Setelah Bumi memberikan peringatan kerasnya di depan kelas pagi itu, seluruh teman sekelasnya tahu, itu bukan sebuah ancaman kosong. Kali ini setiap kali Sophia mengangkat tangan di kelas, tidak ada lagi tawa tertahan yang terdengar. Hanya ada senyap yang mencekam karena mereka tahu, Bumi dari bangku belakang dengan mata tajamnya memindai seisi kelas. Mencari siapa yang cukup bodoh untuk tidak mengindahkan peringatannya.
Dan ketika Bumi membuat hukum tidak tertulis bahwa Sophia tidak boleh diganggu, itu ternyata tidak terbatas hanya di ruang kelas, dan tidak hanya berlaku untuk teman sekelasnya. Suatu hari, mereka baru tahu apa yang terjadi jika tidak mematuhi hukum Bumi.
Sebelum kelas dimulai di pagi hari, seperti biasa, Geri, Nino, dan beberapa teman mereka dari kelas lain duduk santai di lantai depan koridor kelas X-E. Ritual pagi mereka tak pernah berubah, menggoda cewek-cewek yang lewat sambil tertawa seenaknya.
"Hai maniss... Senyum kek, jutek amat..." celetuk Nino pada seorang siswi kelas X-F yang lewat di depan mereka.
Gadis itu hanya melirik tajam, wajahnya menunjukkan jijik yang tak disembunyikan, lalu buru-buru masuk ke kelasnya.
“Cantik, pulang sekolah nanti ikut kita, yuk!” teriak Gilang, teman mereka dari kelas X-A, kepada cewek lain yang juga lewat.
Cewek yang digoda itu langsung terlihat takut dan mempercepat langkahnya, membuat gerombolan itu tertawa terbahak-bahak.
Tawa mereka belum mereda saat Gilang kembali membuka mulut. “Eh, rok lo kalau dipendekin dikit lagi pasti bagus, tau. Kaki lo putih soalnya... hahaha!”
Ucapannya kali ini diarahkan pada Sophia yang baru saja lewat di depan mereka.
Geri buru-buru menutup mulut Gilang dengan panik. Nino langsung mengeplak kepala Gilang keras-keras.
“Lu ngapain?! Cari mati lu?!” desis Nino sambil celingukan, matanya panik seolah mencari seseorang.
Gilang mengerjap kaget, “Ke-kenapa?”
Sophia, yang mendengar ucapan itu, langsung menunduk malu. Wajahnya memerah, dan dengan langkah cepat ia masuk ke kelasnya.
Dan benar saja.
Bumi muncul dari balik tikungan lorong. Sophia tidak tahu, kalau cowok itu berjalan beberapa langkah di belakangnya. Dan dia mendengar semuanya.
Geri dan Nino sontak membeku.
Wajah mereka seketika pucat pasi.
Bumi berjalan mendekat. Pelan. Tenang.
Tapi wajahnya gelap. Sangat gelap.
Matanya menatap seperti bara api yang menyala, dan kini tubuhnya berdiri menjulang di hadapan mereka—tangan terlipat di dada.
Ia menatap sejenak pada Gilang yang kini mendongak perlahan dengan wajah pucat.
Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, Bumi mencengkeram kerah baju Gilang, menariknya berdiri dan menyeretnya ke arah tangga menuju rooftop di ujung koridor lantai tiga.
Pintu besi rooftop terbanting menutup, menimbulkan suara keras yang mengguncang mental.
Tak ada yang berani mencegah.
Geri dan Nino hanya bisa terdiam kaku di lantai. Begitu juga anak-anak lain yang menyaksikan kejadian itu. Semua membeku di tempat.
Beberapa menit kemudian, Gilang kembali.
Tidak ada luka, tidak ada memar yang terlihat, tapi wajahnya pucat seperti kapur. Tangannya gemetar hebat. Tanpa sepatah kata, ia berjalan lunglai menuju kelasnya.
Tak lama setelah itu, Bumi muncul kembali. Langkahnya mantap, wajahnya masih sama kelamnya. Ia langsung menuju Geri dan Nino, lalu mencengkram kerah baju mereka, menarik mereka berdua berdiri begitu saja, seolah mereka hanya boneka kain.
