu di sana tadi? Teu narima?" ucapnya enteng.

Jovan terperangah. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan Ruli yang memang menyebalkan dan kurang ajar itu. Napasnya yang sudah menggebu ditambah kesal melihat wajah Ruli bersama rambut kribo-nya benar-benar membuat Jovan ingin saja menoyor kepalanya.

Ruli Binatra. Tidak ada yang tidak mengenal Gold Executive Membership Bu Herlin satu ini. Ruli seharusnya sudah lulus tahun lalu. Namun, karena nilainya sangat kurang disertai sikapnya yang tidak ada satu pun poin baiknya, membuatnya diharuskan tinggal kelas. 

Ruli dengan segala tingkahnya selalu saja menjadi biang keributan di sekolah. Sebut saja seperti mengunci toilet perempuan dari lantai 1 sampai lantai 3, menyembunyikan map penilaian guru di jam-jam kritis ujian, membuat info palsu tentang libur sekolah--yang mengakibatkan Sekolah sepi di hari Senin, bertengkar perkara perempuan dengan Adik Kelas, merokok di sekolah, mabuk di sekolah, mencuri di Bik Nena, dan sampai detik ini ia membuat ulah menoel-noel Murid perempuan kelas sepuluh dengan kurang ajar.

Rasanya kesabaran Braga sudah tidak bisa lagi ditolerir. Tidak bisa lagi ia hanya diam dan memberikan peringatan ke Ruli itu. Apalagi untuk masalah ini, sudah masuk di ranah sensitif. 

"Kenapa diem bae, Ga? Mau ngapain lagi kamu? Mau pukul aing? Sok! Sok atuh!" teriak Ruli. Ia menyodorkan pipi kanannya dengan sukarela. "Aish, maneh mah gak akan berani pukul aing di sekolah. Citra maneh takut makin anjlok kan?" ujarnya dengan tawa meledek.

"Cuih! Preman belagak anak rumah maneh kalo di sekolah!" lanjut Ruli. "Cupu!"

Marlo meremas kerah seragam Ruli dengan emosinya. "Diem! Mulut lu diem, Ruli! Berisik!" Kesalnya. "Eh, dedengkot! Kalau mau, udah dari dulu Braga bogem lo. Lagian lo gak tau apa-apa soal Braga, enak banget itu mulut ngomong. Preman? Pernah lo liat dia mukulin orang lain, malak? Mulut lo kayak mulut perempuan. Najis!"

Kini Braga yang terkekeh. Ia tersenyum tenang ke Ruli. "Biarin aja, Lo. Suka-suka dia mau ngomong apa," ujar Braga. 

Kini ia menatap Ruli lebih serius. "Memang faedahnya mukulin kamu apa? Kayak nggak ada kerjaan lain aja pake mukulin kamu?" 

"Ya, terus, ngapain bawa aing kadieu?

"Nih," Braga menyodorkan sebuah amplop cokelat ke Ruli. "Ambil."

Sang penerima hanya terdiam di tempatnya sembari menatap lama amplop yang disodorkan Braga. Ia melihat Braga benar-benar. "Naon ieu?"

"Ambil," perintah Braga lagi.

Dengan ragu Ruli mengambil amplop itu, diiringi tatapan Marlo, Jovan, dan Arendra yang juga terheran dengan aksi Braga yang selalu ajaib.

Tangan Ruli gemetar membuka bagian atas amplop itu. Ia membuka lipatan yang menjadi penutup ujung amlop. Ia lalu mengintip sebentar, setelahnya pandangan Ruli cepat beralih ke Braga. "Ga?" panggilnya bingung. "Naon duit ieu? Naon maksudnya?" 

"Berhenti bikin ulah, Bang. Berhenti lampiasin semua capekmu di rumah dengan berulah di sekolah," ujar Braga tenang. "Tingkahmu itu udah nggak ketolong. Bikin capek banyak orang. Bikin guru-guru nambah dosa di masa tuanya."

"Sekarang sekolah yang benar, Bang. Cepat lulus, terus cari kerja yang layak sesuai passion kamu. Duit ini buat cari rumah kontrakan baru sama Ibu dan Adek perempuanmu. Ya, sisanya bisalah buat bertahan hidup. Tinggalin aja Ayahmu yang tukang judi dan tukang pukul itu," ujar Braga to the point. Ia menepuk pundak Ruli. "Masa depan kamu masih panjang. Harapan keluargamu cuma tinggal kamu. Masa iya kamu mau runtuhin harapan itu?"

