Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Bumi duduk di kursi perpustakaan dengan kening berkerut dalam. 

Tangannya terlipat di depan dada, rahangnya mengencang dan matanya tertancap pada lembaran kertas di meja di hadapannya. 

Ulangan pelajaran-pelajaran IPA-nya. 

Biologi. 50. Jelek, tapi masih bisa ditoleransi. 

Kimia. 20. Bencana. 

Fisika. 0. Kiamat. 

Bumi menghela napas keras dan membereskan kertas-kertas itu. Ia memejamkan mata sambil memijat tulang hidungnya yang kini terasa berdenyut. 

Kemarin-kemarin ia sibuk  merencanakan pembalasan ke Raka, sampai-sampai dia lupa prioritas yang jauh lebih penting. Nilai-nilai IPA-nya yang jeblok. 

Bumi sudah mencoba belajar. Tapi kalimat-kalimat yang ada di buku paketnya terasa seperti mantra asing yang tidak dapat menyentuh otaknya, apalagi sampai meresap. Ia membuka buku Fisikanya lagi, mencoba membacanya, berharap kali ini hasilnya berbeda. 

Gerak lurus beraturan adalah gerak suatu benda pada lintasan lurus dengan kecepatan konstan terhadap waktu, di mana percepatan bernilai nol dan perubahan posisi linear terhadap waktu bersifat linier. Grafik posisi terhadap waktu (s–t) berupa garis lurus, sedangkan grafik kecepatan terhadap waktu (v–t) berupa garis horizontal sejajar sumbu waktu.

Bumi membacanya sekali lagi. 

Tapi kata-kata itu terasa tidak seperti bahasa manusia. 

Tak ada satupun yang ia mengerti.

Tak ada gambaran apa pun yang muncul.

Percepatan.

Posisi linear.

Grafik kecepatan terhadap waktu. 

Apa ituuu??!!! 

Bumi menutup bukunya dan melemparnya. 

Kalau terus begini, bagaimana dengan ujian tengah semester nanti? 

Saat ia sedang berkutat dengan pikirannya sendiri, dari kejauhan ia melihat Rika berdiri tak jauh di sebelah salah satu rak. Tangannya memegang buku yang terbuka, tapi Bumi tahu, gadis itu tadi sempat melirik ke arahnya. 

Bumi menghela napas lagi. Dia juga punya masalah lain. Awalnya dia mendekati Rika hanya untuk membuat Raka kesal. Tapi sekarang, nampaknya Rika serius menyukainya. Gadis itu sekarang terus membayanginya di mana saja. Dan Bumi hanya bisa terlihat tidak peduli agar cewek itu paham dia tidak tertarik. Tapi ternyata Rika lebih keras kepala dari yang dia duga. 

Bumi memalingkan wajahnya, berusaha tidak melihat ke arah Rika. Dia harus fokus. Masalah di mejanya kini yang harus lebih dulu dapat perhatian serius. Dia tidak punya minat dan waktu untuk berurusan dengan cewek. 

Dia butuh tutor. 

Les? Dari mana uangnya. 

Bertanya ke guru? Dia tidak mau teman-temannya tahu dia sebodoh itu. 

Dia tidak mau terlihat kalah. 

Bumi memejamkan mata dan memijat tulang hidungnya lagi. 

Lalu tiba-tiba dia membuka mata. 

Sepertinya ada yang bisa ia gunakan  di rumah. 

Tapi sebelum itu, ia harus mengetesnya dulu.

 

*** 

Setelah makan malam, seperti biasa, Sagara duduk tenang di meja belajarnya. Lampu kecil di sudut meja menyinari halaman buku yang terbuka, menyoroti barisan huruf dan angka yang ia tulis dengan pensil. Goresannya rapi, simetris, dan mantap, seperti pikirannya—fokus, tenang, dan teratur.

Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.

Pintu kamarnya terbuka begitu saja. Bumi masuk tanpa mengetuk.

Sagara menoleh. Napasnya langsung terdengar berat saat melihat siapa yang datang. Bumi berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, tangan terlipat di dada, dan sebuah buku tebal tergenggam di satu tangan.

“Mau apa lagi lo sekarang?” tanya Sagara dingin, tanpa menyembunyikan ketidaksenangannya.

Bumi berjalan mendekat tanpa peduli pada nada suara itu. “Mama bilang lo bisa ngerjain soal-soal level SMA. Gue mau tahu, itu bener atau cuma omong kosong doang.”

Sagara menaikkan alis, belum sempat menjawab saat Bumi melempar buku itu ke mejanya.

“Kerjain halaman yang gue tandain,” ucap Bumi datar, seperti memberi perintah.

Sagara mengernyit. Ia membuka halaman yang ditunjuk, menelusuri soal-soal Kimia dengan cepat. Matanya sempat terlihat ragu.

Senyum tipis muncul di wajah Bumi. Senyum khasnya—menyebalkan, mengejek, dan sangat percaya diri.

“Kenapa? Enggak bisa ya?”

Sagara diam. Tapi matanya mulai menyala, rahangnya mengeras. Ia menyambar selembar kertas kosong, lalu mulai menulis dengan cepat namun teratur.