Dengan sorot mata tajam dan suara dingin yang menusuk, Bumi berkata pelan namun penuh ancaman, “Sekali lagi lo sama temen-temen lo ngelakuin hal menjijikkan kayak gini… berikutnya lo berdua yang bakal gue tarik. Paham?”
Geri dan Nino mengangguk cepat. Tubuh mereka terpaku. Lutut nyaris goyah.
Setelah mengatakan itu, Bumi melepas cengkeramannya dan berbalik pergi, sempat menatap mereka sekali lagi dengan pandangan yang membuat napas tercekat.
Begitu Bumi telah masuk ke dalam kelas, Nino mengusap wajahnya yang berkeringat.
“Sialan, Gilang,” gumamnya dengan napas berat.
***
“Bumi.”
Pak Reza memanggil dari depan kelas.
Bumi bangkit perlahan. Langkahnya tenang, nyaris tak bersuara. Ia mengambil kertas ulangan Kimia dari tangan Pak Reza.
“Bagus, Bumi. Kamu banyak kemajuan,” ucap Pak Reza, mencoba tersenyum, meskipun sorot matanya masih menyimpan sedikit kewaspadaan.
Bumi menunduk melihat nilai di pojok kanan atas. 70.
Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menoleh sekilas ke arah Pak Reza, lalu kembali ke bangkunya tanpa berkata apa-apa.
Saat duduk, ia menyodorkan kertas itu ke arah kiri, ke meja Sophia, tanpa menoleh. Tangannya menyilang di dada, masih dengan senyum kecil yang tak benar-benar sampai ke mata.
Sophia menoleh. Matanya membesar. “Eh… lumayan juga,” komentarnya dengan tawa kecil.
Bumi hanya mengangkat alis, seolah berkata, tentu saja.
Bel pulang berbunyi. Suara kursi diseret dan buku-buku ditutup memenuhi kelas.
Sambil merapikan tasnya, Bumi bertanya datar, “Mau ke perpus?”
Biasanya, ini tak perlu ditanyakan. Jawabannya selalu ya.
Tapi kali ini, Sophia menggigit bibir bawahnya sebentar. “Sorry… hari ini gue enggak bisa. Maaf ya…”
Alis Bumi sedikit terangkat. “Oh…”
Sophia tak menjelaskan. Tangannya sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas dengan gerakan lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menatap Bumi.
Mata Bumi menyipit tajam.
Sesuatu mengganjal. Bumi tahu. Dan instingnya jarang salah.
“Mau ke mana?” tanyanya, nadanya ringan, tetapi matanya tajam mengamati.
“Mm… gue jadi panitia acara gelaran Jepang di UI. Bantuin klub Jepang. Mau rapat panitia.”
“Hmm.”
Sophia berdiri. “Gue duluan ya.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah cepat keluar kelas.
Bumi memandangi pintu kelas yang baru saja tertutup. Beberapa detik. Lalu ia bangkit. Langkahnya panjang, tenang, dan terukur.
Ia mengikutinya.
Jarak di antara mereka tetap aman. Sophia tidak menyadarinya. Bumi melangkah seperti bayangan yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus bersembunyi di balik tiang dan kerumunan.
Sampai akhirnya—di luar gerbang sekolah—langkah Sophia melambat.
Bumi menghentikan langkahnya di balik tembok parkiran.
Seorang cowok berdiri di dekat motor bebek biru. Mengenakan jaket kampus UI. Wajahnya cerah, penuh percaya diri. Begitu melihat Sophia, ia tersenyum. Mereka sempat berbicara, tertawa kecil. Lalu cowok itu menyerahkan helm.
Sophia memakainya. Naik ke motor.
Dan mereka pergi.
Bumi masih berdiri di tempatnya.
Angin sore menyapu rambutnya, tapi tubuhnya terasa panas.
Tangannya terkepal. Bukan karena marah. Belum tentu.
Tapi ada sesuatu yang mengaduk-aduk di dalam dadanya—keras, panas, menyakitkan, dan asing.
***
Hari-hari berikutnya, Sophia selalu pulang lebih dulu. Tidak ada lagi sore yang mereka habiskan bersama di sudut perpustakaan. Dan entah mengapa, Bumi mulai merasa... ada sesuatu yang hilang.