"Bukannya kamu juga bilang ke Adek perempuanmu kalau dia boleh punya cita-cita jadi dokter seperti teman-temannya, karena kamu yang bakal berusaha buat wujudin itu?" 

"Nggak mungkin, kan, jadi murid yang bandel dan kacau kayak gini, bagian dari usaha kamu juga?" 

Mata Ruli berkaca-kaca. 

"Setelah lihat Ibu dipukulin sama Ayahmu sendiri, kamu juga janji, kan, kalau gak akan jadi laki-laki brengsek kayak Ayahmu?" 

Ruli menatap Braga dengan mata basahnya.

"Bisa bayangin, nggak? Gimana perasaan ibumu saat tau anaknya yang udah janji nggak bakal brengsek seperti ayahnya, tapi ternyata udah punya bibit jadi orang brengsek yang kriminal dan berandalan sekolah begini?"

"Kira-kira dia bakal sekecewa gimana sama kamu?" lanjut Braga. 

Ruli kembali tertunduk dalam. Laki-laki petantang-petenteng itu takluk dalam penggambaran harapan besar keluarganya pada dirinya yang digambarkan oleh Braga. 

Rasanya semua itu seperti menghujam relung hati Ruli. Secercah harapan merasuki jiwanya, mengusir sifat-sifat busuk dan digantikan ke hal-hal yang baik. Pikirannya terbuka. Ucapan Braga benar-benar membuatnya berpikir. Ternyata semerepotkan ini ia bagi orang lain?

"Bang, laki-laki itu nggak pernah ingkar sama ucapannya. Bukannya gitu?" ujar Braga lagi. "Pastikan itu adalah kamu ke keluargamu. Kamu nggak akan jadi laki-laki yang ingkar."

Tangan Ruli lemas seketika. Amplop yang berisi tiga gepok uang itu tercecer di lantai. Seorang Ruli yang terkenal anti cengeng club, tidak punya hati nurani sehingga sering membuat banyak orang mengeluh atas tingkah lakunya, kini tertunduk dan menangis kencang di sana. Sesekali ia berteriak melepas penat jiwanya selama ini. 

Marlo tercengang di tempatnya duduk. Ia menatap heran Ruli yang tadinya petantang-petenteng berubah jadi seperti kerupuk seblak yang disiram kuah panas. Suasana gahar yang berubah dalam sekejap menjadi suasana hangat ini memang tidak asing. Namun, untuk urusan Ruli ini, banyak hal-hal yang tidak bisa ia mengerti alurnya, karena Ruli ini tipe orang keras kepala yang sulit diatasi. Selama tiga tahun lebih rasanya sangat sulit membuatnya patuh. Lalu bagaimana bisa seorang Ruli tiba-tiba luluh? Benar-benar, the power of Braga. 

"Nangis aja. Laki-laki juga boleh nangis, Bang, nggak ada larangannya," kata Braga santai. Laki-laki itu kemudian menyandarkan punggung  di kursi dan tersenyum tenang di sana.

"Ga, bentaran. Aya naon sih? Naha aya adegan méré duit? Mana ini budak lalaki nangis pisan?" tanya Jovan penasaran. Laki-laki yang menyebabkan pertikaian ini tidak bisa mengerti dengan keadaan. Ini semua sungguh tidak seperti bayangannya. Minimal, Braga itu beraksi, atau paling tidak menghukum pelaku seperti biasanya. Namun, kenapa malah ada adegan menyedihkan ini? 

"Ga, Serius ieu, teu aya hukuman pikeun Ruli? Bener ini maneh malah kasih Ruli artos?"

Braga mengangguk tanpa ragu. "Ngingetin dia gak perlu pake hukuman, udah mainstream. Malah nggak pernah didengerin 3 tahun ini. Kayaknya ngingetin soal keadaanya dan keluarganya, gue rasa udah lebih dari cukup buat hukum dia. Iya, kan, Bang?" 

Dalam tangisnya, Ruli mengangguk cepat. 

"Udahan, kan? Selesai, kan, masalahnya? Gue cabut dulu kalau gitu. Ada perlu penting," ujar Braga. Laki-laki itu kemudian berdiri dan sebentar meregangkan punggungnya. "Kalau dia udah selesai nangis, suruh pulang aja. Udah aku ijinin ke Bu Herlin." 

