“Mana makananku? Sudah malam kok nggak ada makanan. Kamu nggak becus jadi istri!” bentak lelaki yang kini duduk di kursi depan meja makan. Matanya memerah, disusul alisnya yang bertaut. Mukanya menekuk sejak ia pulang. Lelaki bertubuh jangkung itu berkulit sawo matang, hidungnya tidak mancung, dan bibirnya tebal. Ia bernama Burhan, yang bekerja di sebuah perusahaan swasta, ia sudah hampir sepuluh tahun bekerja sebagai pegawai tetap.
“Jaga ya mulutmu! Aku juga baru sampai rumah, mas. Kamu mikir aku ngapain? Aku capek kerja juga lho,” balas seorang wanita yang baru saja menghidupkan kompor. Ia juga baru sampai rumah sekitar sepuluh menit yang lalu, kemudian membersihkan diri, dan barulah akan memasak. Wanita itu mengerutkan dahinya, bibir tipisnya mencibir, dan mata bulatnya menatap tajam pada suaminya. Ia bernama Lita, seorang istri sekaligus ibu yang juga bekerja untuk membantu suami mencari nafkah. Ia bekerja sebagai admin di salah satu toko swalayan di kota tersebut.
“Kebanyakan alasan. Kerja apa, jam setengah delapan malam baru pulang? Jangan-jangan kamu kelayapan gak jelas sama laki-laki lain!” cecar Pak Burhan. Suasana ruang dapur sekaligus makan dengan lampu temaram, yang awalnya sepi mendadak panas oleh gejolak amarah.
“Apa kamu bilang? Sembarangan banget kamu! Aku kerja bantuin kamu nyari duit jadi admin toko. Kalau akhir bulan banyak lemburan, ya wajar kalau jam segini baru pulang,” tandas Bu Lita. Kini, matanya juga memerah. Ia sedang lelah, tapi suaminya ngajak berdebat.
“Jangan-jangan kamu tuh yang malah jalan sama perempuan lain!” tuduh Bu Lita, tak mau kalah. Giginya bergetar, ia geram dengan suaminya.
Seseorang perempuan yang lebih muda mendatangi mereka. Ia cemberut. Matanya memanas, dahinya berkerut. Giginya juga bergetar persis seperti mamanya. Rambutnya yang digerai itu
“Ma, Pa… udah jangan berantem mulu! Aku capek dengernya. Bisa gak sih, kalian itu gak ribut mulu. Sehari aja, biar rumah itu tenang,” jelas gadis itu, ia bertubuh tinggi. Kulitnya sama dengan kedua orangtuanya, sawo matang. Rambutnya yang panjang sebahu, tergerai hingga menyentuh pakaian yang dikenakannya.
“Bener kata Oliv. Tapi, papamu itu yang mulai duluan, jadi mama kepancing,” Bu Lita, mengaduk nuget yang ia goreng.
Pak Burhan tidak menanggapi celoteh istrinya, ia pun memilih pergi dari ruang dapur. Di dapur yang minimalis itu, tinggal Bu Lita dan Oliv saja. Oliv berjalan menuju rak piring, kemudian menyiapkan piring untuk mereka makan malam. Setelah nuget matang, Bu Lita mengangkatnya dari wajan. Bu Lita memanggil suaminya. Akan tetapi, suaminya tak kunjung memasuki ruang dapur. Lantas, mereka berdua langsung makan.
“Ma, nilai ulangan matematika ku sekarang 80 lho,” ucap Oliv, setelah menyuapkan nuget pada mulutnya. Ia membuka keheningan malam dengan berbicara pada mamanya.
“Ya, memang harusnya seperti itu. Itu pun masih keci,” Bu Lita sibuk menyuapkan nuget pada mulutnya, bahkan tanpa menatap Oliv yang duduk disampingnya.
Air muka Oliv mulai masam, bibirnya sedikit mengerucut. Selera makannya hilang seketika. Jawaban mamanya yang seperti itu bukan harapan hati Oliv. Walaupun Oliv sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia tetap ingin diperhatikan oleh orangtuanya. Ia pun melanjutkan makan malamnya, kemudian ia berjalan meninggalkan mamanya yang masih di ruang dapur. Kaki Oliv memasuki kamarnya. Kamar yang tidak terlalu luas, tetapi cukup muat untuk tempat tidur kayu, meja belajar, dan lemari pakaian. Ia menuju tempat tidurnya, kemudian merebahkan tubuhnya pada kasur yang empuk. Matanya mulai terlelap.