Siang itu, sepulang sekolah, Sophia kembali pulang lebih dulu. Bumi berjalan menuju gerbang bersama Dirga yang menatapnya dengan dahi berkerut.
“Tumben lo akhir-akhir ini enggak ke perpus sama cewek itu. Siapa namanya? Sophia?” tanya Dirga, nadanya iseng.
“Dia lagi sibuk,” jawab Bumi singkat.
Dirga terkekeh. “Lo diputusin ya?”
Langkah Bumi terhenti.
Ia menoleh. Perlahan. Tatapannya dingin. Tajam. Seolah siap membunuh siapa pun yang salah bicara.
Dirga menelan ludah. “So-sorry… bercanda, Bum.”
Bumi tidak membalas. Ia hanya kembali melangkah, tapi rahangnya tampak mengeras. Tangannya di dalam saku jaket terkepal rapat, begitu kuat seolah ingin meremukkan sesuatu.
Sesampainya di rumah, Bumi tetap tidak banyak bicara. Setelah makan malam, ia hanya duduk diam di meja makan, menatap kosong ke arah televisi yang menayangkan acara Srimulat. Di ruang tengah, Dirga tertawa terbahak-bahak di sofa.
Indira keluar dari kamar sambil membawa sebuah tas. Ia sempat melirik ke arah anak sulungnya yang duduk muram.
“Bumi kenapa?” tanyanya pelan pada Dirga.
Dirga mengangkat bahu tanpa menoleh. “Tauk, diputusin ceweknya kali.”
Ia kembali tertawa keras saat salah satu pemain Srimulat terjatuh dari sofa dengan gaya dramatis. Indira menatap Bumi lebih lama, kini dengan kerutan khawatir di dahinya.
Namun kemudian, Indira menghela napas dan mengeluarkan sesuatu dari tas yang dibawanya—sebuah kotak dengan gambar ponsel Nokia 3310.
Melihat itu, Dirga langsung berseru girang dan menyambar kotak itu dari tangan ibunya.
“Yesss!” Ia melompat senang, sampai tanpa sengaja menyenggol meja kopi. Gelas di atasnya terguling, menumpahkan isinya ke lantai.
Indira hanya menghela napas pelan. Dari beberapa minggu lalu, Dirga memang merengek-rengek minta ponsel. Sejak bergabung jadi Astek di lab komputer, hanya dia satu-satunya yang belum punya HP. Kebetulan ayah mereka, Arjuna, mendapat komisi tambahan setelah membantu menjualkan mobil temannya. Dengan uang itu, Indira akhirnya bisa membelikan ponsel untuk Dirga.
“Mama jatahin buat uang pulsa,” katanya tegas. “Tapi kalau kamu pakai lebih dari itu, beli sendiri.”
Dirga mengangguk semangat. “Iyaaa… tenang aja.”
Indira hanya menggeleng pelan melihat anak keduanya itu yang kini sibuk membongkar kotak dan mulai serius mengutak-atik ponsel barunya.
Ia lalu berjalan ke meja makan, mengeluarkan satu kotak lagi dari dalam tas, dan meletakkannya di depan Bumi.
“Ini. Supaya nanti kamu bisa kontak juga sama Dirga.”
Bumi hanya melirik kotak itu sekilas, lalu menggumam pelan. “Hmm.”
Indira mengamati wajah anak sulungnya yang tetap muram.
“Lagi ada masalah?” tanyanya hati-hati.
Bumi menggeleng.
Indira tak mendesak. Ia tahu, anak ini terlalu gengsi untuk cerita. Ia akhirnya hanya menepuk bahu Bumi pelan, lalu berbalik masuk ke kamar.
Masalah? pikir Bumi.
Enggak ada, kan? Seharusnya enggak ada. Gue sama Sophia juga enggak punya hubungan apa-apa. Jadi kenapa gue harus ngerasa terganggu...
...waktu lihat Sophia dijemput cowok lain.
Cowok itu kayaknya anak UI.
Lumayan ganteng.
Motornya juga bagus...
Rahang Bumi mengeras. Ia menarik napas keras. Tangannya terkepal lagi di bawah meja. Ia berusaha kuat menahan dorongan dalam dirinya untuk menghancurkan sesuatu—apa saja.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama