Loading...
Logo TinLit
Read Story - Da Capo al Fine
MENU
About Us  

Dua orang itu berhenti tepat di depan pintu Kepala Sekolah. Ada ketegangan yang menguar dari sikap mereka yang seolah-olah santai. Bibir-bibir terkatup rapat, mata menatap lurus menghindari kontak. Adanya jarak yang diusahakan sejauh mungkin dengan satu sama lain. Keduanya diam, tidak ada yang berniat mengetuk pintu itu. 

Pada akhirnya, Ghea menyerah dan mengetuk pintu lebih dulu. Karena hanya berdiri diam sama saja dengan membuang waktu. Membuatnya semakin kesal. 

“Masuk.” Suara Kepala Sekolah SMA Tri Tunggal, Pak Wisnu terdengar menyahuti dari dalam. Ghea langsung membuka pintu diikuti Dirga di belakangnya. 

Tampak seorang pria tua dengan rambut yang sudah beruban tipis duduk di sofa tengah ruangan. Seragam coklat ala pegawai negeri yang kebesaran membuat tubuhnya semakin terlihat kurus. Kacamata baca menggantung di hidungnya, pria itu melirik dari baliknya untuk melihat siapa yang datang. 

“Pak Wisnu panggil saya ya?” Ghea bertanya dengan ragu. 

Senyum Pak Wisnu sontak mengembang, matanya melebar. “Ghea dan Dirga ya? Betul, saya memang panggil. Ayo duduk!” Suaranya langsung menyambut mereka dengan hangat. Satu tangannya terarah ke sofa panjang di sebelahnya. Mempersilakan keduanya duduk. 

Dirga mengambil langkah lebih dulu untuk menyapa kepala sekolah barunya itu. Ia mengulurkan tangan. “Siang, Pak. Saya Dirga,” sapanya. 

Pak Wisnu membalas uluran tangan itu dan tersenyum lembut. “Bagaimana setelah di sini selama tiga bulan? Kerasan?” tanyanya yang dibalas Dirga dengan anggukan. "Kalian pasti bingung kenapa dipanggil?" 

Dirga dan Ghea pun otomatis duduk lalu mengangguk bersamaan. Pak Wisnu terkekeh melihat wajah tegang dan bingung kedua muridnya. "Tenang saja, kalian tidak membuat kesalahan apa pun,” ujarnya sembari menatap Ghea dan Dirga bergantian. “Saya cuma ingin memberikan penawaran ke kalian.” Pria tua itu menahan kalimatnya sebentar dan mengambil napas sebelum melanjutkan. “Saya sudah tahu Ghea sejak kelas satu dan prestasinya sebagai juara satu paralel. Saya pun sudah membaca perihal prestasi Dirga selama di sekolah sebelumnya. Walau pun baru tiga bulan berada di sekolah ini, Dirga bisa langsung menyusul ketertinggalan dan meraih juara dua. Hasil UTS yang keluar hari ini membuat saya semakin yakin.”

Ghea tahu ke mana arah pembicaraan ini. Memang persis seperti yang Firzha katakan. Ia mendongak menatap Dirga di seberangnya yang mendengarkan Pak Wisnu dengan khidmat. Pandangannya lantas beralih lagi ke Pak Wisnu yang sibuk berceloteh. Sebenarnya kenapa semua orang suka berbasa-basi? Padahal pria itu bisa langsung mengatakan keinginannya dari awal, tanpa harus menjabarkan ada flashback dadakan seperti dalam anime.

Pak Wisnu tiba-tiba menatap Ghea dengan pandangan yang sulit diartikan. “Saya sudah berkali-kali menawari Ghea untuk ikut ikut olimpiade tapi selalu ditolak. Saya menghargai itu. Mungkin kamu masih ragu dan takut dengan sesuatu yang belum pernah kamu lakukan. Tapi kali berbeda, Ghea. Dirga punya pengalaman olimpiade yang bisa membantu di lomba. Dan dengan kemampuan otakmu yang tidak main-main itu, saya yakin. Kita bisa mengalahkan SMA Nusantara sebagai juara berturut-turut. Itu ide saya. Apa kalian mau ikut olimpiade sebagai kelompok?" 