Bumi menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur Sagara, duduk santai dengan tangan masih terlipat. Menunggu.

Tiga puluh menit kemudian, Sagara menyodorkan kertas itu tanpa menoleh. Bumi menerimanya, membuka kunci jawaban, dan mulai mencocokkan satu per satu.

Dua puluh soal. Lima belas benar.

Untuk anak kelas dua SMP yang belum dapat pelajaran Kimia secara formal di sekolah, hasil itu lebih dari sekadar mengesankan.

Bumi terdiam. Sorot matanya berubah saat ia mengingat nilai ulangan Kimianya sendiri.

Ia menarik napas panjang, lalu membalik halaman buku ke bagian soal Fisika. Dengan emosi yang mulai tersulut, ia kembali melempar buku itu ke meja Sagara.

“Kerjain yang ini.”

Sagara tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat alis sebentar, lalu kembali mengambil kertas kosong dan mulai menulis lagi.

Tiga puluh menit berlalu.

Kertas kedua disodorkan.

Bumi menerima dan mulai mencocokkan jawaban—kali ini dengan harapan samar bahwa bocah jenius itu akhirnya akan gagal.

Namun satu per satu, jawabannya kembali cocok. Sembilan belas dari dua puluh benar.

Raut wajah Bumi berubah. Kekaguman muncul, disusul oleh keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya melirik rak buku yang penuh dengan literatur sains, lalu kembali ke Sagara—bocah 13 tahun yang kini duduk di hadapannya, tampak tenang dan percaya diri seperti biasa.

Sagara menyeringai. Sebuah senyum miring muncul di sudut bibirnya.

“Kenapa?” katanya pelan, menirukan nada Bumi sebelumnya. “Lo enggak bisa ya?”

Bumi mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.

Dan kalimat berikutnya dari Sagara menghantam egonya lebih keras daripada pukulan apa pun yang pernah ia terima.

“Mau gue ajarin?”

Bumi berdiri. Cepat. Dadanya panas, seperti ada bara yang siap meledak. Tanpa sepatah kata, ia berjalan keluar. Pintu dibanting keras di belakangnya.

Sagara menoleh sekilas, lalu mendengus kecil. Ia mengambil kembali bukunya dan mulai menulis lagi. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya—tipis, tapi puas.

 

***

Pelajaran Sejarah menjadi penutup hari itu.

Bu Puspa, guru lanjut usia mereka, duduk di depan kelas membagikan makalah sejarah yang sudah dinilai.

“Bella Prameswari.”

Bella maju, mengambil makalahnya.

Bumi melirik jam tangannya. Lima menit lagi bel pulang. Ia ingin cepat-cepat ke perpustakaan, mencoba belajar lagi. Gambar senyum menyebalkan Sagara tadi malam masih mengusik pikirannya

“Sophia C. Wijaya,” panggil Bu Puspa.

“C-nya Caper,” bisik Geri ke Nino, memicu tawa tertahan satu kelas.

Sophia maju tanpa bicara, mengambil makalahnya, lalu kembali duduk sambil membereskan bukunya tanpa menoleh ke siapa pun.

Bel berbunyi.

Bumi langsung meluncur ke perpustakaan dan duduk di pojok tersembunyi. Ia membuka buku Fisika, mencoba memahami ulang. Tapi otaknya menolak. Ia mengulang-ulang bacaan, lalu frustrasi, melempar bukunya ke meja.

Ia menghela napas, membuka halaman soal.

“Sebuah mobil mula-mula diam… percepatannya berapa…” gumamnya.

Ia menatap kosong soal itu. “Rumusnya yang mana, sih…”

BRAK!

Tumpukan buku jatuh di belakang. Bumi menoleh tajam.

Sophia berdiri di dekat rak, buru-buru membungkuk. “Sorry…”

Bumi menghela napas keras. Lalu berusaha kembali fokus ke bukunya. 

Ia akhirnya memberanikan diri menulis. 

Tanpa ia sadari Sophia berhenti di dekatnya dengan tumpukan buku masih di tangannya. Matanya terlihat penasaran dengan soal yang dikerjakan Bumi. Lalu kata-kata meluncur dari mulutnya tanpa bisa ia tahan. 

“Rumusnya pakai yang s=v0t+1/2at2. Karena mobilnya dari diam, v0​=0, jadi tinggal s=1/2at2.” 

Bumi menghela napas keras. Ia menoleh ke Sophia, wajahnya terlihat gusar. “Gue enggak nanya. Gue bisa sendiri.” Lalu menoleh kembali ke soalnya. 

Sophia yang mendengar itu, tiba-tiba menggenggam bukunya erat. Napasnya terlihat berat, lalu dengan suara bergetar ia berkata, “Ya udah. Kalau lo mau tetap jadi orang bodoh, silakan.” 

Alis Bumi terangkat. 

Ia menoleh lagi. Perlahan. 

“Lo bilang apa tadi?” 

Namun kali ini Sophia tidak menunduk takut. Tidak memalingkan wajahnya. Entah apa yang merasukinya. Tapi Sophia menatap lurus ke mata Bumi. Matanya terlihat penuh bara, hingga membuat Bumi tanpa sadar merasa sedikit takut. 