***
Suara ayam mulai berkokok, saling bersahutan. Matahari mulai muncul dengan malu-malu. Cahayanya tembus melewati gorden tipis yang melapisi jendela kamar Oliv dari dalam. Alarm dari handphone milik Oliv berbunyi, sudah meunjukan pukul 05.15. Menandakan hari sudah pagi. Oliv segera bangun, karena ia tidak mau disiram air dingin oleh papanya. Sungguh, papanya sangat disiplin tetapi dengan cara yang keras. Pernah suatu hari, ketika Oliv terlambat bangun 5 menit saja, papanya mengguyur wajah Oliv dengan air dingin. Maka dari itu, ia tidak mau hal itu terulang lagi. Ia segera mematikan handphone-nya, setelah itu turun dari tempat tidur. Tangannya meraih handuk yang ada di hanger. Kakinya pun berjalan keluar kamar, untuk menuju kamar mandi. Setelah mandi, ia bergegas mengenakan seragam putih dengan rok abu-abu. Rambutnya diikat dengan ikat rambut yang berwarna pink. Setelah itu, tangannya memasukkan buku ke dalam ranselnya. Kemudian, ia keluar kamar sembari menggendong ransel dan menggenggam ponsel di tangannya. Ia memasuki ruang dapur, melihat papa dan mamanya yang sudah makan, maka ia segera bergabung.
“Pagi, ma, pa. Kita makan apa pagi ini?” tanya Oliv, setelah duduk di samping papanya. Wajahnya tidak seperti semalam yang masam.
“Mama buat rica-rica ayam nih,” ucap Bu Lita sembari membawa semangkuk rica-rica ayam ke meja makan. Senyumnya sumringah, karena mungkin mood-nya sedang bagus sehingga pagi ini memasak makanan favorit keluarga kecilnya itu.
“Tiap hari harusnya masak kayak gini dong, ma! Jangan nuget atau daging olahan terus” Pak Burhan menyendok rica-rica ayam ke piringnya.
“Ya bisa aja, asalkan kalian pada mau bantuin mama. Kan, mama sering masuk pagi, jadi kalau harus masak begini terus takut terlambat,” balas Bu Lita, tanggannya dengan sigap menyendokkan rica-rica ayam pada piring Oliv.
Mereka pun sarapan dengan suasanya yang tenang, jauh lebih baik dari pada hari sebelumnya. Oliv merasa tentram, walaupun biasanya setelah baikan mereka cepet ribut lagi. Setelah menghabiskan makanan, mereka bertiga keluar rumah untuk melanjutkan aktivitas harian. Papa dan mamanya naik motor, sedangkan Oliv naik ojek online.
***
Gedung Sekolah Menengah Atas tampak kokoh. Bangunan yang di cat dengan warna oranye itu cukup besar. Sekolah dengan akreditasi baik itu merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas terbaik di kota tersebut. Makanya, Oliv sangat bangga bisa menjadi salah satu siswi dari sekolah tersebut. Sejenak setelah menatap bangunan sekolahnya, Oliv berjalan menuju kelasnya. Kelasnya tidak terlalu jauh, hanya berada di lantai dua tetapi tangganya tidak tinggi sekali. Kelas X IPA 1, berada tepat di dekat tangga turun. Ia memasuki kelas tersebut, sudah ada beberapa orang. Bahkan sahabatnya pun ada, sedang duduk di meja baris ketiga dan asyik memainkan ponselnya. Oliv menghampiri meja tersebut, kemudian duduk di samping Raya. Oliv menyapa perempuan dengan kulit putih, gigi kelinci, dan wajahnya yang bulat.
“Hai, pagi Raya,” ucap Oliv sembari tersenyum. Raya menghentikan aktivitas dengan ponselnya itu. Ia menatap Oliv, merasa senang melihatnya hari ini dengan senyum tidak sseperti biasanya.
“Pagi juga Oliv,” ucap Raya membalas senyum dari Oliv.
“Ray, aku tadi seneng banget deh. Soalnya mama dan papaku udah nggak berantem lagi, semoga seterusnya begitu,” cerita Oliv pada Raya. Mereka sahabat karib, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mereka selalu bercerita apa saja, walaupun sekali-dua kali juga pernah berantem. Akan tetapi, mereka cepat untuk berbaikan.
“Wah, aku ikutan seneng Oliv. Iya semoga papa dan mamamu bahagia ya, biar kamu juga bahagia,” ucap Raya, matanya berbinar. Ia akan selalu mendukung sahabatnya.
Mereka berdua melanjutkan cerita, hingga akhirnya Bu Maya yang merupakan guru Bimbingan Konseling datang untuk mengisi kelas Bimbingan Konseling. Wajahnya bulat, senyumnya manis, dan belum ada kerutan apapun di wajahnya. Bu Maya merupakan guru BK yang tegas, beliau masih muda sehingga menggunakan cara yang kekinian dan pendekatan yang menyenangkan untuk melakukan pembelajaran.