Ghea melihat Pak Wisnu yang mengamati dirinya dan Dirga dengan tenang. Menunggu jawaban. Pria tua itu tersenyum yakin, binar matanya pun penuh dengan harapan dan impian. Kali ini ambisinya membawa nama Tri Tunggal ke kejuaraan semakin menggebu-gebu, terlebih dengan adanya Dirga. Tapi sayang sekali, Ghea memutuskan harus mematahkan sayap itu sebelum terbang terlalu jauh. 

“Maaf, Pak.” Ghea menegakkan tubuh. Ia mengambil napas berat sebelum menatap Pak Wisnu. “Sepertinya sebelum-sebelumnya, jawaban saya masih tetap sama. Maaf, saya tidak bisa ikut olimpiade itu,” lanjutnya tanpa basa-basi. Wajahnya terlihat berkerut tidak suka tapi sebisa mungkin tetap sopan di depan Pak Wisnu. 

Dirga menoleh, binar di matanya yang sempat terpercil tadi lantas lenyap. Senyum dan sikap tenangnya pun terpecah. Yang tersisa kini hanya Dirga yang menatap Ghea tajam dengan rahang mengeras. "Kenapa?" kata itu refleks keluar dari mulutnya dengan nada sedikit meninggi. 

Ghea menoleh dan menatap Dirga dengan tak kalah nyalang. Rasa kesalnya karena baru dibentak ia tahan sebisa mungkin. "Kenapa nggak? Pak Wisnu menawari dan gue punya hak buat nolak. Iya kan, Pak?”

Belum sempat Pak Wisnu menjawab, Dirga langsung menimpali. “Ghe, kenapa lo secepet itu bikin keputusan tanpa mikir lebih dulu.”

Ghea mengernyit. “Darimana lo tau gue nggak mikir lebih dulu? Pak Wisnu udah nawarin olimpiade berkali-kali dan dari semua itu gue juga udah selalu mikir sebelum nolak itu semua,” ujarnya. Ia tahu kefrustasian Dirga. Seperti yang selalu dibilang orang-orang, cowok itu memang selalu ambisius untuk mencapai keinginannya. Sayangnya, yang tidak Dirga sadari adalah, kebiasaannya selalu menekan orang lain untuk terus ambisius sepertinya. 

Dirga tetap keras kepala. Baginya mungkin olimpiade ini menjadi tantangan baru untuk ditakhlukkan. Dan karena saingannya adalah SMA terkenal di Jakarta, memang patut jika Dirga bersemangat. “Kalo lo nolak karena tertekan atau takut kalah, berarti lo udah kalah, Ghea. Kenapa nggak mau nyoba dulu sebelum nolak? Walaupun nggak menang, pengalaman olimpiade gini tuh penting buat—“ 

“Gue nggak ngelarang lo buat ikut, Ga,” potong Ghea. “Kalo lo mau ikut, silahkan. Tapi gue tetep nggak.” 

"Ghea, ini kesempatan yang bagus untuk kalian berdua,” timpal Pak Wisnu. “Kandidat SMA Nusantara untuk olimpiade ini tiba-tiba diganti dan yang saya amati, penggantinya ini tidak sekuat sebelumnya. Ini celah bagus untuk dimanfaatkan, Ghea. Tanpa menghilangkan sportifitas.”

Ghea tertegun. Cewek itu tiba-tiba terdiam. Perubahan sikapnya itu memunculkan harapan baru bagi Pak Wisnu dan Dirga. Keduanya menatap Ghea penuh harap dan menunggu. 

"Maaf, Pak. Saya tetap tidak bisa,” ujarnya tegas dan bangkit berdiri. “Saya yakin Dirga sudah cukup untuk ikut olimpiade itu. Kalo Bapak ingin olimpiade kelompok, saya bisa menyarankan Tiara dari kelas IPA 7. Dia juga juara dua paralel berturut-turut sebelum Dirga masuk.”