Marlo berdiri dengan terbingung saat Braga beranjak keluar tanpa ada penjelasan, ditambah meninggalkan satu onggok manusia bernama Ruli yang tidak berhenti menangis ini. 

"Ga, mau kemana lo? Ini gimana? Masa gue nungguin cowok nangis?! Yang bener aja lo?" 

"Pemanasan, Lo. Barangkali besok ada kemajuan nungguin Bapak-bapak nangis."

"Yeu! Sialan!" keluhnya. "Ga, kemana sih? Tungguin napa kambink!" 

"Sibuk. Ada yang nungguin gue, katanya nanti dimarahin Ibunya kalau telat." 

Braga menghilang dari pintu setelah menjawab demikian. Laki-laki itu melangkah tampan di koridor lantai 3 yang sepi, lalu menuruni tangga. 

Langkah santainya itu belum sampai di ujung tangga. Namun, langkahnya dipaksa berhenti oleh keadaan. Ia terheran dengan koridor kelas dua belas yang ramai dengan banyak murid. Ada apa gerangan?

Braga terdiam di sana sembari menyadar di tembok. Ia asik mengamati keadaan.

"Kalian salah paham! Kak Braga dan Svarga nggak kayak yang kalian omongin. Jadi, please stop bikin thread nggak penting di base."

"Lagi mengarang bebas kamu? Memang kamu punya bukti apa kalau dia nggak kayak yang aku spill di base? Buktinya, kamu punya?" terang Zara lagi. 

"Pikir aja. Braga bahkan sekarang ngurung Ruli di lantai 3. Kamu pikir dia bakal peluk dan sayang-sayangan sama Ruli? Ya, enggaklah! Yang ada Ruli digebukin sampai babak belur dan berakhir besok pagi udah ada berita kalau dia di-skors berkat laporan Braga. Itu cowok sering pakai previlege-nya buat hal-hal gak bermoral kayak gitu. Semua rakyat HarTam juga paham."

"Kalau memang kamu punya bukti, spill dong? Jangan cuma omongan aja," lanjut Zara.

"Bener," setuju Jihan sembari menggeser letak jepit beruang di kepalanya. "Gimana? Udah bikin rame kayak begini, kamu punya bukti nggak?" sahut Jihan, teman Zara.

"Punya!" jawab Berly cepat.

"Mana?"

"I'll let you know, tapi kalau sampai aku bisa buktikan kalau Kak Braga nggak kayak tuduhan Kakak itu, Kak Zara harus berhenti buat thread di base tentang Kak Braga & also apologize to him." 

"Deal!" setuju Zara tanpa ragu. 

Braga melihat cermat sosok gadis yang berteriak melengking membelanya itu. Bisa ia kenali, dari radar pink di atas kepalanya, bahwa ia adalah Berly. Gadis itu kini berbalik dan menembus keramaian di belakangnya, digandeng oleh seorang temannya yang juga Braga kenali namanya, Jessie.

Gadis itu berjalan dengan bersungut-sungut sembari menggenggam ponsel. 

Dan saat itu juga Braga turut mengambil ponselnya. Ia mengetikkan pesan ke sebuah nomor yang belum ada namanya itu.Di laman chatnya, yang terpampang hanyalah profil picture dari kontak tak bernama itu.

Berly, kamu peduli banget?

Kenapa? Naksir sama aku?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • suhar

    Bagus kak ❤
    Next Part Kapan Nih kak ???

    Comment on chapter P R O L O G
Similar Tags
Langit Tak Selalu Biru
83      70     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Perahu Jumpa
294      240     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Finding the Star
1339      960     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Survive in another city
149      124     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2502      922     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Ikhlas Berbuah Cinta
1233      831     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Behind The Spotlight
3443      1682     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Cinta yang Berteduh di Balik Senja
1313      816     2     
Fantasy
Di balik kabut emas Lembah Fengliu tempat senja selalu datang lebih pelan dari tempat lain dua orang duduk bersisian, seolah dunia lupa bahwa mereka berasal dari dua keluarga yang saling membenci sejak tujuh generasi silam. Aurelia Virelle, putri dari Klan Angin Selatan, dikenal lembut dan berkelas. Kecuali saat dia lapar. Di saat-saat seperti itu, semua aura anggun luntur jadi suara perut ker...
XIII-A
851      625     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
225      188     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...