Sophia melangkah maju, berdiri menjulang di depan Bumi. 

“Gue bilang lo bodoh. Kenapa? Enggak suka?” 

Bumi mengernyit tidak menjawab. Sophia di depannya kini tidak seperti Sophia yang biasanya. Kemarahan Bumi tadi mendadak berubah menjadi kebingungan. 

“Lo, Bella, Pak Erhan… semua alergi koreksi. Ego kalian tuh setinggi langit…” 

Bumi terdiam.

“Lo pikir gue dapet apa hah dengan koreksi kalian? Dapet apa? GUE ENGGAK DAPET APA-APA!” 

BRAK!

Sophia melemparkan buku di tangannya ke meja depan Bumi, membuat Bumi melonjak kaget dan… takut. 

Sophia berusaha mengatur napasnya yang kini terengah karena emosi yang tadi memuncak. “Gue cuma enggak bisa diam aja kalau ngeliat sesuatu yang salah. Dan gue enggak bisa diam, kalau ada orang dapat pengetahuan yang salah. Cuma itu. Tapi apa yang gue dapet? Gue dipukul, gue dihina, gue dipelototin…” Sophia mendengus seolah sedang marah pada dirinya sendiri karena telah melakukan sesuatu yang konyol. 

Bumi hanya bisa memandanginya. Tidak bisa berkata apa-apa. 

Sophia mendengus lagi, kemudian membereskan buku-buku yang tadi dia lempar. 

Ia mendelik ke Bumi sebelum akhirnya berbalik pergi. 

“Bentar,” kata Bumi tiba-tiba. 

Sophia menghentikan langkahnya, lalu ia menoleh sedikit. 

Bumi menghela napas panjang, lalu menatap Sophia lurus-lurus. 

“Kasih tahu gue mana yang salah.” 

Mata Sophia melebar. 

Ia terdiam sejenak, sebelum kemudian ia berbalik dan berjalan mendekat. Ia menaruh buku-bukunya di meja, lalu menarik buku Bumi untuk melihat apa yang ia tulis. 

Sophia mengernyit dalam. 

“Elo.. paham enggak artinya Gerak Lurus Berubah Beraturan?” 

Bumi akhirnya menggeleng jujur. 

Sophia menarik napas panjang dan mulai menjelaskan. 

"Bayangin lo naik motor," katanya. "Lo mulai dari berhenti, terus gas pelan-pelan. Tapi tiap detik lo nambah kecepatan lo dengan jumlah yang sama."

Ia menggambar garis lurus miring kecil—seperti grafik v-t.

"Misalnya tiap detik kecepatan lo nambah 2 km/jam. Detik pertama 2. Detik kedua jadi 4. Detik ketiga jadi 6. Itu namanya percepatan tetap.”

Bumi menoleh. “Jadi... yang penting kecepatannya nambah secara rutin?”

Sophia mengangguk, “Iya. Kayak lo ngegas motor sambil ngitung: satu, dua, tiga—terus tiap hitungan lo tambahin gas sedikit. Bukan ngebut langsung, bukan juga pelan terus. Itu namanya Gerak Lurus Berubah Beraturan.”

Mendengar penjelasan itu, Bumi seolah melihat cahaya terang turun dan masuk ke kepalanya. Mungkin ini yang namanya ‘pencerahan’. 

Bumi menarik buku paketnya, dan membaca ulang definisi di buku paket. Dan dengan penjelasan Sophia, kalimat-kalimat itu kini terasa masuk akal. Sinapsis-sinapsis dalam otaknya seolah menemukan jalannya untuk saling terkoneksi berkat potongan hilang yang berhasil dilengkapi oleh Sophia. 

Bumi lalu tiba-tiba terkekeh. “Ternyata lo ada gunanya juga.” 

Sophia mengernyit, tidak tahu apakah itu bisa disebut pujian atau tidak. 

Bumi lalu membalik halaman bukunya dan melemparnya sedikit ke depan Sophia. 

“Heh, ajarin gue ini juga,” katanya dengan nada memerintah. 

Rahang Sophia mengeras melihat itu. 

“Gue punya nama,” kata Sophia dingin tanpa melihat ke arahnya. 

Mendengar itu Bumi menelan ludah. Ia menegakkan tubuhnya dan berusaha bersuara terdengar lebih lunak, “Sophia, tolong ajarin yang ini juga.” 

Mendengar itu, Sophia berusaha menahan senyum di ujung bibirnya. Tapi kemudian ia menarik buku itu dan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas rumus, “Jadi, yang ini maksudnya…” 

Dan mereka berdua tanpa sadar menghabiskan waktu bersama di pojok perpustakaan itu sampai matahari mulai hilang terbenam. Namun cahaya di kepala Bumi kini justru menyala semakin terang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
FaraDigma
1331      665     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Ojek
854      591     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Under a Falling Star
1066      625     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Hidden Words Between Us
1415      638     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
468      335     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
Ikhlas Berbuah Cinta
1216      829     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Glitch Mind
46      43     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1359      894     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Tanda Tanya
439      319     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.