"Ghe," Dirga buru-buru bangkit dan menyentuh bahu Ghea pelan untuk menahannnya. Ia menatap Ghea lurus-lurus. 

Pandangan mereka saling terpaku untuk sepersekian detik. Lalu Ghea menggeleng pelan sebagai tanda penolakan terakhirnya. 

“Mari, Pak. Saya pamit lebih dulu," kata Ghea sebelum berbalik. 

“Ghea!” Suara Dirga terdengar memanggilnya tapi Ghea tidak peduli dan berjalan keluar ruangan. “Sebentar, Pak. Saya coba bujuk dan mendiskusikannya lebih dahulu. Ghea pasti mau.”

Dih? Memangnya siapa cowok itu bisa tahu pikiran Ghea? Mbah dukun? Ghea semakin mempercepat langkahnya, capek sekali jika harus berdebat lagi dengan Dirga untuk yang sekekian kali hari ini. Tapi langkah kecilnya jelas kalah jika dibanding langkah panjang Dirga. Cowok itu dengan cepat menyalip dan memotong langkahnya. Duh, harusnya Ghea berlari saja tadi. 

Dirga menahan pergelangan tangan Ghea yang membuat cewek itu mau tidak mau harus berhenti. Bahu Dirga naikurun dengan ritme cepat, bukan karena lelah tapi marah. "Lo kenapa sih?" sentaknya langsung. 

Ghea diam dan melepaskan tangannya paksa. Ia mengelus-ngelus pergelangan tangannya. Meskipun tidak sakit, tetap saja hatinya terasa nyeri karena sikap cowok itu yang seolah bisa mengatur hidupnya. "Gue udah buat keputusan buat diri gue sendiri. Lo bisa buat keputusan untuk hidup lo sendiri. Fair?”

“Ghea, dengerin gue.” Dirga menahan kedua bahu Ghea. Ada kefrustasian yang tersenyembunyi dari suaranya. Kepalanya menunduk, melihat Ghea yang lebih pendek darinya. “Lo tau kan impian gue jadi dokter? Bukannya lo dulu juga punya impian yang mau diraih? Gue inget, lo bilang mau jadi arkeolog biar bisa menjelajah ke situs-situs kuno di dunia. Tapi kenapa sekarang lo jadi begini?”

Ghea mendongak, pandangannya jatuh pada dua mata Dirga yang penuh tuntutan. Pandangan yang dibencinya. “Anak kecil itu udah jadi lebih realistis, Ga,” ujarnya dengan suara lirih hingga menyerupai desisan. 

“Gue nggak liat realitisme itu, cuma ada cewek pesimis.” 

Sudah cukup. Kesabaran Ghea sudah hampir mencapai batasnya.  

“Guys, ada apa ini?” Elang tiba-tiba muncul, memakai jaket tim basket SMA Tri Tunggal sambil menggendong ransel di sebelah bahu. Ghea salah, Elang tidak tiba-tiba muncul tapi sepertiya cowok itu memang mau menuju lapangan indoor untuk berlatih. “Kalian berantem? Hayo, gue aduin ke Tante Ratih dan Tante Wina loh,” gurau Elang sambil tertawa. 

Gurauan itu benar-benar di waktu yang tidak tepat. Ghea dan Dirga membisu. Ketegangan ini lebih parah dari perang dingin antara Rusia dan Amerika. Ghea tidak ingin semakin memperkeruh suasana. Ia melepaskan kedua tangan Dirga dari bahunya dan berjalan pergi. Tapi Dirga langsung menahannya lagi. 

Ghea menyentakkan tangan itu cepat. “Apa lagi sih, Ga?!” Ia berteriak keras, cewek itu sudah berada di puncak emosinya. 

Elang ikut tersentak denga teriakan itu. Untung saja koridor yang dekat ruang kepala sekolah ini sering kosong. Karena hanya mengarah ke kantin dan lapangan indoor yang hanya ramai di waktu istirahat dan jam kosong. Jika tidak, suara teriakan Ghea pasti sudah menimbulkan gunjingan baru. 

"Trus kenapa lo nggak mau?" tanya Dirga dengan nada tidak sabar. Tidak melepaskan pergelangan tangan Ghea. “Gue butuh tau alasan lo.”

None of your business,” desis Ghea marah. Detak jantungnya berpacu dan matanya menajam menatap Dirga lurus-lurus. “Lo bisa cari Tia. Dia pasti dengan senang hati ikut olimpiade itu.”

“Tapi—“ 

“Tapi apa? Impian lo lagi? Go get it! Ikut olimpiade itu biar jadi dokter atau apa pun yang lo mau, gue nggak peduli. Jadi, bisa nggak, tolong banget juga jangan campuri urusan gue?” Suara Ghea bergetar, matanya bahkan berkaca-kaca. Ia tahan emosinya sekuat mungkin supaya tidak menyakti siapa pun, dirinya sendiri atau pun Dirga. 

Rahang Dirga mengeras. “Lo nyuruh Shafa buat sabotase nilai gue kan?”

Pertayaan itu tepat menghujam di jantung Ghea. Menusuk tepat hingga menmbuatnya tidak ingin menahan diri lagi. Apa maksudnya sih? Kenapa cowok itu menuduhnya sembarangan? Untuk apa pula ia sempat memikirkan hal itu. 

Tapi tampaknya Dirga sangat serius dengan ucapannya. Ralat, tuduhannya. “Lo kan yang minta Shafa biar selalu nanya pelajaran ke gue? Cewek itu nanya pelajaran hampir setiap hari, padahal ada lo yang lebih pinter jadi temen sebangkunya. Kenapa? Biar gue nggak fokus belajar dan ngajarin dia terus? Itu kan rencana lo buat nyabotase nilai gue?” 

"Lo ngigau ya?” Hanya pertanyaan itulah yang bisa keluar dari hati Ghea yang terasa sangat sesak. Tenggorokannya tercekat. Matanya memerah menatap Dirga nyalang, dengan bulir-bulir air mata yang meluncur ke pipinya. “Buat apa gue ngelakuin itu?” 

Dirga terdiam sebentar. Seolah ada bagian dirinya yang tiba-tiba terpecah. “Biar lo bisa terus dapet rangking satu paralel dan dapet beasiswa kan?” 

“Woi!” Elang memekik. Ikut tidak sabar dengan omong kosong yang diucapkan Dirga. 

Tapi Dirga tidak berhenti. “Emangnya alasan apa lagi yang ngebuat Shafa terus minta gue ajarin?”

“Kalau nggak mau kan lo bisa nolak, Ga. Lagian—“

“Kalo lo emang lebih pinter harusnya dari—“ 

Satu tamparan keras mendarat di pipi cowok itu. Harusnya Ghea merasa puas tapi kenapa ia malah semakin merasa bersalah? 

“Lo …” Suara Ghea tertahan, tenggorokannya sakit. “ … lo gila.” Ia menyentakkan tangan Dirga kasar dan mendorong tubuh jangkung cowok itu sekuat tenaga. “Hati sama otak lo harusnya dijual aja soalnya nggak guna,” ujarnya sebelum berbalik lalu berjalan pergi. Satu tangan menahan mulutnya agar tidak terisak.

Elang maju, menempatkan dirinya ke posisi Ghea di depan Dirga tadi. Pandangannya sejajar dengan Dirga. Tatapan keduanya saling bertumbuk dengan emosi meletup-letup. 

“Lo nggak usah ikut campur,” kata Dirga dengan nada penuh ancaman. 

“Kalo Ghea nggak nampar lo tadi, gue yang bakal mukul lo,” ujar Elang singkat sebelum berbalik pergi ke arah yang sama dengan Ghea. Meningalkan Dirga sendirian terdiam di lorong. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Story of time
2401      947     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
Solita Residen
1864      947     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Dinding Kardus
9917      2637     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Hello, Me (30)
20142      1084     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Dibawah Langit Senja
1634      953     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2423      910     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1220      814     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
658      348     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
130      107     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.